Rendang, Makanan Sarat Tradisi
Rendang tidak sekadar produk kuliner, yang diangap sebagai salah satu yang terlezat di dunia. Dalam proses pembuatannya, tersimpan cerita budaya Minang dan tradisi turun-temurun.
Rumah makan Padang umumnya sangat menjaga tradisi dalam membuat rendang. Jaringan Restoran Sederhana, contohnya, memiliki pemasak rendang yang terpusat agar tradisi tetap terjaga.
Menurut Manajer Operasional Rumah Makan Sederhana Satrio, Kuningan, Jakarta, Zaenul Maarif, semua tenaga ahli dikirim dari Sederhana Rawamangun, Jakarta Timur, yang menjadi pusat Restoran Sederhana. Tukang masak ini diajar langsung oleh Haji Bustaman, pemilik nama Restoran Sederhana.
”Mereka bukan chef, tetapi orang yang digembleng langsung oleh Haji Bustaman. Sebelum dilepas ke gerai-gerai cabang, mereka ini belajar dulu di Restoran Sederhana Rawamangun. Bukan hanya soal makanan, melainkan juga bagaimana menjaga kebersihan dan lain-lain,” kata Zaenul Kamis (2/7/2020).
Menurut Zaenul, hal itu dilakukan untuk menjaga rasa rendang. Bahkan, bumbu utama dari rendang pun didatangkan dari rumah Haji Bustaman.
Pemilik Restoran Pagi Sore, Haji Erwin Lismar, menambahkan, rendang harus dibuat dari bahan daging segar, bukan daging beku. Bumbu rendang, seperti cabai dan bumbu kering lain, di Restoran Pagi Sore sebagian besar didatangkan dari Sumatera Barat. Begitu juga halnya dengan tukang masak rendang. ”Mereka rata-rata sudah puluhan tahun kerja sama saya,” ujarnya.
Busnalinda (48), warga Kelurahan Ekor Lubuk, Padang Panjang Timur, mengatakan, ia biasanya memasak rendang ketika menjelang Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan pesta pernikahan ataupun kelahiran anak. Sesekali Linda juga membuatkan pesanan rendang dari tetangga ataupun orang di rantau.
Bahan-bahan yang digunakan Linda, selain daging sapi dan santan, adalah cabai, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, pala, merica, serai, kunyit, daun limau, dan daun salam. Linda juga menambahkan sedikit air kelapa agar ada rasa manis pada rendang. Untuk daging, sebelum dimasukkan ke santan mendidih, ditumis (di-lacuik/di-ungkep) dulu dengan air dan bumbu-bumbu sampai kering.
Reno Andam Suri, pemilik usaha rendang bermerek Uni Farah, menjelaskan, dapurnya hingga kini masih menggunakan kayu bakar. Hal itu untuk mempertahankan aroma rendang tradisional. Santan bercampur bahan rendang, salah satunya daging, dijerang dalam kuali besar dan dimasak secara perlahan hingga menjadi rendang.
”Ketika makan, pancaindera kita itu, kan, ikut meresapi. Aroma rendang yang dimasak dengan kayu bakar dan dengan kompor pasti akan ketahuan bedanya,” kata penulis Rendang, Minang Legacy to the World ini.
Chef pesohor
Cita rasa dan tradisi rendang yang unik pun menarik chef pesohor Gordon Ramsay untuk bertandang ke Sumatera Barat dan mencoba menghadirkan proses memasak rendang melalui tayangan Uncharted musim kedua yang dibawakan Ramsay untuk National Geographic.
Adalah pakar kuliner William Wongso yang membuat Ramsay bisa merendang di alam terbuka dengan latar belakang Ngarai Sianok, Bukittinggi. Dihubungi Rabu (1/7/2020), William menjelaskan, dirinya dihubungi oleh Global Film Solutions atau GFS (Selandia Baru), lembaga yang mengurus shooting Ramsay pada September tahun lalu.
