Pengosongan Kereta di Stasiun Akhir Syaratkan Dukungan Banyak Pihak
Kebijakan PT KCI untuk mengosongkan kereta tujuan akhir mendapat dukungan dari pengguna KRL. Namun, kebijakan itu perlu dukungan pula dari lintas sektor.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengguna kereta rel listrik atau KRL mendukung kebijakan PT Kereta Commuter Indonesia untuk mengosongkan kereta saat tiba di stasiun akhir. Namun, mulusnya kebijakan PT KCI itu perlu dukungan lintas sektor.
Nandia Syafrie Hutapea (27), warga Sawangan, Kota Depok, mengatakan setuju dengan kebijakan PT KCI yang akan mengosongkan kereta saat tiba di stasiun akhir. Namun, implementasi kebijakan itu perlu persiapan moda transportasi pendukung agar warga tidak telantar.
”Belum tahu nanti pelaksanaannya gimana. Belum tahu juga apakah efektif atau tidak. Tapi perlu dicoba dan saya setuju saja jika itu upaya untuk mengurai antrean dan kepadatan karena memang ini masih pandemi, jadi takut tertular. Nah, jadi kebijakan mereka harus ada penambahan fasilitas. Harus ada mobil atau bus yang mengangkut penumpang yang turun sebelum stasiun akhir,” kata Nandia, karyawati swasta di kawasan Dukuh Atas tersebut, Kamis (2/7/2020).
Senada dengan Nandia, Ishak Fahrul (34), warga Pancoran Mas, mengatakan setuju dengan kebijakan PT KCI. Namun, ia menyangsikan kebijakan PT KCI dapat mengurai antrean di stasiun. Ia menilai PT KCI perlu dukungan Pemerintah Kota Depok dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar kebutuhan warga untuk transportasi yang aman dan nyaman terpenuhi.
”Tidak ada yang salah dengan kebijakan PT KCI. Namun, perlu dipikirkan pula bahwa Pemkot Depok dan Pemprov DKI atau pemkot lainnya di wilayah Jabodetabek bersinergi menyediakan angkutan alternatif bagi karyawan yang kerja ke Jakarta selama masa pandemi ini. Jadi KRL bukan satu-satunya andalan warga. Di Bogor sudah ada tuh, ada fasilitas bus,” kata Fahrul.
Fahrul melanjutkan, agar tak terjadi antrean saat naik bus, bisa digunakan sistem tiket atau pendaftaran daring sehari sebelumnya. Oleh karena itu, kebijakan PT KCI perlu dukungan dari lintas sektor.
”Jadi PT KCI bisa terbantu juga kalau pemda mau saling bantu. Kalau ada angkutan bus lumayan mengurai kepadatan di stasiun. Jujur kalau saya pulang kerja rada takut juga naik kereta, apalagi kalau ramai,” kata Fahrul.
Sementara itu, Giyam Galih Mufti (35), warga Kota Bogor, mengatakan, jika aturan pembatasan jam kerja atau aturan sif kerja di perusahaan atau perkantoran tidak dijalankan, ia pesimistis kebijakan PT KCI bisa terlaksana secara lancar.
Menurut Galih, salah satu masalah antrean di stasiun tak lepas dari mulai beraktivitasnya perusahan dan perkantoran. ”Wajar saja kereta mulai penuh kembali karena warga mulai kembali masuk kerja. Saya saja contoh, mana ada aturan sif masuk dan pulang. Masuk pukul 09.00 paling telat dan pulang pukul 17.00. Itu jam-jam padat dan tidak bisa terhindarkan terutama saat jam pulang,” katanya.
Sebelumnya, Erni Sylvianne Purba, Vice President Corporate Communications PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI), Rabu (1/7/2020), menjelaskan, sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi, jumlah penumpang KRL terus meningkat. Di tengah pandemi Covid-19, manajemen PT KCI menerapkan protokol kesehatan, salah satunya membatasi jumlah penumpang di dalam stasiun, di peron, dan di dalam kereta. Akibatnya, penumpang yang hendak masuk stasiun mengantre.
Di sejumlah stasiun pemberangkatan, penumpang harus mengantre demi bisa naik kereta. Oleh sebagian penumpang, hal itu dirasa menyulitkan sehingga ada sejumlah penumpang yang diketahui naik KRL ke stasiun-stasiun yang menjadi titik pemberangkatan meskipun stasiun tujuannya berada di arah sebaliknya.
Mereka naik KRL ke arah yang sesungguhnya berlawanan dengan stasiun tujuannya agar dapat naik kereta dengan cepat tanpa harus mengikuti penyekatan dan antrean pengguna di stasiun.
Sebagai contoh, pada pagi hari, sejumlah orang dengan tujuan akhir Stasiun Gondangdia naik dari Stasiun Cilebut. Namun, bukannya menunggu kereta di peron arah ke Jakarta Kota, mereka menunggu kereta di peron arah ke Bogor yang tidak ada penyekatan karena memang arah tersebut berlawanan dengan pola pergerakan mayoritas penumpang pada jam sibuk.
Mereka kemudian menaiki kereta arah ke Bogor yang memang kosong. Sesampainya di Stasiun Bogor, mereka tetap duduk, tidak turun dari kereta dan langsung menunggu kereta berangkat kembali ke arah Jakarta Kota.
Pada sore hari, sejumlah pengguna dengan tujuan Bogor atau Bekasi juga memilih naik kereta tujuan Jakarta Kota lebih dahulu. Di Stasiun Jakarta Kota, mereka menunggu di dalam hingga kereta berangkat kembali ke arah sesuai stasiun tujuannya.
Perilaku ini, lanjut Purba, sebenarnya telah ada sejak masa sebelum pandemi Covid-19. Sebelumnya, sebagian pengguna KRL menempuh cara ini untuk mendapatkan tempat duduk selama perjalanan menggunakan KRL.
Namun, di masa pandemi dengan berbagai pembatasan yang ada, Purba menegaskan, tindakan tidak bertanggung jawab semacam ini membuat jumlah pengguna dari stasiun pemberangkatan tidak dapat dimuat maksimum ke dalam kereta. Dampaknya, antrean kereta di stasiun menjadi tidak lancar. Tindakan sebagian pengguna itu membuat ribuan orang harus mengantre lebih lama lagi di stasiun.