Pelaku Paedofil WNA Perancis Bunuh Diri, Identifikasi Korban Berlanjut
Polisi tetap didorong mengusut peristiwa ini karena kematian tersangka mengganggu kepentingan melindungi anak-anak.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya menyatakan, pelaku kejahatan pedofil, FAC (65), asal Perancis terhadap 305 anak meninggal setelah percobaan bunuh diri di Jakarta, Minggu (12/7/2020) sekitar pukul 20.00. Penyelidikan kasus FAC berhenti, tetapi identifikasi korban berlanjut.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, dalam konferensi pers, mengatakan, petugas jaga tahanan ketika patroli menemukan FAC mencoba bunuh diri dengan mengikat kabel di leher dalam ruang tahanan, Kamis (9/7/2020) malam. FAC memperoleh kabel yang terpasang di atas kamar mandi dengan memanjat tembok.
”Kami bawa ke RS Polri Kramatjati dan dia menerima perawatan medis lebih kurang tiga hari. Kemarin malam, tersangka meninggal. Kami sudah memeriksa petugas jaga tahanan dan melakukan rekonstruksi tempat kejadian,” kata Yusri di Jakarta, Senin (13/7/2020).
Kepala Bidang Dokter Kesehatan Polda Metro Jaya Kombes Umar Shahab menuturkan, FAC dikirim ke rumah sakit dalam kondisi lemas. Setelah menerima tindakan di unit gawat darurat, FAC dipindahkan ke ICU karena kondisinya melemah.
”Kami melakukan tindakan sesuai dengan prosedur yang ada. Setelah meninggal, kami belum melakukan otopsi karena belum ada permintaan. Namun, diagnosis dokter yang merawat adalah jelas dari hasil rontgen ada retakan pada tulang belakang leher yang membuat sumsum terkena jerat sehingga suplai oksigen ke otak dan organ penting berkurang,” ujar Umar.
Hingga saat ini, jenazah FAC masih berada di rumah sakit. Kepolisian masih berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Perancis mengenai langkah selanjutnya, apakah perlu dilakukan otopsi atau tidak.
FAC merupakan pelaku yang mengeksploitasi anak-anak secara seksual dan ekonomi. Polisi menemukan sejumlah bukti, termasuk 305 video asusila yang dilakukan FAC kepada 305 anak, di mana kebanyakan adalah anak jalanan. Dalam melakukan aksi, FAC menyamar sebagai fotografer dan mengajak anak-anak ke hotel-hotel di Jakarta dengan iming-iming pekerjaan sebagai model.
Tetap diselidiki
Yusri melanjutkan, kematian FAC membuat kasusnya mendapat SP3. SP3 adalah surat penghentian penyidikan perkara yang berarti penyidikan kasus FAC dihentikan. Akan tetapi, polisi akan terus melakukan identifikasi 305 anak yang menjadi korban.
”Kami sudah mengidentifikasi 19 korban. Kami bekerja sama dengan Kementerian Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) untuk melakukan trauma healing terhadap korban. Penyidik terkendala untuk identifikasi karena anak-anak belum memiliki data KTP. Kami akan berupaya untuk terus mengidentifikasi 286 korban lain,” ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, secara terpisah, kembali mendorong kepolisian membentuk tim terpadu antara kepolisian, Kementerian Sosial, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak untuk mempercepat identifikasi dan cakupan perlindungan korban dari pelaku FAC. Hal ini diperlukan mengingat banyaknya jumlah anak yang menjadi korban.
”Kami juga mendorong agar polisi tetap membongkar peristiwa ini karena kematian tersangka mengganggu kepentingan melindungi anak-anak. Kita harus mengetahui apakah dia pelaku tunggal, bagaimana dia beroperasi sehingga bisa lama tinggal di hotel, dan apa yang dilakukan terhadap video yang disusun rapi itu,” ujar Ai.
Ai melanjutkan, kasus beberapa pelaku paedofil WNA yang beroperasi di Indonesia menunjukan, mereka bisa memanfaatkan celah sehingga bisa leluasa menyasar anak-anak rentan. Anak rentan yang dimaksud tidak hanya anak tinggal di jalanan karena tidak memiliki keluarga, tetapi anak-anak yang tidak terpenuhi kebutuhan ekonomi dan tidak mendapat pengawasan ketika hidup dalam lingkungan terbuka.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar mengatakan, setelah kematian pelaku FAC, pemerintah serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tengah menelaah pihak lain yang harus bertanggung jawab kepada korban. Mereka juga tengah menentukan bentuk restitusi atau kompensasi yang bisa diberikan kepada korban.
Kami juga mendorong agar polisi tetap membongkar peristiwa ini karena kematian tersangka mengganggu kepentingan melindungi anak-anak. Kita harus mengetahui, apakah dia pelaku tunggal, bagaimana dia beroperasi sehingga bisa lama tinggal di hotel, dan apa yang dilakukan terhadap video yang disusun rapi itu.
Restitusi anak yang berhadapan dengan hukum mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana. Korban yang bisa mengajukan permohonan restitusi adalah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), korban eksploitasi, korban pornografi, korban perdagangan, korban kekerasan fisik dan psikis, serta anak korban kejahatan seksual.
Korban bisa mendapat ganti rugi atas kehilangan kekayaan, penderitaan, serta perawatan medis dan psikologis. ”Ini bisa berubah karena pelaku meninggal, jadi masih ditelaah LPSK siapa yang bertanggung jawab karena ada pilihan restitusi atau kompensasi,” kata Nahar.