GFS menyatakan bahwa Ramsay baru saja dari Tasmania dan hendak menuju ke India. GFS berencana membawa Ramsay melawat ke Indonesia. Untuk itu, ia meminta rekomendasi William untuk mencarikan tempat persinggahan.
William memberikan satu rekomendasi saja, yaitu Sumatera Barat. ”Karena daerah ini memiliki budaya kuliner dan tradisi lain yang sangat menarik,” katanya.
Gayung bersambut. Hanya berselang dua minggu, National Geographic menyetujui usulan William. Di akhir Oktober 2019, tim National Geographic melakukan survei lapangan. William pun menyusul beberapa hari setelahnya. Di Padang, William dan tim survei makan malam dengan Gubernur Irwan Prayitno. Pertemuan itu salah satunya menyimpulkan bahwa William menjadi pendamping Ramsay. ”Tetapi, tetap seizin National Geographic,” kata penulis Flavours of Indonesia ini.
Shooting acara Uncharted, lanjut William, berlangsung pada 19-20 Januari 2020. Ramsay disambut dengan Makan Bajamba di Istana Pagaruyuang. Dia juga berkunjung ke pasar tradisional dan ikut pula acara Pacu Jawi di Payakumbuh. ”Dan, akhirnya dia memasak rendang dengan saya di Ngarai dengan latar belakang lembah. Senang banget dia. Dia tidak menyangka akan menemukan keunikan kuliner seperti ini. Dia pernah ke Malaysia, tetapi cuma melihat saja, tidak bikin rendang secara langsung,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, William mendampingi Ramsay memasak rendang dengan kayu bakar, sebuah proses memasak rendang secara tradisional. ”Tujuan acaranya memang mengulik dari dekat pola memasak secara tradisional. Dia juga meliput situasi pasar untuk membeli bahan masakan dengan apa adanya. Tidak ada pasar yang harus dirapikan dahulu,” ucapnya.
Sebagai pakar kuliner, William sudah belasan tahun menekuni rendang. Dia menerjemahkan tradisi memasak rendang. Hasil pemahaman itu ia bawa ke luar Sumatera Barat dengan segala macam pola produksi, tetapi tetap mempertahankan rasa asli.
”Ini karena kebetulan saya saja. Tetapi, silakan saja. Siapa pun boleh mempromosikan rendang,” ujar pakar kuliner yang selalu memasukkan rendang sebagai menu wajib ketika diminta mengajar di luar negeri ini.
Bagi William, tradisi harus dipertahankan oleh perajin rendang. Sebab, pengunjung, terutama dari luar negeri, ingin mengetahui proses di balik sepiring rendang di meja makan atau yang dijual di toko. ”Untuk rendang, misalnya, mereka itu pasti tidak terbayang bagaimana proses memarut kelapa. Itu sebabnya mereka ingin melihat langsung. Jadi, tidak sekadar menjual rendang yang sudah jadi,” katanya lagi.
Baca juga: Annisa Ananda Nusyirwan: Rendang Padang
Reno menambahkan, merendang pada dasarnya adalah proses untuk menihilkan air. Oleh sebab itu, bahan utama yang dibutuhkan adalah kelapa yang sudah tua. ”Kelapa tua itu, kan, banyak minyaknya. Otomatis air akan hilang dan itu juga yang membuat rendang menjadi awet,” katanya.
Penulis Rendang, Minang Legacy to the World ini berpendapat, munculnya rendang di National Geographic menjadi momentum untuk membenahi banyak hal. ”Kita memang harus sangat berbenah dengan tayangan ini. Bukan hanya soal jualan rendang ke dunia, aku bilang fondasi kita harus kokoh. Apa itu rendang, nilainya seperti apa, bagaimana variasi rendang antardaerah, dan seperti apa filosofinya. Kita harus bisa mengabarkan ini ke orang luar,” tuturnya.
