DPRD Harus Berani Desak Pembatalan Kepgub 237 Reklamasi Ancol
DPRD DKI harus berani mendesak Gubernur DKI Jakarta membatalkan Kepgub 237 tahun 2020 tentang Perluasan Wilayah Ancol. Kepgub itu dinilai cacat hukum dan tidak sesuai dengan aturan tata ruang.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
DPRD DKI Jakarta seharusnya berperan dalam menghentikan upaya reklamasi Ancol. Peran yang dimaksud, yaitu dengan cara mendesak Gubernur DKI Jakarta membatalkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas ± 35 hektar (ha) dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas ± 120 ha.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, dalam webinar bertajuk ”Menyikapi Proyek Reklamasi Ancol” yang digelar oleh Populi Center, Kamis (23/7/2020), menegaskan, anggota DPRD DKI Jakarta harus berani meminta kepada Gubernur DKI untuk membatalkan Kepgub tentang izin reklamasi Ancol itu. Dengan pembatalan, reklamasi Ancol batal.
Dalam diskusi daring itu, Nirwono mengingatkan, desakan pembatalan harus dilakukan karena keputusan gubernur yang menjadi landasan pelaksanaan reklamasi Ancol itu cacat hukum. Dalam kepgub tersebut di bagian menimbang disebutkan, izin pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud huruf c telah disetujui dalam rapat pimpinan badan koordinasi penataan ruang daerah (BKPRD).
Namun, di dalam pertimbangan justru UU tentang Penataan Ruang No 2 Tahun 2007 dan Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTRPZ) DKI Jakarta justru tidak dijadikan pertimbangan. Padahal, jelas-jelas izin ini diambil dalam rapat BKPRD dan yang dibahas berupa infrastruktur fisik, berupa ruang, tetapi dalam pertimbangannya UU Penataan Ruang tidak masuk.
Kemudian ia juga mencermati, dalam poin 9 di kepgub, dalam pelaksanaan pembangunan reklamasi, PT Pembangunan Jaya Ancol selaku pengembang malah diharuskan mematuhi perda tersebut berikut dengan masterplan dan panduan rancang kota. Sementara dalam Perda No 1 Tahun 2014 itu, reklamasi Ancol seluas 120 hektar itu belum terakomodasi. Yang sudah terakomodasi baru yang 35 hektar.
Dengan mendesak pembatalan, akan menjadi cara dewan untuk mengawal revisi RDTR sekaligus meminta pemprov tidak mengakomodasi pelanggaran-pelanggaran yang kemungkinan besar akan dibenarkan termasuk reklamasi Ancol itu dan dimasukkan dalam revisi RDTR DKI Jakarta.
”Dewan bisa mengatakan jika pemprov tidak mau membatalkan, dewan tidak akan membahas revisi perda RDTR. Itu karena semangat perda RDTR harus positif,” jelas Nirwono.
Semangat revisi harus positif karena mengevaluasi terjadinya pelanggaran tata ruang yang sedang terjadi. Selain itu juga merupakan komitmen pemerintah untuk melakukan penertiban. ”Jadi bukan kemudian dibalik,” jelas Nirwono.
Gilbert Simanjuntak, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta, di luar diskusi daring itu juga menyatakan, pembatalan bisa dilakukan jika ada classaction, gugatan dari masyarakat.
Dalam diskusi itu juga terungkap, apabila Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta dalam keterangannya mengenai reklamasi Ancol melalui media Youtube di pertengahan Juli silam, menjelaskan, reklamasi Ancol itu juga menjadi cara untuk pengendalian banjir Jakarta, maka para narasumber diskusi daring itu mempertanyakan dan mengkritik Anies.
Nirwono mengkritik karena pengendalian banjir dilakukan dengan mengeruk sedimentasi waduk dan sungai, lalu menimbunnya ke lokasi reklamasi Ancol. Padahal, secara teknis, semakin tinggi sedimentasi, itu menunjukakn ekologis lingkungan hidup Jakarta di sekitar waduk dan sungai di Jakarta itu buruk. Semakin buruk kondisi lingkungan semakin tinggi sedimentasi.
Untuk pengendalian banjir, seharusnya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah memperbaiki ekologi sungai dan waduk agar tidak terjadi sendimentasi, bukan membangun reklamasi.
”Kalau ekologi sungai diperbaiki, sendimentasi akan berkurang, maka akhirnya juga tidak perlu lagi reklamasi. Sayangnya dalam tiga tahun terakhir, penataan sungai seperti normalisasi sungai yang sudah dijalankan sebelum era Anies, ataupun seperti usul Anies untuk naturalisasi pun ternyata malah tidak dijalankan dalam tiga tahun terakhir,” ujarnya.
Hartanto Rosojati, peneliti dari Populi Center, mengkritik, reklamasi dengan hanya menimbun sedimentasi tidak akan terbangun. Reklamasi masih membutuhkan material lain seperti batu dan pasir.
”Kalau itu yang dilakukan DKI Jakarta akan mengambil material dari tempat lain. Itu akan menimbulkan masalah ekologis di tempat lain,” jelasnya.
Selain itu, Hartanto mengingatkan, dalam setiap kegiatan reklamasi, masyarakat pesisir adalah masyarakat yang paling terdampak. Seharusnya reklamasi harus bisa mengakomodasi masyarakat pesisir, misalnya dengan menyediakan kawasan permukiman atau hunian terjangkau dan layak bagi masyarakat pesisir di kawasan reklamasi.
”Bila itu tidak bisa dilakukan, tidak perlu ada reklamasi,” tegasnya.
Baik Nirwono ataupun Hartanto menegaskan, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta fokus pada restorasi atau penyelamatan pesisir Jakarta secara berkelanjutan saja. Rencana besar itu nantinya harus tercermin dalam aturan tata ruang DKI.