Pemulihan Ekonomi Harus Diimbangi dengan Pengetatan Protokol Kesehatan
Protokol kesehatan pencegahan Covid-19 tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengetatan protokol kesehatan mutlak untuk menekan laju penyebaran virus.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 di Indonesia belum terkendali. Pelonggaran aktivitas warga kasus justru meningkatkan jumlah kasus harian seiring munculnya kluster-kluster penularan baru. Pengetatan protokol kesehatan mutlak harus dilakukan untuk menekan laju penyebaran virus.
Kasus konfirmasi postif Covid-19 berpotensi menyentuh angka 100.000 hingga akhir Juli ini. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dalam laman https://covid19.go.id, Minggu (26/7/2020), mencatat 98.778 kasus konfirmasi positif Covid-19. Sebanyak 37.342 orang dalam perawatan, 56.655 orang sembuh, dan 4.781 orang meninggal.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Budi Haryanto meminta pemerintah memperketat protokol kesehatan. Sebab, sejalan dengan menggeliatnya perekonomian terjadi peningkatan kasus harian lantaran protokol kesehatan mulai kendur.
”Harus ada tindakan-tindakan konkret untuk seimbangkan ekonomi dan kesehatan. Caranya mengencangkan kembali kedisiplinan terhadap protokol kesehatan. Semua pihak harus berkoordinasi untuk menegakkan peraturan daerah yang sudah ada,” ujar Budi.
Peraturan daerah mewajibkan warga kerja sosial hingga denda uang apabila abai pada protokol kesehatan. Contohnya denda Rp 250.000 jika tidak memakai masker di DKI Jakarta dan Rp 50.000 di Depok, Jawa Barat.
Menurut Budi, semua orang sudah tahu ada ketentuan-ketentuan sanksi dan denda. Sayangnya, banyak yang tidak patuh sehingga kasus meningkat. Karena itu, petugas di lapangan harus memperketat pengawasan dan penegakan peraturan protokol kesehatan.
Saat ini virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 bisa menyebar di mana saja karena tidak disiplin pada protokol kesehatan. Salah satunya kluster-kluster perkantoran. Budi menuturkan, kluster perkantoran justru terjadi karena aktivitas di luar pekerjaan, misalnya perjalanan dari rumah ke kantor dan jam istirahat untuk makan atau merokok.
”Biasanya, kan, bergerombol. Susah jaga jarak. Padahal, tidak tahu interaksi saat di luar kantor, bertemu dengan orang yang berbeda-beda,” katanya. Kondisi itu mengharuskan adanya pengawasan karena acap kali lupa pada protokol kesehatan saat interaksi, contohnya tidak memakai masker atau posisinya tidak tepat.
Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko menambahkan, pemerintah bertanggung jawab mencegah penyebaran wabah dengan berbagai kebijakan. Amanat itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Namun, hingga kini, wabah belum juga terkendali. Hal tersebut semakin kompleks karena beredarnya informasi-informasi yang tidak benar tentang Covid-19. Alhasil, warga punya persepsi yang salah bahwa wabah tidak berbahaya.
Gugat
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular berbunyi maksud dan tujuan undang-undang itu adalah untuk melindungi penduduk dari malapetaka yang ditimbulkan wabah sedini mungkin, dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Selanjutnya, Pasal 10 mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk melaksanakan upaya penanggulangan wabah. Adapun upaya penanggulangan tercantum dalam Pasal 5.
Upaya penanggulangan wabah meliputi penyelidikan epidemiologis, pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; upaya penanggulangan lainnya. Upaya penanggulangan wabah memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.
Tujuan upaya penanggulangan wabah ialah berusaha memperkecil angka kematian akibat wabah dengan pengobatan dan membatasi penularan dan penyebaran penyakit agar penderita tidak bertambah banyak dan wabah tidak meluas ke daerah lain.
Setiap upaya penanggulangan wabah di suatu daerah wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain agama, adat, kebiasaan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, serta perkembangan masyarakat.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, diharapkan upaya penanggulangan wabah tidak mengalami hambatan dari warga. Sebaliknya, melalui penyuluhan yang intensif dan pendekatan persuasif edukatif, diharapkan warga akan memberikan bantuannya dan ikut serta secara aktif.
Menurut Tri, warga yang keberatan dengan penanganan wabah saat ini bisa menggugat pemerintah dengan mangacu pada undang-undang tersebut. ”Warga bisa mengajukan gugatan penanganan Covid-19 kalau pemerintah dinilai tidak melakukan hal yang sesuai atau tepat. Koalisi warga bisa menggugat untuk efek jerah,” ujarnya.