Salah satu cerita tentang rendang yang menarik dibahas adalah kelapa, bahan utama rendang. Kelapa yang tumbuh di pesisir dan di daratan (pegunungan), lanjutnya, akan memengaruhi rasa rendang. Santan dari kelapa yang tumbuh di wilayah pesisir cenderung lebih manis dibandingkan dengan santan dari kelapa yang tumbuh di wilayah daratan.
Bahkan, proses memetik kelapa dari batangnya saja bisa menjadi cerita tersendiri. Di Pariaman, misalnya, kelapa diambil oleh beruk. ”Di Pariaman itu, kan, bahkan ada sekolah khusus untuk beruk pemanjat kelapa,” katanya.
Baca juga : Warga Mulai Cicipi Masakan Kurban ala Hotel
Di media sosial, munculnya rendang di National Geographic mendapat apresiasi dari warganet. Kendati demikian, tak sedikit pula warganet yang julid. Mereka mempertanyakan kapasitas William dalam memasak rendang.
Terkait hal ini, budayawan Minangkabau, S Metron, menjelaskan, gugatan terhadap William itu sangat dangkal. Acara kuliner seperti di National Geographic itu, ujarnya, merupakan panggung untuk beradu ilmu gastronomi. Menurut dia, William termasuk pakar kuliner yang cukup intens meneliti rendang.
”Sekarang coba pikir, siapa pula kira-kira chef di Sumbar yang bisa disandingkan dengan Ramsay? Kan, belum ada yang laik,” katanya.
Dia melanjutkan, peristiwa ini membuka persoalan mendasar di Minang, yakni minimnya dokumentasi tertulis terkait tradisi, salah satunya tradisi memasak rendang. Orang-orang yang menguasai tradisi itu hanya menumbuhkan pengetahuan itu, tetapi tidak menuliskannya di dalam teks.
Di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa gastronomi belum begitu diminati anak negeri. Padahal, disiplin ini diperlukan untuk mengenali serta mengidentifikasi bahan makanan. ”Secara tradisi, banyak yang menguasai cara mengenali bahan masakan ini. Tetapi, kan, pengetahuan itu cuma diarsipkan melalui tubuh, tidak melalui tulisan. Ini kerja kita ke depan, mengarsipkan pengetahuan melalui tubuh dan tulisan,” katanya.
Sosial budaya
Tak ada riwayat pasti kapan orang Minang mulai mengenal rendang. Yang bisa dikemukakan, rendang terlahir dari proses panjang pertalian masyarakat Minang dengan pedagang di luar Sumatera. Tantangan ke depan adalah tidak sekadar menjual rendang sebagai makanan, tetapi juga mengetengahkan proses sosial budaya dalam membuat salah satu kuliner Nusantara itu.
Dalam Rendang Sang Pengembara Minang (Penerbit Buku Kompas, 2019), sejarawan Universitas Andalas, M Nur, menduga makanan serupa rendang telah disebutkan dalam sejarah lisan sejak abad ke-4 dan ke-10. Namun, catatan tertulis mengenai makanan olahan dari daging baru muncul dalam laporan ulama Islam, Syekh Burhanuddin asal Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17.
Baca juga : Menu Unggulan Indonesia di Lima Benua
Burhanuddin menjadikan makanan olahan daging sebagai media syiar Islam. Ia berusaha mengubah kebiasaan memakan makanan berbahan daging yang tidak halal, seiring bergulirnya proses islamisasi di Ranah Minang. Sebelum Islam masuk, besar kemungkinan ada makanan serupa rendang yang terbuat dari daging tidak halal.
Di dalam buku yang sama, sejarawan Universitas Andalas, Gusti Asnan, menegaskan, catatan tertulis yang paling jelas mendeskripsikan makanan serupa rendang baru muncul abad ke-19. Catatan itu dibuat oleh Kolonel Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, komandan militer dan residen di Padang (1824-1829), tahun 1827. Ia melaporkan, para pedagang Minang yang berdagang ke wilayah Singapura dan Malaysia melalui Sungai Kuantan dan Indragiri membawa bekal makanan berupa daging yang dimasak sampai kering dan menghitam.