Manfaatkan Sumber Pembiayaan Alternatif untuk Pembangunan
Masih jarang pemda menyadari bahwa dana tanggung jawab sosial dari perusahaan, yayasan keluarga, lembaga filantropi, dan perusahaan penanaman modal bisa membantu dengan cicilan bunga yang relatif terjangkau.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah memiliki alternatif sumber pembiayaan pembangunan di luar anggaran pendapatan dan belanja daerah ataupun transfer dana dari pemerintah pusat. Sinergi dengan lembaga-lembaga filantropi dan perusahaan penyedia pinjaman daerah merupakan pilihan yang potensial.
Demikian dibahas dalam diskusi virtual ”Skema Penganggaran dan Peluang Pembiayaan Alternatif di Daerah dalam Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Masa pandemi Covid-19” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kota dan Pemerintah Daerah Asia Pasifik (UCLG-ASPAC) pada Kamis (23/7/2020).
”Jangan sampai berbagai program pembangunan terhenti karena pemerintah daerah (pemda) tidak memiliki biaya melanjutkan akibat pendapatan daerah menurun dan dana yang tersisa dialihkan untuk biaya penanganan pandemi,” kata Sekretaris Jenderal UCLG-ASPAC Bernadia Irawati Tjandradewi. Acara itu diikuti perwakilan pemerintah daerah di 34 provinsi dan berbagai kabupaten/kota.
Dalam diskusi itu terungkap bahwa mayoritas pemda belum mengetahui ada sumber-sumber pendanaan lain selain pajak dan pendapatan daerah serta dana alokasi dari pemerintah pusat. Masih jarang pemda menyadari bahwa dana tanggung jawab sosial dari perusahaan, yayasan keluarga, lembaga filantropi, dan perusahaan penanaman modal bisa membantu dengan cicilan bunga yang relatif terjangkau.
Salah satunya ialah PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), yang merupakan badan usaha milik negara di bawah Kementerian Keuangan. Nanang Arifin dari Divisi Pembiayaan Publik PT SMI menjelaskan perbedaan pinjaman daerah dengan transfer dana dari pemerintah pusat. Transfer dana bergantung pada masa pemerintahan kepala daerah. Jumlah transfer per pagu tidak tetap karena sangat bergantung pada jumlah penerimaan negara dan kondisi keuangan nasional.
”Meminjam dari perusahaan pinjaman daerah bisa dilakukan sekaligus karena dananya selalu ada. Biasanya pinjaman berlangsung selama tiga hingga lima tahun sehingga walaupun kepala daerahnya selesai menjabat proyek tetap berlanjut. Tingkat bunganya juga fixed pada tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara setara 0,75 persen,” papar Nanang.
Dari 516 pemda yang dinilai memiliki portofolio layak, ada 22 pemda yang telah menjadi debitor tetap PT SMI, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, ada 6 pemda yang dalam proses pemenuhan syarat elektif dan 19 pemda dalam tahap pengajuan. Syarat meminjam dari PT SMI ialah mengajukan proposal yang telah disetujui oleh DPRD masing-masing, laporan keuangan selama 3 tahun terakhir, dan jika memungkinkan hasil studi kelayakan proyek yang diajukan.
Menurut Nanang, pinjaman dari PT SMI diperuntukkan untuk proyek-proyek infrastruktur nonkomersil, tetapi memiliki manfaat sosial dan ekonomi yang tinggi. Contohnya membangun jalan, jembatan, waduk, dan pasar. Beberapa proyek yang tengah berlangsung ialah pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara; jalan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur; dan terminal bus di Kota Gorontalo.
Filantropi
Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengungkapkan, penting bagi pemda untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga filantropi di wilayah masing-masing. Harus ada peta jumlah lembaga filantropi, lembaga dana tanggung jawab sosial korporasi, yayasan keluarga, dan lembaga swadaya masyarakat. Dari peta itu akan tampak lembaga-lembaga yang bisa diajak berkolaborasi untuk tujuan pembangunan tertentu.
Dalam hal kolaborasi, DKI Jakarta menjadi contoh baik, seperti diutarakan oleh Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Jakarta Nasruddin Djoko Surjono. Dari program penanganan pandemi Covid-19, sebanyak 98 persen merupakan biaya kolaborasi melalui program Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB). Bentuknya tidak hanya berupa dana, tetapi juga fisik seperti bantuan alat pelindung diri untuk tenaga kesehatan, paket makanan, dan pelayanan.
”Kolaborasi ini sudah berjalan jauh sebelum ada pandemi dan semakin digalakkan ketika pandemi. Intinya, Bappeda harus berkomitmen bahwa tidak ada pembangunan yang batal atau ditunda dengan alasan kekurangan dana. Sinergi dengan dunia akademik melalui perguruan tinggi, perusahaan swasta, dan badan-badan usaha milik pemerintah menjadi akses alternatif dana,” tuturnya.