Penerimaan Murid Baru Kisruh karena Mitigasi Tahunan Tidak Ada
Masyarakat tidak melihat bukti pemerataan pendidikan. Makanya, mereka berebut memasukkan anak ke sekolah negeri karena seburuk-buruknya sekolah negeri standar minimalnya masih diawasi oleh pemerintah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinas Pendidikan DKI Jakarta membuka penerimaan peserta didik baru atau PPDB jalur zonasi berbasis rukun warga atau RW dengan masih memakai usia anak sebagai patokan. Hal ini tidak menyelesaikan permasalahan kronis PPDB yang berakar dari ketidakpercayaan masyarakat kepada sistem pendidikan secara umum.
Pembukaan PPDB berbasis RW di sekitar sekolah akan dimulai pada 4 Juli dan peserta didik yang diterima diharuskan melakukan lapor diri per 6 Juli.
”Tetap usia menjadi landasan seleksi, karena di RW bisa terjadi jumlah calon siswa lebih banyak daripada kursi yang tersedia di sekolah negeri yang diincar,” kata Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta Nahdiana dalam seminar virtual terkait PPDB pada hari Selasa (30/6/2020).
Adanya jalur zonasi RW ini menambah jumlah siswa di setiap rombongan belajar (rombel) SMP dan SMA. Apabila biasanya jumlah siswa 36 orang per rombel, kini bisa menjadi 40 orang. Menurut Nahdiana, penambahan jumlah di jalur zonasi tidak akan mengorbankan kesempatan para peserta didik di jalur prestasi dan di jalur afirmasi.
Ia mengungkapkan, keterbatasan kursi di sekolah negeri mengakibatkan daya tampung di SMP negeri hanya 46 persen dari total lulusan SD sederajat. Adapun kapasitas SMA dan SMK negeri tidak lebih dari 32 persen dari jumlah siswa yang lulus SMP sederajat. Ketatnya persaingan membuat Disdik Jakarta memutuskan pada tahun ini menggunakan umur anak sebagai patokan, sementara pada tahun 2019 yang menjadi kriteria seleksi di jalur zonasi adalah nilai ujian nasional yang kini telah ditiadakan.
Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikdasmen Kemendikbud) menyebutkan, di Jakarta dan Kepulauan Seribu, sekolah swasta melebihi jumlah sekolah negeri, kecuali untuk tingkat SD.
Rinciannya adalah terdapat 1.449 SD negeri dan 915 SD swasta; ada 293 SMP negeri dan 776 SMP swasta; SMA negeri jumlahnya 117 dan yang swasta 375; kategori SMK paling besar selisihnya dengan negeri 73 sekolah dan swasta 508 sekolah.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Dikdasmen Kemendikbud Hamid Muhammad menjelaskan, jika hanya melihat dari kapasitas sekolah negeri, memang sangat kecil ketika dibandingkan dengan jumlah calon siswa. Akan tetapi, sesungguhnya jika dipecah perbandingan jumlah sekolah dengan siswa, Jakarta malah kelebihan sekolah.
”Ini alasan Kemendikbud tidak merekomendasikan penambahan jumlah sekolah negeri atau penambahan rombel karena berakibat membuat sekolah swasta gulung tikar. Sekolah swasta semestinya dirangkul agar mutunya meningkat dan biayanya terjangkau,” ujarnya.
Ini alasan Kemendikbud tidak merekomendasikan penambahan jumlah sekolah negeri atau penambahan rombel karena berakibat membuat sekolah swasta gulung tikar. Sekolah swasta semestinya dirangkul agar mutunya meningkat dan biayanya terjangkau.
Tanpa mitigasi
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji mengatakan, kisruh PPDB di Jakarta merupakan masalah menahun yang tidak pernah ada mitigasi. Peta strategi arah penyerapan siswa ke sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pusat kegiatan belajar masyarakat setiap tahun seolah tidak ada. Masyarakat akhirnya buta karena tidak mengetahui pilihan yang ada secara detail.
Pembukaan zonasi binaan RW bukan solusi jangka panjang. Itu pun menyalahi makna zonasi yang seharusnya diukur jarak atau radius sekolah ke tempat tinggal. Bukan memakai usia.
”Masyarakat tidak melihat bukti pemerataan pendidikan. Makanya, mereka berebut memasukkan anak ke sekolah negeri karena seburuk-buruknya sekolah negeri standar minimalnya masih diawasi oleh pemerintah, di samping masih terperangkap narasi sekolah ’favorit’ dan sekolah ’pinggiran’,” ujarnya.
Masyarakat tidak melihat bukti pemerataan pendidikan. Makanya, mereka berebut memasukkan anak ke sekolah negeri karena seburuk-buruknya sekolah negeri standar minimalnya masih diawasi oleh pemerintah, di samping masih terperangkap narasi sekolah ’favorit’ dan sekolah ’pinggiran’.
Kolaborasi negeri-swasta
Pemikiran senada turut diutarakan oleh Ketua Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia Asep Tapip Yani. Sejatinya, peningkatan mutu sekolah swasta harus bersinergi dengan sekolah negeri dan sekolah swasta besar di sekitarnya. Salah satu hal yang didorong adalah berbagi sarana dan prasarana, seperti laboratorium dan lapangan olahraga.
Selain itu, juga ada Musyawarah Guru Mata Pelajaran dan Majelis Kerja Kepala Sekolah. Bahkan, kerja sama bisa dibuat kelompok koordinasi lebih spesifik berisi guru-guru dari sekolah dalam radius beberapa kilometer saja.
”Kepala sekolah swasta jangan ragu mendatangi sekolah negeri terdekat atau dapat pula sebaliknya untuk bekerja sama. Cara ini bisa bertahap meningkatkan mutu kedua belah pihak sekaligus mengikis stigma dari masyarakat,” ujarnya.
Ia menerangkan, selain standar yang diawasi langsung oleh pemerintah, sekolah negeri menjadi incaran karena gratis. Mengatasi persoalan ini, harus ada turun tangan pemerintah memperluas akses Kartu Indonesia Pintar dan Bantuan Operasional Sekolah ke satuan pendidikan swasta agar biaya tidak menjadi hal yang ditakuti orangtua.
Namun, Asep menekankan juga harus dilakukan pendisiplinan yayasan pengelola sekolah swasta yang bandel. Misalnya, yayasan yang mencari uang melalui sekolah tanpa memperhatikan mutu pemelajaran. Demikian pula dengan yayasan yang pengelolanya merangkap guru sekolah.
Khusus di Jakarta, Nahdiana mengungkapkan, baru ada sepuluh sekolah negeri yang bersinergi dengan swasta.