Pembatasan Sosial Mampu Meredam Laju Penularan di Sejumlah Kota di Luar Negeri
Pengelola kota-kota besar sangat memperhatikan indeks laju penularan (Rt) dengan standar di bawah angka 1. Hal ini menjadi indikator kunci dalam pengambilan keputusan saat melonggarkan pembatasan sosial.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah laporan terbaru dari McKinsey and Company, perusahaan konsultan internasional, mengungkap efek pembatasan sosial terhadap laju penularan Covid-19 di sejumlah kota besar dunia. Pembatasan sosial yang ketat dengan memperhatikan angka indeks laju penularan, mobilitas serta tingkat kewaspadaan publik, mampu menekan jumlah kasus baru.
Laporan bertajuk ”Reopening Cities After Covid-19” pada 20 Juli 2020 mengumpulkan berbagai data indeks laju penularan dan mobilitas warga di 20 kota besar dunia. Sebagian kota, seperti Madrid, London, Moskwa, Milan, Berlin, New York, dan Paris, dipilih karena mulanya memiliki angka penularan yang tinggi.
Seperti dikutip Kompas, Kamis (23/7/2020), Dmitry Chechulin dan Leonid Melnikov dari tim peneliti menyebutkan, ketika lockdown dan masa karantina dimulai, kota-kota tersebut mendapati indeks laju penularan di angka 3 hingga 4. Setelah pembatasan berlaku di ruang publik dan bisnis lokal, penambahan indeks laju penularan (Rt) menurun hingga di bawah angka 1 dalam kurun waktu April hingga Mei.
Indeks Rt sendiri adalah gambaran angka kemampuan seseorang untuk menularkan virus kepada satu orang lain. Indeks di bawah angka 1 berarti penularan masih terjadi, tetapi potensi mengenai satu orang saja sudah sangat kecil.
Hal yang paling berdampak adalah tingkat mobilitas warga di setiap kota. Pergerakan warga umumnya turun berkisar 10-25 persen dibandingkan kepadatan sebelum pandemi Covid-19. Setiap kota juga mengambil kebijakan untuk menahan warga agar tetap di rumah selama lockdown.
”Kota yang menerapkan pembatasan sosial telah menyadari langkah tersebut akan berdampak pada aktivitas ekonomi. Kota-kota ini juga sukses menanamkan kesadaran publik bahwa masker dan pelindung wajah harus dikenakan saat bepergian ke mana saja,” ujar Dmitry.
Selama kurun April-Mei, kota-kota besar mulai kembali membuka aktivitas seiring dengan indeks laju penularan yang berada di bawah angka 1. Hal yang menjadi catatan, setiap kota tersebut sangat mengacu pada indeks angka Rt sebelum memutuskan pembukaan masa karantina.
Tim peneliti menyarankan, setiap kota wajib berpatokan pada indeks Rt saat pembukaan kembali aktivitas kota. Hal ini untuk tetap memantau kondisi laju penularan di setiap pekan saat aktivitas kembali normal.
Kota New York, misalnya, mengalami peningkatan mobilitas warga, yakni 43 persen dari mobilitas normal. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan saat karantina, yakni 25 persen dari mobilitas normal. Indeks Rt di New York hingga 1 Juni pun sempat naik meski tetap di bawah angka 1.
Mereka menyarankan, pembukaan aktivitas kota bisa berlaku apabila indeks penularan minimal ada di angka 0,6 atau 0,7 selama beberapa pekan. Kota sebaiknya memenuhi kriteria dan menjaga indeks penularan agar tidak lebih dari itu.
Sementara pengelola kota Berlin dan Madrid menjaga indeks laju penularan di bawah kriteria selama dua pekan. Adapun otoritas kota London dan Paris menungu setidaknya hingga tiga pekan dengan kriteria serupa.
Pembukaan aktivitas kota berdampak beragam untuk setiap kota. Indeks laju penularan untuk kota yang buka setelah menunggu lebih dari tiga pekan sama sekali tidak meningkat hingga data per 1 Juni.
Setiap kota umumnya melakukan tiga langkah, yakni meliputi eksekusi perubahan kebijakan, menunggu dampaknya beberapa pekan, dan kemudian menentukan langkah selanjutnya. Kurun waktu dua atau tiga pekan menjadi standar untuk pemantauan dampak kebijakan yang ada. Implementasi untuk sejumlah kota yang berlaku saat itu setidaknya menekan laju penularan Covid-19.
Dihubungi terpisah, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menuturkan, pembatasan sosial ala sejumlah kota ini menjadi ideal karena gagasan intinya adalah lockdown. Saat penutupan aktivitas secara total, laju penularan Covid-19 mungkin akan lebih mudah dikendalikan.
Kondisi sejumlah kota tadi berbeda dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta. Saat mulai terjadi masa PSBB transisi di bulan Mei, indeks laju penularan masih fluktuatif di kisaran angka 1. Hal ini berarti potensi seseorang untuk menularkan virus ke satu orang lain masih tinggi.
Epidemiolog dari Universitas Padjajaran, Panji Hadisoemarto, sebelumnya mengingatkan indeks Rt yang masih fluktuatif akan berakibat lonjakan kasus. Saat diwawancarai Juni silam, Panji menyarankan agar PSBB semestinya tidak longgar saat indeks Rt masih naik-turun, Kompas (4/6/2020).
Dengan kondisi kasus yang terus bertambah sekarang, Ede menuturkan agar masyarakat tetap patuh pada protokol kesehatan. Hal ini menjadi keharusan di tengah mobilitas warga yang sudah tidak terkendali karena impitan ekonomi.
”Kondisi perekonomian warga mungkin saat ini sangat terdampak. Namun, selama berjaga jarak, bermasker, dan cuci tangan setelah beraktivitas tetap dapat mencegah penularan. Setidaknya kepatuhan di tingkat warga itu tidak kendur,” ujarnya.