PPDB dengan Zonasi Bina RW Meleset dari Tujuan Pendidikan
Baik pemerintah pusat maupun daerah tidak peka terhadap masalah nyata PPDB, yakni keadilan akses pendidikan melalui jarak, bukan unsur lainnya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar & Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyepakati bahwa jalan keluar dari kisruh penerimaan peserta didik baru atau PPDB di DKI Jakarta ialah dengan adanya jalur zonasi berbasis RW atau rukun warga. Akan tetapi, keputusan ini dinilai sebagai bukti bahwa baik pemerintah pusat maupun daerah tidak peka terhadap masalah nyata PPDB, yakni keadilan akses pendidikan melalui jarak, bukan unsur lainnya.
Keputusan itu diumumkan Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hudori di Jakarta, Senin (6/7/2020). Turut hadir dalam pertemuan itu Pelaksana Tugas Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Chatarina Girsang dan Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah.
”Pendidikan merupakan layanan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sama seperti kesehatan, sosial, dan pekerjaan umum. Semua orang harus bisa mengaksesnya,” kata Hudori.
Dalam keterangannya, Chatarina menuturkan bahwa Pemerintah Provinsi Jakarta telah menunjukkan itikad baik dengan mengubah peraturan mengenai PPDB. Aturan payung dari penerimaan siswa baru adalah Peraturan Mendikbud 44/2019, yang di dalamnya dinyatakan bahwa jalur zonasi, yaitu menyeleksi siswa berdasarkan jarak atau bisa pula radius rumah ke sekolah, diwajibkan minimal 50 persen dari kuota.
Meski demikian, Peraturan Pemprov Jakarta melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Jakarta 501/2020 dan Petunjuk Teknis (Juknis) Kepala Dinas Pendidikan Jakarta 670/2020 mengatakan bahwa kuota jalur zonasi adalah 40 persen. Itu pun diseleksi tidak berdasarkan jarak rumah ke sekolah, tetaip umur anak yang mengikuti PPDB.
Akibatnya, banyak anak yang tempat tinggalnya dekat dari sekolah incaran tidak lolos PPDB zonasi karena dianggap belum cukup umur. Orangtua dan wali murid segera mengutarakan kemarahan mereka melalui protes dan unjuk rasa di depan Kemendikbud pekan lalu. Mereka juga bertemu dengan Komisi XDPR RI supaya memberikan arahan kepada pemerintah.
Akibatnya, banyak anak yang tempat tinggalnya dekat dari sekolah incaran tidak lolos PPDB zonasi karena dianggap belum cukup umur. Orangtua dan wali murid segera mengutarakan kemarahan mereka melalui protes dan unjuk rasa di depan Kemendikbud pekan lalu.
Disdik Jakarta kemudian menambah kuota jalur zonasi dengan cara memberi empat kursi lagi untuk setiap rombongan belajar. Sebagai gambaran, satu rombongan belajar di SMP atau SMA biasanya diisi 36 siswa. Adanya tambahan ini membuat satu rombongan belajar berisi 40 siswa. Tambahan ini diperoleh melalui zonasi bina RW, yaitu meminta sekolah menerima anak-anak yang satu RW dari sekolah itu. Patokan utama seleksi tetap umur.
Menurut Chatarina, hal ini sudah sesuai dengan Permendikbud 44/2019. Alasannya, sekarang jumlah siswa yang diterima melalui jalur zonasi di Jakarta mencapai 50 persen. Sesuai kuota minimal arahan pemerintah pusat.
Sementara itu, Saefullah memaparkan bahwa hanya 46,17 persen lulusan SD sederajat yang bisa ditampung di SMP negeri. Untuk SMA lebih kecil lagi, yakni 32,94 persen. Selain itu, Pemprov Jakarta juga akan melakukan adendum atas Juknis Kepala Dinas Pendidikan Jakarta 670/2020 terkait penaikan kuota tersebut.
