Sebagian Warga Makin Apatis Menghadapi Lonjakan Kasus Covid-19
Lonjakan kasus harian Covid-19 yang sempat mencapai 404 pasien per 12 Juli 2020 di Jakarta tak disikapi sebagai kewaspadaan. Sebagian warga justru apatis menghadapi lonjakan kasus ini.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situs corona.jakarta.go.id menyebutkan, Kelurahan Pademangan Barat di Pademangan, Jakarta Utara, sebagai lokasi penularan Covid-19 dengan jumlah 202 kasus positif hingga 13 Juli 2020. Meski begitu, kondisi di sana tampak tak mencerminkan kekhawatiran terhadap adanya situasi yang kini telah jadi pandemi.
Hal itu seperti tampak di wilayah RT 007 RW 015 Pademangan Barat. Saat menyusuri sejumlah jalan dan gang di sana, tampak sebagian warga yang tidak bermasker saat beraktivitas. Kegiatan pun tampak berlangsung biasa, seperti tiada situasi pandemi.
Uum (32), warga setempat, meyakini tidak perlu pakai masker karena wilayah RT-nya terhindar dari kasus positif. Kewaspadaannya itu merenggang, sementara di wilayah kelurahannya, tepatnya RT 007 RW 007, seorang pasien positif Covid-19 dikabarkan meninggal pada Kamis (9/7/2020) lalu.
”Wilayah sini alhamdulillah enggak ada yang positif. Saya capek banget dengar kabar Covid-19 terus. Udah pasrah saja lah, yang penting tetap di rumah sementara waktu,” tutur perempuan beranak enam ini.
Selain Uum, ada pula Yuyun Suwarna (57) yang tidak bermasker di wilayah Pademangan Barat. Dia yang sedang menjaga toko ponselnya itu melayani pelanggan tanpa masker. Lelaki ini meyakini dirinya tidak akan tertular Covid-19 dengan mudah.
Di samping itu, dia bercerita kalau kondisi keuangannya lebih urgen daripada pandemi itu sendiri. ”Selama Covid-19, lebih banyak orang yang menjual daripada membeli ponsel. Ditambah lagi, kalau mau terima reparasi, pembelian suku cadang ponsel makin susah. Saya takut mati karena tak punya uang, tetapi sebenarnya takut juga karena Covid-19,” ujar warga Karawang, Jawa Barat, ini.
Situasi Uum dan Yuyun mungkin mewakili keresahan sebagian warga saat pandemi. Pengabaian protokol kesehatan, mulai dari pakai masker hingga berjaga jarak, semakin sering terjadi. Uum dan Yuyun menjadi apatis dalam menyikapi penularan Covid-19.
Kondisi serupa dinyatakan sejumlah penghuni rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Tambora, Jakarta Barat. Supriyatin (43) dan Sumiyati (42), warga rusunawa yang kini tidak lagi bekerja, rela mengantar barang demi bisa berpenghasilan.
”Sampai hari ini, suami saya belum dapat pekerjaan lagi. Dia sekarang usaha antar barang supaya sepeda motornya masih terpakai, maklum karena motor pun masih cicilan,” ujar Sumiyati saat dihubungi Senin sore ini.
Ironisnya, sikap apatis semakin muncul saat kasus harian terus melonjak. Adapun selama periode 6-12 Juli, lonjakan yang terlihat drastis ada pada 11 Juli 359 orang dan 12 Juli bertambah 404 orang. Sementara pada 13 Juli, jumlah kasus harian turun menjadi 278 pasien per hari.
Sejumlah kondisi tersebut mencerminkan realitas di kalangan warga yang kian apatis dengan pandemi Covid-19. Pernyataan ini juga seiring dengan hasil survei dari gerakan warga Lapor Covid 19 bersama Social Resilience Lab Nanyang Techological University (NTU) Singapura. Survei Persepsi Risiko Covid-19 DKI Jakarta yang mereka inisiasi tersebut melibatkan 154.471 responden selama periode 29 Mei-20 Juni 2020.
Salah satu hasil survei menyebutkan, 77 persen warga yakin kemungkinan mereka tertular Covid-19 relatif kecil. Sebanyak 76 persen warga juga meyakini kecilnya risiko yang sama bagi orang terdekatnya. Selain itu, 70 persen warga meyakini risiko orang di tempat tinggalnya tertular Covid-19 juga kecil.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menuturkan, sikap sebagian warga yang muncul saat ini mewakili keapatisan dalam menangani Covid-19. Dia menyayangkan pengawasan protokol kesehatan tidak berjalan secara merata di seluruh tempat.
Lurah Pademangan Barat Ruspandi mengakui, masalah kedisiplinan protokol kesehatan menjadi isu tersendiri di permukiman padat penduduk. Walakin, tes terus berjalan rutin di semua RT dan RW demi melacak penularan.
”Soal kedisiplinan memang menjadi isu tersendiri. Tetapi, kami mengupayakan tes tidak putus di setiap wilayah. Setidaknya dua hal ini terus kami lakukan,” ujar Ruspandi.
Mengenai hal itu, Ede menegaskan kalau potensi penularan antarwarga masih terus terjadi. Ia menekankan kepada warga agar protokol kesehatan tidak diabaikan. Protokol kesehatan meliputi pemakaian masker, cuci tangan, serta berjaga jarak saat beraktivitas, harus tetap dilakukan dengan ketat.
Selain itu, pemeriksaan dan pelacakan kasus harus tetap masif. Hal ini untuk mendeteksi warga yang ternyata selama ini adalah orang tanpa gejala (OTG). Jadi, menerapkan pengetatan PSBB atau tidak, yang penting adalah tetap mendisiplinkan protokol kesehatan.
”PSBB secara ketat yang dilakukan pada Juni kemarin sebenernya lebih bertujuan mencegah kasus penularan yang bersifat imported case. Sekarang ini justru kasus impor sudah mereda, penularan malah lebih banyak terjadi di kalangan warga. Maka, pengetatan protokol kesehatan di tingkat warga ini yang tidak boleh kendur,” ujarnya.
Ede menekankan, warga dan pemerintah harus tetap menerapkan protokol kesehatan demi mencegah banyak kemungkinan. Apalagi karena ilmuwan dunia tengah membuktikan kalau virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, bisa menyebar lewat udara. Apabila hal itu benar terbukti, berarti virus telah berkembang dan seluruh umat manusia mesti mewaspadai kemungkinan tersebut.
”Saat ini kita semua berperang melawan mutasi virus, sesuatu yang juga tidak kelihatan. Upaya-upaya untuk mencegah akan lebih baik daripada kita turut tertular,” ucapnya.