Nirwono Joga: Reklamasi Ancol Berkutat pada Kepentingan Bisnis Wisata
Hak warga akan ruang publik dan keberpihakan Pemprov DKI Jakarta akan kawasan pesisir Ibu Kota untuk masyarakat luas dipertanyakan oleh pengamat perkotaan dan anggota DPRD DKI Jakarta.
Oleh
helena f nababan
·6 menit baca
Pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahwa perluasan kawasan taman hiburan Ancol di Jakarta Utara dengan reklamasi adalah untuk kepentingan publik dipertanyakan. Rencana pengembangan dan perluasan kawasan Ancol hingga 155 hektar dinilai belum berpihak pada kebutuhan masyarakat akan ruang publik, akan pantai publik. Seluruh rencana pengembangan yang ada semua masih berorientasi komersial.
Nirwono Joga, pengamat tata kota dan peneliti pada Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti, Kamis (16/07/2020), menjelaskan, sebagai BUMD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Taman Impian Jaya Ancol adalah kepanjangan tangan Pemprov DKI Jakarta. Untuk itu, perencanaan pengembangan kawasan Ancol harusnya mengutamakan kepentingan publik.
Namun, Nirwono meyakini Ancol masih fokus pada kepentingan bisnis wisata. Seperti yang terungkap dalam rapat kerja dengan Komisi B DPRD DKI Jakarta dengan manajemen PT Taman Impian Jaya Ancol, Rabu (8/7/2020) terungkap, proyek-proyek yang akan dikembangkan di lahan reklamasi di Ancol Timur dan Ancol Barat, di antaranya adalah bird park, masjid apung, Symphony of the Sea tahap 3, restoran, jalur pedestrian bundaran timur. Lalu ada juga Dufan Hotel hingga Ocean Fantasy dan Ancol Residences. Itu semua menurut rencana dikembangkan pada 2021-2023.
Nirwono melihat dengan proyek-proyek yang ada, pengelola Ancol sangat fokus pada komersialisasi. Sementara kebutuhan warga akan ruang publik dan pantai publik yang bisa diakses kapan pun tanpa berbayar, tidak muncul di sana.
”Ini menandakan Pemprov DKI Jakarta sebagai pemegang wilayah tidak bisa menekan Ancol untuk bisa melakukan kewajiban sosialnya. Ancol masih berpikirnya komersial. Ini salah. Seharusnya sebagai kepanjangan tangan Pemprov DKI Jakarta, Ancol harusnya bisa memenuhi kewajibaban sosial pemprov itu,” kata Nirwono.
Proyek-proyek komersial itu sejak awal memang akan ditempatkan di lahan perluasan atau lahan reklamasi pantai Ancol itu, baik yang di timur maupun di barat. Apabila merunut ke Laporan Tahunan Ancol 2009, khususnya di poin 3 tentang risiko terbatasnya lahan, di sana disebutkan, pengembangan kawasan Ancol terbatas hanya pada lahan yang sudah ada atau tersedia sehingga kawasan Ancol belum tergarap secara optimal.
Untuk mengatasi risiko tersebut, perseroan telah membuat rencana induk reklamasi pantai utara seluas 360 hektar dan telah mendapat izin untuk melakukan proyek reklamasi tersebut. Tahap I, reklamasi Ancol Barat seluas 60 hektar telah berjalan baik dan landbank-nya sudah hampir habis. Perseroan dalam laporan tahun 2009 itu menyatakan akan memulai reklamasi tahap II, yakni reklamasi Ancol Timur seluas 120 hektar.
Dalam laporan tahunan 2010, kembali disebutkan Ancol mengembangkan proyek reklamasi di Ancol Timur seluas 120 hektar dari total hal reklamasi sebesar 350 hektar. Proyek tersebut diperkirakan akan selesai pada 2015. Dengan tambahan landbank sebesar itu, akan memudahkan perseroan mengembangkan kawasan Ancol menjadi pusat rekreasi, resor, bisnis, dan hunian yang terintegrasi.
Nirwono menambahkan, dengan adanya perencanaan-perencanaan itu, secara besar, rencana besar Pemprov DKI Jakarta untuk menata kawasan pantai utara Jakarta dipertanyakan. Setidaknya, Pemprov DKI Jakarta harus sudah punya kajian untuk menyelamatkan kawasan pantai utara Jakarta ini hingga 10-20 tahun ke depan dan masuk dalam revisi rencana detail tata ruang supaya tidak terjebak dalam proyek reklamasi dan komersialisasi.
Sementara itu, saat menghubungi Bappeda DKI Jakarta ataupun Asisten Sekdaprov DKI Jakarta Bidang Pembangunan Kamis kemarin, belum juga ada yang merespons upaya Kompas untuk mengonfirmasi tentang kajian dan perencanaan pengelolaan pantai utara Jakarta.
Sumber urukan lahan reklamasi
Gilbert Simanjuntak, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, menjelaskan, untuk kajian kawasan utara itu, Komisi B sudah meminta Ancol untuk menjelaskan rencana induk dan kajian dari reklamasi yang disebutkan tersebut. Penjelasan detail diperlukan karena untuk bisa membentuk 120 hektar, sedimen kerukan dari waduk dan sungai dinilai tidak cukup.
