DKI Perkuat Pemetaan Kawasan Penularan dengan Layanan Digital
Pemetaan kawasan penularan Covid-19 memainkan peran penting dalam penanganan pandemi. Warga diharapkan mengisi kolom deteksi mandiri dengan jujur.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan deteksi dini gejala Covid-19 melalui layanan digital. Sejumlah fitur, seperti uji risiko mandiri dan penelusuran riwayat bepergian, berguna untuk pemetaan penularan Covid-19 yang lebih terintegrasi.
Sejak Juni 2020, Pemprov DKI Jakarta menyediakan fitur uji risiko mandiri atau Corona Likelihood Metric (CLM) dan pelacakan mobilitas warga bernama JEJAK. Kedua fitur tersebut terintegrasi dalam aplikasi JAKI (Jakarta kini) yang dapat diunduh di gawai. Dari aplikasi ini, tim dapat mencatat pemetaan kawasan penularan Covid-19 gawai setiap warga Jakarta.
Kepala Tim Komunikasi Jakarta Smart City Raedi Fadil menuturkan, fitur JAKI tersebut memetakan tingkat risiko warga Jakarta dari hasil CLM tiap individu. Sementara lewat fitur JEJAK, tim dapat melacak riwayat bepergian seorang warga yang dinilai berisiko selama 14 hari terakhir.
”Dari integrasi sejumlah fitur JAKI untuk deteksi Covid-19, semestinya warga yang berisiko dari setiap wilayah RW dapat langsung terlacak. Cara ini semestinya menjadi lebih efisien karena orang yang tidak berisiko akan tersaring lewat CLM,” kata Raedi dalam sesi webinar Jakarta Smart C
ity, Increasing People Resilience in Adapting to Covid-19 Protocols Compliance, Selasa (28/7/2020).
Hingga 27 Juli 2020, ada 276.640 pengguna fitur CLM dengan hasil risiko tinggi mencapai 1.132 orang. Pemprov DKI Jakarta meminta agar seluruh warga menggunakan fitur JAKI ini sehingga tingkat risiko penularan warga bisa terpetakan lebih baik.
Data CLM yang terkumpul akan dibentuk menjadi dasbor untuk pembaruan peta sebaran Covid-19. Apabila seluruh warga Jakarta mengisi informasi yang dibutuhkan, pemetaan tingkat kelurahan, bahkan tingkat RW, dapat dibuat lengkap dan terintegrasi.
Karena itu, Raedi menekankan sikap jujur dalam mengisi CLM dan fitur penulusuran Covid-19 dari JAKI. Sebab, ketidakjujuran dalam mengisi tingkat risiko akan berdampak pada si individu.
”Gubernur sebelumnya berharap, CLM ini dapat digunakan setidaknya 80 persen warga Jakarta. Kalau ini terwujud, pemetaan warga yang terpapar Covid-19 mungkin akan semakin mudah,” ujarnya.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko menilai, pendataan dan pemetaan yang saat ini dilakukan akan percuma kalau protokol kesehatan longgar. Dia menekankan agar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilakukan secara ketat.
Tri menyarankan, Pemprov DKI Jakarta harus mengevaluasi data efektivitas PSBB awal dengan PSBB transisi yang kini diberlakukan. Dia yakin kalau kondisi PSBB fase pertama adalah yang paling ideal untuk menekan penularan Covid-19.
Sementara itu, laporan kasus baru terus bermunculan di Jakarta hingga 28 Juli bertambah 412 pasien positif. Jumlah tersebut praktis membuat total kasus Covid-19 di Jakarta mencapai 19.885 pasien positif.
Terkait kondisi tersebut, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengimbau agar warga mengurangi mobilitas selama PSBB transisi. Walakin, kondisi ini tampak belum dijalankan karena berbagai jalan protokol Ibu Kota masih padat oleh aktivitas warga.