Polisi Sulit Identifikasi Ratusan Korban Pedofil WNA Perancis
WNA Perancis pelaku kekerasan seksual pada 305 anak itu bekerja sendiri. Dia bisa berbahasa Indonesia dan sudah bolak balik Jakarta sejak tahun 2015 menggunakan visa wisata. Artinya sudah lima tahun dia di sini.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya masih terus mengusut kasus eksploitasi seksual dan ekonomi terhadap ratusan anak di bawah umur oleh FAC (65), warga negara Perancis. Akan tetapi, polisi mendapatkan tantangan untuk mengidentifikasi identitas para korban. Pelaku juga menolak bersikap kooperatif.
Seperti yang diwartakan, Polda Metro Jaya menangkap FAC beserta bukti menemukan bukti 305 video asusila yang diduga dilakukan bersama 305 anak yang berbeda. Dalam beroperasi, FAC menyamar sebagai fotografer dan mengajak anak-anak ke hotel dengan iming-iming pekerjaan sebagai model.
Direskrimum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat mengatakan, polisi menghadapi tantangan untuk mengidentifikasi identitas anak-anak melalui gambar di video. Hal ini karena data anak-anak belum tersimpan dalam basis data seperti data penduduk dewasa.
”Korban ini masih anak-anak sehingga tidak terintegrasi dengan KTP-elektronik. Kami belum punya daftar anak sehingga tahunya dari gambar video saja. Jadi kita harus pelan-pelan tanya anak yang lain siapa yang pernah diajakin, lalu kita cocokan lagi dengan gambar di video,” kata Tubagus, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (10/7/2020).
Sejauh ini, polisi sudah mengidentifikasi 17 anak, antara lain AS (16), EH (14), SB (13), FL(16), NW (15), dan RT (16). Berdasarkan penyelidikan, korban kebanyakan adalah anak perempuan jalanan.
Korban ini masih anak-anak sehingga tidak terintegrasi dengan KTP-elektronik. Kita belum punya daftar anak sehingga yang tahunya dari gambar video saja.
Tubagus melanjutkan, identifikasi korban semakin sulit karena FAC menolak bekerja sama dalam penyelidikan. FAC menolak memberikan kata sandi peralatan elektronik yang dimilikinya.
”Pelaku bekerja sendiri. Dia bisa berbahasa Indonesia, walaupun tidak lancar, dia mengerti karena sudah bolak-balik Jakarta sejak tahun 2015 menggunakan visa wisata. Artinya sudah lima tahun dia di sini,” ujar Tubagus.
Berdasarkan penyelidikan, FAC tinggal di Hotel O selama Desember 2019-Februari 2020, Hotel L selama Februari-April 2020, dan Hotel PP selama April-Juni 2020. Pelaku biasa berjalan-jalan mencari kerumunan anak-anak. Anak yang bersedia ikut dia dandani, foto, dan kemudian disetubuhi.
Selesai melakukan aksinya, ia akan memberi imbalan mulai dari Rp 250.000 sampai dengan Rp 1 juta. FAC akan melakukan kekerasan fisik kepada anak yang tidak mau disetubuhi.
Menurut Tubagus, FAC telah menunjuk sendiri pengacara pembelanya dari Indonesia. Tidak ada kabar dari pihak Kedutaan Besar Perancis di Indonesia. Polisi pun belum menyelidiki rekam jejak kriminal FAC di Perancis.
Pelaku bekerja sendiri. Dia bisa berbahasa Indonesia, walaupun tidak lancar, dia mengerti karena sudah bolak-balik Jakarta sejak tahun 2015 menggunakan visa wisata. Artinya sudah lima tahun dia di sini.
Atas perbuatannya, FAC dijerat dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman maksimal adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup serta dapat dikenai tindakan kebiri kimia. Jika terbukti mendistribusikan konten yang melanggar kesusilaan, ia juga akan dijerat UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah, melalui keterangan tertulis, mengatakan, dari 17 korban yang sudah diidentifikasi, enam anak telah dijangkau pihak berwenang untuk proses penilaian. Namun, penting untuk mempercepat identifikasi korban lainnya.
Untuk itu, KPAI menilai, perlu membentuk tim terpadu yang terdiri dari kepolisian, Kemensos, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk mempercepat identifikasi. Kementerian Sosial telah menyatakan akan memberikan perlindungan dan rehabilitasi kepada korban yang membutuhkan.
Ai melanjutkan, profil anak yang menjadi korban adalah mereka yang kurang mendapatkan perhatian dari keluarga dan orangtua, terutama anak jalanan. Kerentanan itu dimanfaatkan oleh pelaku melalui iming-iming uang.
”Korban sangat banyak dan pelaku melakukan cara cara child sex groomer, istilah pendekatan secara emosional dan bujuk rayu untuk mengajak anak lebih dekat dan kemudian melakukan tindakan eksploitasi seksual. Dalam satu bulan ini, KPAI mencatat setidaknya dua kasus besar tindak eksploitasi seksual pada anak yang dilakukan WNA kepada anak di bawah umur,” kata Ai.
Sebelumnya, polisi telah mengungkap kejahatan RAD, seorang buron FBI, sedang melakukan eksploitasi seks komersial anak (ESKA) pada remaja. Kasus kedua adalah FAC ini yang memakan korban hingga 305 anak.