Ribuan Nyawa dan Triliunan Rupiah Berpotesi Hilang karena Polusi Udara
Riset Greenpeace Asia Tenggara dan IQAir AirVisual menemukan potensi hilangnya ribuan nyawa dan triliunan rupiah karena polusi udara yang tak tertangani dengan baik.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polusi udara menjadi momok di banyak negara, termasuk Indonesia. Selama masalah ini belum dapat tertangani, selama itu pula warga merasakan dampak buruk. Tidak hanya kerugian uang yang ditimbulkan, tetapi juga nyawa warga terancam.
Kerugian dampak polusi udara dapat disimak dalam riset Tracking the Cost of Air Pollution di https://www.greenpeace.org/international/campaign/tracking-cost-air-pollution/. Pada sistem itu tertera potensi kerugian polusi udara di kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu, dalam diskusi daring tentang Kerugian Ekonomi dari Polusi Udara, Kamis (9/7/2020), menuturkan, lembaga riset independen Center for Research on Energy and Clean Air bekerja sama dengan AirVisual dan Greenpeace membuat alat daring untuk melacak dampak kesehatan dan biaya ekonomi dari polusi udara di kota-kota dunia secara real time.
Metode Center for Research on Energy and Clean Air untuk alat itu ialah dengan mengukur biaya ekonomi polusi udara dari bahan bakar fosil PM 2,5 dan nitrogen oksida (NO2) terhadap kesehatan dan pendapatan domestik bruto.
Berdasarkan pengukuran itu, diperkirakan jumlah kematian akibat polusi udara di DKI Jakarta sejak awal tahun 2020 mencapai 6.200 dengan kerugian ekonomi Rp 23 triliun. Jumlah itu seperempat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 87,95 triliun.
Kepala Analis Center for Research on Energy and Clean Air Lauri Myllyvirts mengatakan, polusi udara dengan tingkat parah dalam suatu area tertentu selaras dengan tingkat risiko penyebaran penyakit maupun keparahannya.
Center for Research on Energy and Clean Air melalui metode itu memperkirakan pada tahun 2018 di seluruh dunia setidaknya 4,5 juta orang meninggal karena paparan polusi. Sementara kerugian ekonimi 2,9 triliun dollar Amerika Serikat. Di sisi lain PM 2,5 dan NO2 bertanggung jawab atas 1,8 miliar hari absen kerja, 4 juta kasus baru asma pada anak-anak, dan 2 juta kelahiran prematur.
Riset itu juga menemukan bahwa polusi udara di Ibu Kota tetap sama saat berlangsung pembatasan sosial berskala besar. Datanya didukung hasil citra satelit dan analisis Center for Research on Energy and Clean Air. Konsentrasi PM 2,5 tetap tinggi meskipun turun.
Biru semu
Greenpeace Indonesia menemukan bahwa kondisi ambang batas PM 2,5 sepanjang Januari-Juni dalam kurun tiga tahun terakhir tidak jauh berbeda. Sebagai gambaran ada perbedaan standar ambang batas PM 2,5 antara Indonesia (65 µg/m3) dan Badan Kesehatan Dunia atau WHO (25 µg/m3).
Greenpeace berdasakan data alat ukur di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan merinci rata-rata harian ambang batas PM 2,5 berada pada level moderat hingga tidak sehat. ”Kualitas udara menunjukkan bahwa tindakan pemerintah terhadap polusi udara masih jauh dari optimal,” ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu.
Karena itu, Greenpeace meminta pemerintah untuk menambah stasiun pemantauan kualitas udara sehingga dapat mewakili Jakarta secara keseluruhan, menyediakan sistem transportasi publik terintegrasi, dan berkoordinasi untuk mengendalikan polusi udara lintas batas. Juga beralih ke sumber energi terbarukan, melakukan inventarisasi emisi reguler, dan memperketat standar kualitas udara ambien nasional.
Unit Sains Greenpeace Aidan Farrow menambahkan, pembatasan sosial berskala besar memang mengurangi aktivitas industri dan transportasi. Walakin citra satelit menunjukkan ada sumber polutan lain. Sumbernya berdasarkan pergerakan arah angin terbang jauh dari PLTU Suralaya, Banten.
”Itu pentingnya inventarisasi emisi untuk tahu apa dan berasal dari mana saja sumber pencemar. Datanya penting untuk program penanganan,” ucap Aidan.
Sebelumnya kualitas udara Jakarta cenderung membaik selama pembatasan sosial karena berkurangnya aktivitas warga. Namun, kondisi itu tidak berarti Ibu Kota bebas dari polusi.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mencatat polusi udara Ibu Kota turun tipis pada 10 hari pertama pembatasan sosial. Sepekan kemudian barulah polusi udara turun drastis. Data tersebut diperoleh dan dianalisis dari stasiun pemantau kualitas udara ambien.
Dalam rentang 16-25 Maret, rata-rata kualitas udara berada dalam kondisi tidak sehat dengan konsentrasi PM 2,5 sebesar 44,55 µg/m3. ”Selanjutnya memang kualitas udara membaik. Hari-hari ini polusi turun drastis, sekarang konsentrasi PM 2,5 berkisar 10-15 µg/m3,” ujar Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin.