Pengguna KRL Dukung Kebijakan Mengosongkan Kereta di Stasiun Akhir
Jam pulang kerja karyawan perusahaan di Jakarta didorong turut diubah menjadi berbeda-beda agar penumpukan dan antrean penumpang angkutan umum tidak terjadi pada jam sibuk sore hari.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kebijakan mengosongkan kereta saat tiba di stasiun akhir mendapat sambutan baik dari pengguna kereta rangkaian listrik atau KRL. Selain kebijakan itu, pengguna KRL berharap PT Kereta Commuter Indonesia juga menambah frekuensi perjalanan kereta saat jam pulang kerja dan memperbanyak layanan di loket untuk mengoptimalkan penerapan protokol kesehatan.
Taufik Ardiansyah (20), karyawan swasta, di Rawa Buntu, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (2/7/2020), mendukung kebijakan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) tersebut. Baginya, kebijakan itu bakal memberikan keadilan bagi pengguna KRL yang telah lama menunggu di stasiun akhir.
”Ini tetap perlu dipertahankan agar adil. Jadi, juga enggak membuat kereta yang berangkat jadi cepat penuh,” ujar Taufik.
Sebelumnya, Vice President Corporate Communications PT KCI Erni Sylvianne Purba, melalui siaran pers, mengumumkan, sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi, jumlah penumpang KRL terus meningkat. Di tengah pandemi Covid-19, manajemen PT KCI menerapkan protokol kesehatan, salah satunya membatasi jumlah penumpang di dalam stasiun, di peron, dan di dalam kereta. Akibatnya, penumpang yang hendak masuk stasiun mengantre.
Di sejumlah stasiun pemberangkatan, penumpang harus mengantre demi bisa naik kereta. Oleh sebagian penumpang, hal itu dirasa menyulitkan sehingga ada sejumlah penumpang yang diketahui naik KRL ke stasiun-stasiun yang menjadi titik pemberangkatan meskipun stasiun tujuannya berada di arah sebaliknya. Mereka naik KRL ke arah yang sesungguhnya berlawanan dengan stasiun tujuannya agar dapat naik kereta dengan cepat tanpa harus mengikuti penyekatan dan antrean pengguna di stasiun.
Erni mencontohkan, pada pagi hari, sejumlah orang dengan tujuan akhir Stasiun Gondangdia naik dari Stasiun Cilebut. Namun, bukannya menunggu kereta di peron arah ke Jakarta Kota, mereka menunggu kereta di peron arah ke Bogor yang tidak ada penyekatan karena memang arah tersebut berlawanan dengan pola pergerakan mayoritas penumpang pada jam sibuk.
Kini PT KCI memastikan kereta harus dikosongkan saat tiba di stasiun akhir. Langkah itu dilakukan untuk menanggulangi antrean penumpang di luar stasiun yang masih panjang saat jam sibuk.
Dukungan juga diutarakan Ines Priski Oktavira (25), warga Sudimara, Tangerang Selatan, yang setiap hari menggunakan KRL jurusan Sudimara-Tanah Abang untuk berangkat ke tempat kerja di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Ines menyampaikan, perilaku penumpang yang sengaja naik KRL ke arah yang berlawanan dengan stasiun tujuannya agar dapat tempat duduk di kereta sudah berlangsung sejak sebelum pandemi.
Ines keberatan dengan cara seperti itu karena acap kali membuat kereta lebih cepat penuh. Ia pun menjadi kesulitan untuk menerapkan protokol kesehatan menjaga jarak fisik di dalam KRL.
”Saya mendukung kebijakan mengosongkan kereta KRL di stasiun akhir itu. Biar adil. Kebijakan itu baru dilaksanakan saat PSBB transisi. Kalau dulu, belum ada,” ujarnya.
Tindakan pengosongan kereta di stasiun akhir oleh PT KCI untuk menertibkan penumpang telah dinanti cukup lama. Pandemi Covid-19 membuat harapan Ines terwujud. Ines menyarankan, saat wabah berlalu nanti, PT KCI tetap mempertahankan kebijakan tersebut.
”Ada beruntungnya karena korona, sih, sehingga lebih teratur. Kalau bisa seterusnya dilaksanakan. Agar tidak merugikan kami yang lama antre,” kata Ines.
Mengikuti aturan
Pengguna KRL lainnya, Betta Reflina (27), mengaku akan mengikuti aturan dari PT KCI. Betta merupakan salah satu dari sekian banyak penumpang yang pernah melakukan cara seperti tersebut di atas agar memperoleh tempat strategis di dalam KRL.
Sehari-hari, Betty menggunakan KRL dari Stasiun Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, ke Stasiun Tanah Abang. Karena tidak kuat berdiri dalam waktu lama dari Stasiun Tigaraksa ke Stasiun Tanah Abang, Betta memilih berangkat dulu ke Stasiun Maja. Sesampainya di Stasiun Maja, Betta tidak langsung turun, tetapi tetap duduk di dalam kereta untuk menuju ke Stasiun Tanah Abang.
”Setuju dengan kebijakan itu. Asalkan PT KCI menerapkan sistem first in first out (FIFO), ya. Jadi, nanti tidak rebutan naik kereta, kan, harus gesit dan ahli. Mungkin PT KCI bisa memberikan pintu berbeda untuk penumpang naik dan turun,” tuturnya.
Kebijakan itu membuat Betta mengurungkan niat untuk kembali melakukan pola perjalana serupa. Ia mengatakan, akan berangkat dari Stasiun Tigaraksa dibandingkan harus ke Stasiun Maja dulu dan mengulang antre di sana.
Selain kebijakan mengosongkan penumpang di stasiun akhir, para pengguna KRL juga menginginkan ada kebijakan lain dari PT KCI agar bisa mengoptimalkan jaga jarak fisik di stasiun ataupun di dalam kereta.
Taufik menyarankan PT KCI menambah loket pelayanan tiket di Stasiun Tanah Abang. Hal itu penting, kata Taufik, karena masih banyak pengguna KRL yang masuk menggunakan tiket harian berjaminan.
”Belum semua penumpang naik KRL pakai kartu uang elektronik keluaran bank. Masih banyak yang pakai tiket harian berjaminan, saya salah satunya,” ucapnya.
Jika jumlah loket tidak ditambah, Taufik mengkhawatirkan antrean panjang di depan loket stasiun akan terus terjadi. Apabila demikian, protokol jaga jarak fisik bakal sangat sulit ditegakkan.
Adapun Ines ingin agar PT KCI menambah frekuensi perjalanan kereta saat jam pulang kerja. Menurut dia, setiap kali hendak kembali ke Tangerang Selatan selepas kerja, KRL dari Stasiun Tanah Abang kerap penuh meski penumpang tidak sampai berdesakan.
”Kalau jam pulang kerja itu hampir pasti akan penuh karena semua karyawan di Jakarta pulang bersamaan. Adapun kalau berangkat kerja jamnya berbeda-beda antarkaryawan,” katanya.