Memperkenalkan Rumah Mungil Lestari di Tepi Ciliwung
Rumah mungil, yang ramah lingkungan juga ramah bagi penghuninya menjadi salah satu solusi yang menjawab kebutuhan tempat tinggal layak di perkotaan, khususnya di kawasan permukiman padat.
Oleh
Neli Triana
·5 menit baca
Rumah mungil atau tiny house, apakah itu? Bagi pencinta seri Amazing Spaces yang dibawakan arsitek Inggris, George Clarke, atau Tiny House Nation di saluran televisi berbayar Lifetime pasti mudah membayangkan konsep rumah mungil. Rumah mungil kian digandrungi terutama karena jauh lebih terjangkau sdan ramah lingkungan.
Dari percakapan, Selasa (7/7/2020), dengan dosen arsitektur UI, Herlily, diketahui jika konsep rumah mungil kini tengah populer di kota-kota berpenduduk padat karena mampu memanfaatkan lahan sempit secara maksimal. Tidak hanya itu, menurut riset oleh Shearer dan Burton tahun 2018, rumah mungil dianggap mampu mengurangi emisi karbon dari konsumsi material, konstruksi, dan perawatan yang berlebih.
Menurut Herlily, di Indonesia, rumah mungil sebenarnya sudah lama dikenal. ”Iya ini kalau di kampung-kampung (padat perkotaan), kan, tiny juga sebetulnya, lebih berkesinambungan karena tapak ekologinya juga kecil,” katanya.
Iya ini kalau di kampung-kampung (padat perkotaan), kan, tiny juga sebetulnya, lebih berkesinambungan karena tapak ekologinya juga kecil.
Di Jakarta, konsep yang sama kini coba dihadirkan oleh tim pembakti dari Departemen Arsitektur Universitas Indonesia (UI) melalui kegiatan pengabdian masyarakat ”Perancangan Sustainable Tiny House” dengan pendekatan participatory action research (PAR).
Herlily, yang terlibat dalam program pengabdian masyarakat tersebut, mengatakan, kegiatan yang didukung skema hibah Direktorat Riset dan Pengabadian Masyarakat UI itu memiliki tujuan utama untuk mengusulkan prototipe rumah inti mungil untuk hunian di perkampungan padat dengan lahan terbatas. Selain konsep rumah mungil, kegiatan pengabdian masyarakat ini fokus pada metode partisipasi aktif oleh seluruh pihak terkait selama prosesnya.
Konsep penataan perkampungan padat dengan pendekatan rumah mungil yang ramah lingkungan ini muncul dari warga Komunitas Anak Kali Ciliwung (KAKC) dalam diskusi bersama tim UI. Diskusi berakhir dengan rekomendasi empat usulan prototipe unit hunian kopel untuk setiap dua keluarga, yaitu keluarga Salijan dan keluarga Ahom dari Kampung Lodan; Bu Rohidah dari Kampung Tongkol; Bu Rosminah, Pak Widodo, Pak Jack, dan Pak Elang dari Kampung Kerapu. Ketiga kampung berlokasi di Kota Jakarta Utara dan berada di bantaran Sungai Ciliwung.
Dari hasil diskusi tersebut, diputuskan luas per lantai unit rumah mungil bervariasi mulai dari 6, 16, sampai 25 meter persegi. Setiap unit juga mewakili ragam karakter penghuni dan kebutuhan dari warga KAKC, mulai dari rumah sebagai tempat usaha hingga keterbatasan ruang ataupun privasi bagi penghuninya.
Community organizer KAKC, Guntoro, mengatakan, selain menentukan unit, diskusi juga menghasilkan beberapa ketentuan terkait batasan biaya pembangunan, seperti anggaran pembangunan yang tidak melebihi Rp 70 juta untuk satu kopel atau dua unit rumah berdempetan, yang akan memengaruhi perancangannya.
”Pembatasan ini bertujuan untuk meningkatkan potensi penggunaan dan pengolahan kembali material daur ulang ataupun skema prototipe yang mengutamakan berbagi utilitas inti rumah,” kata Herlily sebagai pemrakarsa program ini dan telah mendampingi KAKC sejak tahun 2015.
