Warga Keberatan Pengguna Kendaraan Listrik Memakai Trotoar
Warga tidak setuju pengguna motor listrik memakai trotoar. Kapasitas trotoar yang saat ini ada belum memungkinkan jenis kendaraan itu berada di jalur pejalan kaki.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu Dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik menuai protes keras warga. Mereka tidak sependapat karena akses trotoar untuk lajur kendaraan tertentu dengan penggerak motor listrik membahayakan pejalan kaki.
Peraturan yang diundangkan pada 22 Juni 2020 ini menjelaskan apa yang dimaksud kendaraan tertentu dengan penggerak motor listrik dan ketentuan operasionalnya. Pasal 2 menyebutkan bahwa kendaraan tertentu dengan penggerak motor listrik terdiri dari skuter listrik, sepeda listrik, hoverboard, sepeda roda satu (unicycle), dan otoped. Setiap kendaraan itu harus punya baterai dan motor penggerak yang menyatu dengan kuat saat beroperasi.
Pasal 5 menjelaskan bahwa kendaraan tertentu itu beroperasi pada lajur khusus dan kawasan tertentu. Lajur khusus mencakup lajur sepeda dan lajur kendaraan tertentu dengan penggerak motor listrik. Adapun kawasan tertentu meliputi permukiman, hari bebas kendaraan bermotor, dan kawasan wisata.
Apabila tidak tersedia lajur khusus, kendaraan tertentu beroperasi di trotoar asalkan kapasitas memadai dan memperhatikan keselamatan pejalan kaki. Kapasitas memadai berarti harus mampu menampung jumlah pejalan kaki dan kendaraan tertentu.
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki dalam diskusi daring Pojok Koalisi Pejalan Kaki, Kamis (23/7/2020), menuturkan, peraturan menteri itu menyerobot fungsi utama trotoar. ”Tidak ada aturan tentang kendaraan tertentu di dalam undang-undang lalu lintas dan jalan. Padahal, jelas trotoar untuk pejalan kaki,” ujar Alfred.
Ia menyoroti Pasal 131 dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal tersebut mengatur hak dan kewajiban pejalan kaki dalam berlalu lintas.
Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Selanjutnya berhak prioritas saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Apabila belum tersedia fasilitas pendukung, pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.
Menurut Alfred, hak pejalan kaki juga tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Salah satu rencana aksi oleh Kementerian Perhubungan ialah membangun pedestrian dan jalur sepeda di 12 kota. ”Penyerobotan trotoar berarti merampas hak pejalan kaki,” katanya.
Penolakan warga terhadap peraturan menteri itu didukung hasil riset daring Research Institute of Socio Economic Development pada November 2019. Riset tentang pengguna skuter listrik melibatkan 1.000 responden pengguna jalan di Jakarta.
Hasilnya, 81,7 persen responden menilai pengguna skuter listrik tidak tertib. Lalu ada 65,2 persen yang melihat penggunaan skuter tidak pada tempatnya, seperti di jalan raya, trotoar, dan jembatan penyeberangan orang. Padahal, penggunaannya hanya di kawasan khusus. Terakhir, 67,5 persen merasa terganggu dan terancam keselamatannya oleh perilaku pengguna skuter listrik.
Keniscayaan
Perkembangan teknologi termasuk moda transportasi yang serba elektrik memang tidak terhindarkan. Walakin, regulasi terkait harus mengakomodasi kepentingan bersama.
Menurut pegiat lingkungan Ahmad Safrudin, peraturan menteri memang bertujuan mengakomodasi kendaraan tertentu yang minim emisi. Di sisi lain memudahkan pergerakan warga dari satu titik ke titik lain. Sayangnya, ada ketentuan-ketentuan yang justru menimbulkan polemik dengan pejalan kaki. Polemik itu menerabas ketentuan-ketentuan lain yang sudah mengatur trotoar peruntukannya untuk pejalan kaki. ”Trotoar, kan, fasilitas pejalan kaki yang tidak bisa diganggu gugat untuk kepentingan lain,” ucap Ahmad.
Ketua Ikatan Ahli Perencana Indonesia Hendricus Andy Simarmata mengapresiasi peraturan menteri tersebut dengan sejumlah catatan penting. Menurut dia, kota ibarat makhluk hidup yang punya sistem jaringan. Jaringan-jaringan kota punya tingkat kepadatan tertentu yang bisa diprediksi kapasitasnya. Sistem jaringan jalan, misalnya, terdiri dari jalan utama, jalan pendukung, dan jalan lokal. Setiap jalan punya ketentuan jenis kendaraan hingga kecepatan tertentu sesuai modanya.
”Becak dilarang di jalan-jalan utama supaya kendaraan lain yang lewat tidak mengalami masalah karena kecepatan becak yang rendah. Lalu pembagian lajur pelan dan cepat. Pelarangan dan pemisahan harus dipahami untuk tujuan meminimalkan risiko kecelakaan,” ujar Andy.
Jalan-jalan yang ada saat ini dibuat ketika belum ada bayangan kendaraan listrik akan melintas. Untuk itu, perlu sinergi antara perencanaan pembangunan infrastruktur dan penggunanya. Sebab, pembangunan infrastruktur berorientasi pada melayani warga kota.
Andy menambahkan, seharusnya ada banyak pertimbangan sebelum aturan tersebut lahir. Apakah infrastruktur sudah siap atau belum? Siapa yang bertanggung jawab untuk menyiapkan infrastruktur? Apakah pemerintah atau dukungan industri kendaraan listrik? ”Tidak gampang hadirkan sesuatu tanpa kesiapan infrastruktur. Apalagi perlu edukasi kepada pejalan kaki dan pengguna jalan lain untuk mengatur perilaku dalam berlalu lintas,” katanya.