Di masa pandemi Covid-19, para pencari kerja tak lantas putus asa. Mereka mengubek-ubek seluruh kanal lowongan, bahkan hingga ke media sosial.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Baru genap dua pekan pada Selasa (7/7/2020) ini, Gavriella Diandra Ganesh (25) berhenti dari profesinya sebagai desainer grafis. Sebuah perusahaan rintisan digital di Jakarta merumahkan Ganesh karena alasan efisiensi saat situasi pandemi Covid-19.
Selagi menggarap proyek desain grafis lepas waktu, Ganesh terus mencari lowongan di perusahaan-perusahaan. Sejak sebulan sebelumnya, perempuan ini telah menanyakan lowongan kerja ke kolega sesama bidang usaha rintisan digital. Alih-alih berharap dapat kerja lebih cepat, dirinya malah tidak dikabari hingga saat ini.
Upaya mencari lowongan tak berhenti pada situs perusahaan besar dan kanal resmi pencari kerja. Baru belakangan ini, Ganesh tak sengaja menemukan utas lowongan di media sosial Twitter. Cuitan yang diunggah akun @hrdbacot tersebut berisi dokumen digital dengan daftar bermacam deretan lowongan kerja.
Ada sedikitnya 13 bidang pekerjaan yang tercantum dalam dokumen tersebut, sementara Ganesh mencari lowongan di bidang desain grafis. ”Ya, lumayan, sih, ada beberapa lowongan yang mungkin cocok buat aku. Inisiatif seperti ini lumayan membantu, sih,” ujar perempuan lulusan Institut Teknologi Bandung ini.
Pengalaman Ganesh mungkin menggambarkan kesulitan sebagian pencari kerja dalam situasi pandemi Covid-19. Kondisi sulit itu bahkan mendorong dirinya ke sebuah utas cuitan di media sosial. Salah satu utas lowongan kerja milik akun @hrdbacot, misalnya, disukai sebanyak 4.575 pengguna.
Fahni Amsyari (23), calon pekerja dari Universitas Komputer Indonesia, Bandung, Jawa Barat, juga mengincar lowongan desainer user interface/user experience dalam utas akun Twitter HRD Bacot. Pekan lalu, dia mengirim lamaran ke empat perusahaan sekaligus. ”Kalau lihat daftar pekerjaan di HRD Bacot itu, banyak lowongan buat UI/UX designer. Ya, mudah-mudahan ada yang keterima,” ujarnya.
Selain akun @hrdbacot, akun @mas_recuiter juga kerap mengunggah cuitan lowongan kerja. Unggahan semacam ini tampak semakin dicari di medsos dengan ribuan bubuhan tanda suka.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy, menilai kondisi ramainya lowongan kerja di medsos sebagai cerminan betapa banyaknya orang yang butuh pekerjaan. Unggahan lowongan yang sebelumnya hanya ada di situs resmi atau kanal lowongan tertentu, kini bahkan masuk ke kanal-kanal media komunikasi personal.
Hal itu seperti dialami oleh Nida Nufus (26). Dia mulai mendapat lowongan pekerjaan di kanal surel dan pesan teks. Dia rela kebanjiran informasi di ponsel asal mendapat lowongan kerja yang sesuai.
Hilang pekerjaan
Mengutip laporan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah pada Mei 2020, ada 1.722.956 orang di Indonesia yang kini kehilangan pekerjaan. Jumlah ini terdiri dari 1.032.960 buruh yang dirumahkan, 375.165 buruh yang di-PHK, dan 314.833 orang di sektor informal yang pekerjaannya mandek. (Kompas, 4/5/2020)
Seiring dengan data tersebut, perusahaan digital perantara lowongan kerja Kalibrr merilis laporan ”Lanskap Rekrutmen Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19”. Kalibrr menyurvei 360 orang yang bertugas sebagai perekrut karyawan di bidang energi, finansial, manufaktur, kesehatan, consumer goods, logistik, dan konsultasi. Survei diadakan pada 13-27 April 2020.
Sebanyak 77 persen responden menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 berdampak serius terhadap finansial perusahaan. Hanya 5 persen responden yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 memberikan dampak positif terhadap pendapatan bisnis. Sebanyak 5 persen responden ini bekerja di industri teknologi dan digital, consumer goods, serta kesehatan.
Lebih dari separuh dari total responden mengaku bahwa perusahaannya melakukan perekrutan berdasarkan prioritas kebutuhan operasional. Perekrutan hanya dibuka untuk posisi yang mendesak. Sementara 41 persen responden mengaku perusahaannya tidak lagi merekrut karyawan.
Direktur Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Indonesia Michiko Miyamoto menyampaikan, Indonesia perlu mengatasi problem tenaga kerja saat ini. Perlu ada kebijakan yang koheren, menggandeng industri, dan berbagi solusi praktik terbaik. Untuk kebijakan yang koheren khususnya, Michiko berharap setiap kementerian/lembaga tidak mengembangkan program perbaikan kesenjangan keterampilan sendiri-sendiri. Semua institusi harus diajak dialog (Kompas, 2/7/2020).
Menggandeng industri berarti memetakan kebutuhan industri sehingga mereka pun terbantu menghadapi pandemi Covid-19 dan beban digitasi industri yang telah ada sebelumnya. Menggandeng industri juga bisa dimaknai mengajak mereka peduli terhadap perbaikan kesenjangan keterampilan angkatan kerja usia muda.
”Generasi muda kita sangat krusial,” ungkap Michiko. Tanpa terobosan kerja sama, mustahil untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi usia muda yang kini berburu lowongan. Dengan kondisi terus begini, calon tenaga kerja muda akan terus mencari lowongan tanpa kepastian.