Saatnya Lepas dari Jargon-jargon Pembatasan, Disiplinkan Kepatuhan Warga
Pemprov DKI Jakarta masih punya waktu mengomunikasikan cara-cara penanganan Covid-19. Tanpa pendampingan tepat ke masyarakat, perpanjangan PSBB tak akan pernah berakhir.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus positif Covid-19 di Ibu Kota masih saja tinggi, hingga angka rata-rata temuan kasus positif atau positivity rate mencapai 10 persen lebih dari keseluruhan yang dites. Saatnya para pihak di bawah kendali pemerintah daerah menggencarkan pengawasan ketat hingga level warga, yang masih mudah dijumpai melanggar protokol pencegahan penularan Covid-19.
Sebagai gambaran, bila pada Senin (20/7/2020) penambahan kasus positif harian ada 361 kasus, maka per Selasa (21/7/2020) mencapai 441 kasus positif. Kasus sebanyak itu tersebar merata di lima wilayah kota di DKI Jakarta. Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam paparan hariannya menyatakan, angka kasus positif itu hasil pemeriksaan aktif petugas.
Temuan kasus yang masih tinggi itu terjadi setelah PSBB diperpanjang beberapa kali, hingga PSBB transisi fase I yang diperpanjang lagi hingga 31 Juli mendatang.
Ini bukan masalah jargon-jargon, tidak. Ini tidak bisa dibiarkan begini. Meski sampai tahun depan diberi PSBB, efektivitasnya tidak akan sampai ke masyarakat.
Baequni, Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKM) DKI Jakarta, menjelaskan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ataupun pembatasan sosial berskala lokal (PSBL) ataupun wilayah pengendalian ketat (WPK) hanyalah jargon Pemprov DKI Jakarta. ”Kalau dilaksanakan itu adalah kebijakan struktural. Sampainya ke RW saja, ke masyarakatnya tidak sampai. Di masyarakat, pemprov harus bergerak dengan pendekatan kultural. Sementara untuk mengatasi persebaran virus korona, harus berpadu antara kultural dan struktural,” katanya.
Untuk bisa menggabungkan kultural dan struktural, katanya, adalah dengan pendampingan. Jadi, masyarakat itu harus didampingi profesional. Di satu RW ada satu orang profesional yang adalah sukarelawan. Profesional itu akan mengevaluasi dan menggerakkan kultural, tokoh masyarakat, dan lainnya.
”Ini bukan masalah jargon-jargon, tidak. Tetapi harus dilihat benar di lapangan itu bagaimana, dievaluasi tiap bulan apa benar mereka melakukan (protokol kesehatan) itu? Kalau tidak melakukan, bisa dievaluasi apa yang harus dilakukan setelah ini. Ini tidak bisa dibiarkan begini. Meski sampai tahun depan diberi PSBB, efektivitasnya tidak akan sampai ke masyarakat,” kata Baequni.
Mahasiswa berlatar belakang pendidikan kesehatan masyarakat bisa direkrut sebagai sukarelawan yang mendampingi masyarakat. Bila penanganan RW siaga atau pengendalian wilayah diserahkan ke RW, ia khawatir tidak akan berjalan.
Seorang RW yang adalah tokoh masyarakat, katanyaa, secara fakta pendidikannya bisa jadi kurang dan tidak memiliki latar belakang keilmuan untuk mengomunikasikan atau menjelaskan kepada warganya mengenai pandemi. Sukarelawan ini juga yang akan mendampingi langsung warga tingkat akar rumput karena warga di kelas itu yang sulit diberikan pemahaman.
Baequni menyarankan Pemprov DKI menganggarkan dana pendampingan itu. Bila masyarakat hanya didampingi kader dari warga lokal, ia mencermati warga tidak akan menganggap serius upaya mengatasi pandemi. Akan beda reaksi bila yang datang orang luar.
Para sukarelawan itu akan melakukan pengajaran dan pendampingan kepada masyarakat. ”Terus begitu, kalau perlu dari rumah ke rumah didatangi dan diawasi dalam beberapa periode. Lalu, mereka melakukan evaluasi bagi RW yang didampingi,” katanya.
Hadiah dan sanksi
Hadiah dan sanksi bisa diambilkan dari bantuan sosial yang diberikan. Bila warga yang harus melakukan pengendalian ketat mematuhi protokol dan menerapkannya, bansos bisa ditambah. Namun, bila ada RW yang warganya tidak mematuhi, bansos bisa dikurangi.
Langkah-langkah itu diyakini akan menimbulkan kesadaran. Sementara, ia melihat, angka kasus yang ditampilkan hanya akan menjadi hasil akhir dari proses pendampingan itu.
Gilbert Simanjuntak, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta, mengatakan, memutus rantai penularan Covid-19 tidak bisa hanya dengan melakukan ujis usap (swab), kemudian menyampaikan berapa tingkat penularan juga berapa positivity rate-nya.
Simanjuntak juga melihat, pelaksanaan PSBL di tingkat RW itu bisa dibilang tidak ada gunanya. Sampai hari ini, masyarakat Ibu Kota tetap saja banyak yang ditemui tidak memenuhi protokol kesehatan, seperti tidak mengenakan masker hingga bergerak ke mana pun. Lalu, mereka disalahkan tidak tertib.
Terkait banyak indikasi orang tanpa gejala (OTG) yang berkeliaran, ia mendorong perlunya tegasnya pengawasan di kelompok. Tanpa itu, risiko penularan akan tetap tinggi.
Pengawasan di kelompok itu bisa dilakukan oleh RW karena RW yang paling mengetahui warganya. RW diberdayakan diberi uang transpor dan supervisi sehingga mereka bisa melihat setiap rumah. Tugas mereka muter-muter, keliling, lingkungan setiap hari.
”Kalau susah, kerjakan sekali dua hari. Gampangnya setiap tanggal genap. Nah, kemudian dia disuruh untuk membuat laporan. Kasih nama, alamat, RT berapa, nomor berapa, nomor telpon, NIK, lapor ke puskesmas. Itu bisa jadi ke RW, dikasih formulir, difoto, dikirim. Jadi, petugas puskesmas lebih gampang menelusuri dan mencarinya,” kata Simanjuntak.
PSBB sampai kapan?
Baequni ataupun Simanjuntak melihat, Pemprov DKI Jakarta masih memiliki waktu untuk bisa mengomunikasikan cara-cara penanganan virus itu selama vaksin belum ditemukan. Justru sekarang adalah momen yang tepat. Sebab, bila komunikasi dan pendampingan tidak dimulai dari sekarang, akan percuma dilakukan PSBB terus-menerus.
Nurul Huda, Lurah Gelora Kecamatan Tanah Abang, yang dihubungi, mengatakan, satu RW di Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, yang sempat dinyatakan sebagai zona merah saat ini sudah tidak lagi merah. ”Kami mengajak warga bicara dan mengingatkan mereka pentingnya menggunakan masker dan jaga jarak. Kami tiap malam bersama RT dan RW berkeliling ke warga untuk mengingatkan warga,” kata Nurul.
Sementara dari pihak Pemprov DKI Jakarta, khususnya dari Tim Gugus Tugas Covid-19 yang dikonfirmasi mengenai evaluasi pengendalian ketat skala lokal, sama sekali tidak ada respons.