Selain melibatkan masyarakat, tim dosen pembakti yang terdiri dari Herlily, Elita Nuraeny, dan Amira Paramitha, juga melibatkan beberapa arsitek muda, seperti Dinullah Ibrahim, Nadya Azalia, Nurhadianto, Rian Faisal, dan Inten, sebagai narasumber sekaligus rekan diskusi warga dalam merancang prototipe rumah mungil yang dibutuhkan. Tidak hanya rancang bangun, kolaborasi antara arsitek dan pemilik rumah juga terjadi dalam penyusunan anggaran, material-material yang bisa dimanfaatkan kembali, ataupun proyeksi perubahan siklus hidup penghuni melalui skema pembangunan bertahap.
Hasil perancangan bersama cukup beragam, menyesuaikan dengan kebutuhan setiap penghuni rumah. Selain itu, setiap arsitek membawa warnanya sendiri ke dalam diskusi. Dinullah Ibrahim, misalnya, mengusulkan sebuah konsep pemanfaatan lantai sebagai ruang penyimpanan dengan memanfaatkan pengalamannya sebagai desainer interior.
Lain halnya dengan Nurhadianto yang telah mendalami profesi arsitek. Hadi mengutamakan teknis bangunan dan faktor kesehatan rumah dengan memanfaatkan bukaan vertikal. Rancangan yang dihasilkan memberi warga KAKC beragam pilihan rumah mungil untuk mereka kembangkan di kemudian hari yang menyesuaikan kebutuhan dan karakter mereka masing-masing.
”Apabila kita berbicara mengenai perjuangan dalam mempertahankan dan mengembangkan kondisi perkampungan di Jakarta, nama KAKC berada di garda terdepan. Berlokasi di Ancol, Jakarta Utara, kisah pergulatan komunitas warga ketiga kampung tersebut berawal di tahun 2015 saat tempat tinggal mereka terancam digusur untuk pelebaran sungai dan jalan. Ikatan dan kenangan akan puluhan tahun menempati kampung membuat warga tak tinggal diam. Mereka pun bernegosiasi dengan pemerintah dan secara gotong royong memotong 5 meter rumah mereka untuk sebagai jalur pengawasan sungai,” kata Herlily lagi.
Berlokasi di Ancol, Jakarta Utara, kisah pergulatan komunitas warga ketiga kampung tersebut berawal di tahun 2015 saat tempat tinggal mereka terancam digusur untuk pelebaran sungai dan jalan. Mereka pun bernegosiasi dengan pemerintah dan secara gotong royong memotong 5 meter rumah mereka untuk sebagai jalur pengawasan sungai.
Namun, dampak dari pemotongan lahan di tahun 2015 berujung pada warga yang terpaksa hidup dengan memanfaatkan area sempit untuk beragam kegiatannya sehari-hari. Kondisi tersebut diperburuk dengan minimnya bukaan ke ruang luar, sehingga pencahayaan maupun sirkulasi udara kurang maksimal di dalam rumah. Selain itu, pemotongan telah meninggalkan puing bangunan, rangka besi yang menonjol, dan bahaya-bahaya konstruksi lainnya. Apabila tidak segera diatasi, hal tersebut akan membahayakan bagi keselamatan warga.
Kini, Kampung Tongkol, Kampung Krapu, dan Kampung Lodan adalah salah satu kampung prioritas penataan kampung Jakarta yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat. Dalam Kepgub No 878/2018 tersebut, penataan kampung yang dimaksud berkonsep community action plan (CAP).
Tahap awal program pengabdian masyarakat Departemen Arsitektur UI di ketiga kampung tersebut berlangsung sejak Oktober 2019 hingga Maret 2020. Seharusnya pada Maret lalu sudah masuk tahap konstruksi. Namun, karena ada pandemi Covid-19, program terhenti sementara. Bulan Juli ini, program konstruksi rumah mungil percontohan di ketiga kampung dijadwalkan mulai berjalan.
”Hasil rancangan awal telah selesai dan dipamerkan pada peringatan Hari HAM Sedunia di Jakarta pada 10 Desember 2019. Pameran yang melibatkan organisasi internasional, LOCOA (Leaders and Organizers of Community Organization in Asia) menjadi momentum yang sesuai untuk memperkenalkan hasil rancangan prototipe tiny house kolaborasi warga dan arsitek,” kata Herlily.