”Jalur zonasi di SMP sudah terisi 51 persen dan di SMA 50,07 persen. Melebihi amanat Permendikbud 44/2019. Sisanya adalah peran sekolah swasta,” tuturnya.
Jalur zonasi di SMP sudah terisi 51 persen dan di SMA 50,07 persen. Melebihi amanat Permendikbud 44/2019. Sisanya adalah peran sekolah swasta.
Meleset
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Abdullah Ubaid Matraji melihat kesepakatan pusat dan daerah ini meleset jauh dari permasalahan yang sebenarnya. Pertama ialah praktik PPDB yang mengatasnamakan zonasi, tetapi tidak memakai jarak sebagai metode seleksi. Kedua ialah minimnya pembinaan sekolah di Jakarta untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga orangtua bisa percaya diri memasukkan anak ke sekolah mana pun.
Solusi ini tidak menyelesaikan persoalan. Ke depan, Jakarta akan terus mengalami kisruh di setiap tahun ajaran baru karena PPDB tidak berbasis amanat Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah 17/2020.
”Seperti apa mekanisme menampung anak-anak yang tidak lolos zonasi di sekolah swasta? Asumsi bahwa orangtua sukarela memasukkan anak ke sekolah swasta berbayar hanya berlaku untuk keluarga berekonomi mapan yang mampu membayar untuk pendidikan bermutu. Bagi anak-anak dari keluarga berekonomi rentan harus ada campur tangan pemerintah untuk memastikan mereka mendapat sekolah dan dididik dengan baik,” ujarnya.
Skema ini masuk dalam pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun. Anak-anak dari keluarga berekonomi lemah yang tidak lolos PPDB di sekolah negeri berhak atas bantuan bahwa mereka pasti bersekolah dan dibantu apabila orangtua atau ali tidak mampu membayar biayanya.
Bersisa
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim memaparkan, zonasi berbasis RW itu sendiri tidak peka pada kenyataan lapangan karena tidak setiap RW memiliki sekolah negeri. Berdasarkan koordinasi dengan kepala-kepala sekolah SMP negeri, terungkap bahwa ada sekolah yang kuota zonasi berbasis RW bersisa.
”Salah satu SMP negeri di Jakarta Timur membuka 28 kursi untuk zonasi berbasis RW, tetapi yang terisi cuma dua. Artinya, zonasi berbasis RW ini tidak efektif karena masih memakai usia. Seharusnya dipakai untuk menampung anak-anak yang terbukti berdomisili dekat dari sekolah tanpa melihat umur mereka. Bisa juga kursi yang bersisa ini diperluas untuk zona berbasis kelurahan atau kecamatan,” ujarnya.
Ia menerangkan bahwa penerapan PPDB zonasi kian terdistorsi. Ketika pertama kali dicanangkan oleh Kemendikbud tahun 2016, kuota minimal zonasi ialah 80 persen dengan tujuan memastikan anak mendapat sekolah di dekat rumah masing-masing sehingga mereka tidak perlu khawatir mengeluarkan biaya untuk transportasi.
Ketika pertama kali dicanangkan oleh Kemendikbud di tahun 2016, kuota minimal zonasi ialah 80 persen dengan tujuan memastikan anak mendapat sekolah di dekat rumah masing-masing.
Zonasi juga membuat sekolah menerima siswa yang heterogen kemampuan akademis dan latar belakang ekonominya. Hal ini agar guru tertantang mengembangkan cara mengajar mereka dan memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa kecerdasan tidak berupa akademis, tetapi ada rupa yang lain dan bisa dikembangkan di dalam diri anak.
Kini, jalur zonasi diturunkanm walaupun Permendikbud 44/2019 mengatakan bahwa 50 persen itu merupakan kuota minimal. Menurut Satriwan, jika Pemprov DKI Jakarta memang serius mengusung keadilan akses pendidikan, semestinya kuota zonasi tidak pas 50 persen dan setiap sekolah bisa memperbesar kuota itu.