”Kalau begitu, tanah dari mana yang akan dipakai untuk membentuk area 120 hektar melalui reklamasi itu. Kami masih menunggu itu,” kata Simanjuntak.
Hal itu dimintakan karena ia meyakini reklamasi bukan jawaban untuk menyelamatkan Jakarta seperti yang disebutkan Anies Baswedan dalam penjelasan melalui youtube.
Terpisah, Viani Limadi dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyatakan,
PSI mendapati sejumlah kejanggalan dalam reklamasi Ancol.
Kejanggalan itu, lanjut Viani, bahwa Kepgub No 237 Tahun 2020 tidak wajar. Salah satu acuan pelaksanaan proyek reklamasi di Jakarta adalah Peraturan Gubernur (Pergub) 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Di dalamnya telah diatur mengenai batasan ruang, arah pengembangan kawasan, struktur ruang, dan rencana pola ruang reklamasi. Pergub ini merupakan turunan dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
”Setahu saya, Pergub Nomor 121 Tahun 2012 itu belum dicabut dan Perda Nomor 1 tahun 2012 masih berlaku. Tapi, Pak Anies mengeluarkan Kepgub tanpa menyebut kedua produk hukum tersebut, padahal di dalam izin-izin reklamasi sebelumnya selalu menyebutkan kedua aturan itu. Seolah-olah Pak Anies mengeluarkan keputusan tanpa mempertimbangkan aturan-aturan sebelumnya. Dalam tata kelola pemerintahan, ini tidak wajar,” kata Viani Limardi, yang adalah anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta itu.
Setahu saya, Pergub Nomor 121 Tahun 2012 itu belum dicabut dan Perda Nomor 1 Tahun 2012 masih berlaku. Namun, Pak Anies mengeluarkan kepgub tanpa menyebut kedua produk hukum tersebut, padahal di dalam izin-izin reklamasi sebelumnya selalu menyebutkan kedua aturan itu.
Kejanggalan kedua, lanjut Viani, ia melihat sebenarnya Anies melanjutkan reklamasi Pulau K dan Pulau L. Di dalam pernyataannya di Youtube, Anies menegaskan telah mencabut izin reklamasi 13 pulau, termasuk di dalamnya izin reklamasi yang dimiliki Ancol, yaitu Pulau I, J, K, dan L.
Sebelumnya, izin reklamasi Pulau K dituangkan dalam Kepgub Nomor 2485 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K Kepada PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk. seluas 32 hektar. Sedangkan izin prinsip reklamasi Pulau L seluas 481 hektar adalah Surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta tanggal 21 September 2012 No. 1296/-1.794.2.
Namun, di lokasi yang sama dengan Pulau K, Anies memberikan izin reklamasi dengan mengganti judul proyek menjadi pelaksanaan perluasan kawasan rekreasi dunia fantasi (Dufan) seluas 35 hektar. Sementara di lokasi reklamasi Pulau L, Anies memberi izin dengan judul perluasan kawasan rekreasi Taman Impian Ancol Timur seluas 120 hektar.
”Lokasi proyek sama tapi judulnya berbeda. Ini hanya akal-akalan untuk menghilangkan kata reklamasi. Jadi, sudah jelas bahwa sebenarnya Pak Anies melanjutkan proyek reklamasi Pulau K dan Pulau L,” ujar Viani Limardi.
Viani melanjutkan, kejanggalan lainnya adalah hilangnya kontribusi tambahan. Anies mengklaim bahwa kegiatan reklamasi Ancol akan digunakan untuk kepentingan publik. Namun, Anies menghilangkan klausul kontribusi tambahan di dalam keputusan gubernur yang ditandatanganinya.
Di dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 2485 tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K telah diatur berbagai macam tambahan kontribusi berupa penyediaan rumah susun, penataan kawasan, meningkatkan dan membangun jalan, membangun infrastruktur pengendalian banjir termasuk pompa dan rumah pompa, waduk, saluran dan pembangunan tanggul Program NCICD.
Sementara itu, di Kepgub Nomor 237 Tahun 2020 yang dikeluarkan Anies pada Februari lalu, hanya ditulis bahwa kewajiban tambahan akan ditetapkan oleh gubernur.
”Klaim Pak Anies tentang kepentingan publik ini hanya janji-janji, tidak terbukti secara nyata di dalam produk hukum yang dihasilkan. Pak Anies sebagai gubernur sebenarnya punya diskresi untuk memaksa pihak pengembang membayar kontribusi tambahan demi kepentingan rakyat. Tapi mungkin beliau tidak ada keberpihakan ke arah sana,” kata Viani.
Itu sebabnya, dengan adanya rencana reklamasi seluas 155 hektar itu, PSI meminta Ancol membuka kajian mengenai reklamasi itu. Sejauh ini Pemprov DKI ataupun Ancol belum pernah menyampaikan kajian di rapat-rapat DPRD.
”Kajian tersebut masih jadi misteri. Jika kajian itu benar-benar ada, sebaiknya segera dibuka kepada publik agar tidak terjadi polemik,” ujar Viani.