Obrolan tentang kuliner tak lekang oleh waktu. Bayangan menikmati makanan tetap abadi meski pandemi Covid-19 melanda. Warga Jakarta tetap merayakan hobi itu dengan cara bahu-membahu melalui jasa titip antarorang.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
Kegemaran menikmati makanan enak tak terhenti oleh pandemi. Lewat hobi ini, warga saling menguatkan dan berbagi rasa rindu dalam seporsi penganan. Annis Meitiyah (29) kerap mendamba beberapa jajanan langganan di sejumlah wilayah Jakarta. Keinginan itu tak langsung terwujud karena sejumlah jajanan favoritnya tidak terdaftar dalam aplikasi antar makanan konvensional.
Keinginannya baru terwujud setelah menemukan layanan jasa titip (jastip) penganan di media sosial Twitter. Belakangan, jasa ini berkembang dengan tagar #JastipDHKH di medsos. Dari sejumlah unggahan akun jastip, Annis menemukan akun bernama @susanthadi yang melayani jastip untuk roti bakar kesukaannya di bilangan Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
”Ya ampun, akhirnya kesampaian juga kulineran meski di rumah saja. Penyedia jastipnya ramah dan ongkosnya cukup terjangkau,” ujar Annis yang bekerja di salah satu perusahaan pemesanan tiket dan hotel secara daring.
Tren jastip jajanan pun kian ramai saat pandemi Covid-19. Para penggemar kuliner memakai jasa ini untuk menjangkau lapak jajanan yang tidak tersedia di platform antar makanan konvensional. Jastip jajanan pun semakin identik dengan tagar #JastipDHKH
Tagar #JastipDHKH mulanya adalah inisiasi dari teman komunitas Dari Halte ke Halte (DHKH). Komunitas ini menggemari jejak kuliner yang tersembunyi di sekitar moda transportasi umum wilayah Jakarta dan sekitarnya. Bowo, seorang perwakilan komunitas DHKH, menuturkan, tagar #JastipDHKH mempromosikan jajanan dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang pernah mereka unggah di media sosial.
”Mulanya memang #JastipDHKH itu sebagai wadah bagi teman yang penasaran ingin mencoba rekomendasi kuliner DHKH, tapi bertempat tinggal jauh dari Jakarta. Saat pandemi Covid-19, inisiatif #JastipDHKH itu dilakukan oleh siapa pun yang bersedia mengantar jajanan, baik gratis maupun berbayar, untuk mengobati rindu kulineran,” ujar Bowo.
Inisiatif jastip umumnya bebas dilakukan siapa saja, asal mencantumkan tagar #JastipDHKH, memuat informasi jastip jajanan apa saja, dan menyertakan kontak yang dapat dihubungi. Sebagian penyedia jastip ada yang memasang tarif ongkos kirim sesuai kesepatan dengan pembeli.
Kampanye #JastipDHKH saat pandemi Covid-19 pun semakin ramai memasuki Maret silam. Sekarang pun semakin banyak orang, bahkan pengemudi ojek daring, yang membuka jastip untuk kuliner rekomendasi DHKH karena pesanan semakin membeludak.
Dari jastip kuliner ini pun terjalin interaksi antarwarga yang menyatukan. Sumi Syahidah (23), warga Bogor, Jawa Barat, turut menjalin pertemanan yang baik dengan seorang penyedia jastip di wilayahnya. ”Jastip itu, mungkin karena yang buka jasanya enggak sepenuhnya berbisnis, jadi tetap asyik untuk diajak ngobrol. Nitip jajanan pun kadang pernah enggak bayar karena dia kebetulan lewat kuliner di kawasan itu saja,” ucap Sumi.
Susan (27), penyedia jastip DHKH di medsos, juga menyatakan hal serupa. Karyawan swasta di Jakarta ini ingin mencari bisnis tambahan sembari berinteraksi dengan teman-teman komunitas DHKH.
”Awalnya saya lihat peluang untuk buka jastip di medsos DHKH ini dan baru jalan tiga bulan belakangan. Senang, sih, bisa dipercaya buat bantu orang lain memenuhi hasrat kulineran. Uangnya, sih, lumayan untuk tambahan saja di tengah kerja kantoran,” kata Susan.
Di lain sisi, Dwi Agus (48), pedagang jajanan Bakwan Pontianak di daerah Kebon Kacang, Jakarta Pusat, juga merasa banyak terbantu dengan adanya inisiatif jastip dari DHKH.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menjelaskan, inisiatif jastip kuliner mungkin menjadi satu bentuk solidaritas yang tumbuh pada masa pandemi Covid-19. Terlepas dari sebagian orang yang menerapkan jastip dengan ongkos kirim, Devie tetap menilai kalau inisiatif seperti itu membutuhkan sikap kerelaan yang besar.
”Jastip semacam itu mungkin adalah hal yang cukup menggembirakan saat situasi pandemi semakin memburuk. Terlepas dari kegiatannya yang mungkin bermotif transaksional, tetapi tetap ada interaksi sosial di sana sehingga mungkin turut menjaga kewarasan seseorang saat pembatasan sosial di rumah,” ucap Devie.
Devie mengutip Jonah Berger dalam buku Contagious: Why Things Catch On (2013) bahwa seseorang senang untuk berbicara atau berbagi hal yang membuat mereka sendiri nyaman. Di masa pandemi dan pembatasan sosial, mungkin hal ini menjadi kebutuhan yang amat sangat urgen bagi seseorang lebih dari kapan pun.
Terkait itu, Bowo dari DHKH meyakini, obrolan tentang kuliner akan baik untuk mengurangi kegelisahan warga karena diterpa kabar pandemi. Dia berharap, melalui jastip yang diinisiasi sejumlah rekan komunitas, hasrat untuk kulineran tetap berlangsung meski di rumah saja. ”Saya sadar bahwa obrolan soal kuliner selalu bisa mengurangi stres, selain itu juga membuat perut jadi kenyang. Bukankah ketika perut kenyang, maka hati turut menjadi senang?” kata Bowo.