Proses penerimaan peserta didik baru atau PPDB untuk jalur zonasi di DKI Jakarta menuai kritikan masyarakat karena menggunakan persyaratan berupa usia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses penerimaan peserta didik baru atau PPDB untuk jalur zonasi di DKI Jakarta menuai kritikan masyarakat karena mengikutsertakan persyaratan berupa usia. Padahal, roh dari kebijakan zonasi ialah menggunakan jarak rumah ke sekolah sebagai metode seleksi, bukan menggunakan usia ataupun nilai rapor dan ujian nasional. Semuanya bersumber pada masalah klasik kurangnya jumlah rombongan belajar di sekolah-sekolah negeri.
Kekecewaan masyarakat diutarakan melalui unjuk rasa di depan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Senin (29/6/2020). Para pesertanya adalah orangtua ataupun wali murid yang anak-anaknya terdepak dari jalur zonasi karena dianggap usianya terlalu muda meskipun jarak rumah ke sekolah relatif dekat.
Dalam orasinya, para orangtua merasa ditipu dengan sistem zonasi di Jakarta. Sistem komputer menyeleksi para calon siswa yang usianya lebih tua, misalnya untuk jenjang SMA diutamakan anak berumur 16 tahun dibandingkan dengan yang masih berumur 15 tahun. Beberapa kasus mengungkapkan bahwa anak-anak dengan usia lebih tua yang diterima ini bahkan tempat tinggalnya lebih jauh daripada mereka dengan usia lebih muda. Hal ini bertentangan dengan makna zonasi itu sendiri.
Contohnya adalah kasus yang dialami oleh Liliani, seorang ibu rumah tangga dari Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Putranya, Nando (15), terdepak dari SMAN 2 Jakarta yang jaraknya 1,6 kilometer dari rumah. Ia mengeluh bahwa anak-anak yang diterima adalah mereka dengan tempat tinggal jauh, tetapi umurnya sudah mencapai 16 tahun atau setidaknya 15 tahun 6 bulan. SMAN 2 Jakarta sendiri terletak di Kelurahan Keagungan, Tamansari.
Mengacu kepada Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta 506/2020 yang terbit pada pertengahan Mei lalu, SMAN 2 Jakarta terbuka pendaftaran jalur zonasinya kepada 34 kelurahan di 7 kecamatan yang tersebar di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara. Padahal, kuota di jalur ini hanya 111 kursi untuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial.
”Kenapa pemerintah tidak konsisten dengan zonasi? Semestinya anak-anak yang diterima, kan, radius rumahnya dekat dari sekolah. Jika seandainya anak saya terdepak karena rumah kami di luar radius, saya bisa terima. Kalau karena usia, tetapi anak-anak dari lokasi lebih jauh bisa lolos, ini tidak adil,” tutur Liliani.
Ia mengungkapkan, ketika putra sulungnya, Vincent, mengikuti jalur zonasi pada PPDB 2015, tidak ada masalah seperti ini. Sekolah negeri menjadi harapan Liliani karena keterbatasan ekonomi keluarga. Ia menghidupi kedua anaknya dengan cara berjualan makanan keliling.
Kenapa pemerintah tidak konsisten dengan zonasi? Semestinya anak-anak yang diterima, kan, radius rumahnya dekat dari sekolah. Jika seandainya anak saya terdepak karena rumah kami di luar radius, saya bisa terima. Kalau karena usia, tetapi anak-anak dari lokasi lebih jauh bisa lolos, ini tidak adil.
Ikuti komitmen
Kasus PPDB Jakarta ini bukan kali pertama. Pada 2019, Ibu Kota juga menuai kritikan karena menjalankan PPDB jalur zonasi, tetapi dengan menyeleksi siswa memakai nilai ujian nasional. Alasannya, pendaftar dari satu zona melebihi kuota sehingga sekolah memilih mengurutkan calon siswa dengan memakai nilai ujian (Kompas, 28 Juni 2019).
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Charlie Albajili, menilai, penafsiran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam hal ini Disdik DKI, melenceng dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah No 17/2010. Usia dalam konteks PPDB adalah menjelaskan hak peserta didik. Misalnya, semua anak berusia 7-12 tahun berhak untuk mendaftar masuk SD.
”Namun, seleksinya adalah memakai zonasi, yaitu jarak rumah ke sekolah, terlepas usia siswa tersebut. Demikian pula semestinya di jenjang SMP dan SMA. Seleksi yang memakai nilai atau pencapaian lainnya sudah jelas hanya untuk jalur prestasi akademik dan non-akademik,” paparnya.
Ia mengungkit satu klausul yang rancu pada aturan PPDB Jakarta, yakni apabila bangku sekolah terbatas, penyeleksian siswa memakai faktor usia. Aturan PPDB Jakarta sudah jelas menyatakan, kuota jalur zonasi 40 persen sehingga tidak perlu lagi ada seleksi tambahan. Sistem komputer pada dasarnya mengurutkan semua pendaftar berdasar jarak tempat tinggal dan otomatis meloloskan 40 persen dengan jarak terdekat.
Tambah kuota
Dalam rilis pekan lalu, Disdik DKI Jakarta mengungkapkan bahwa kuota bangku di SMA dan SMK negeri ada 47.610, sementara jumlah lulusan SMP sederajat ada 144.598. Masalah ini merupakan problema menahun. Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim mengatakan, peraturan Disdik DKI yang memperuntukkan 40 persen kuota untuk zonasi juga keliru. Permendikbud No 44/2019 jelas menegaskan bahwa jalur zonasi sekurangnya adalah 50 persen dari seluruh kuota PPDB.
Solusi dari masalah ini tidak mungkin dengan membatalkan seleksi PPDB yang telah berlangsung karena tidak adil bagi anak-anak yang telah diterima. Menurut Satriwan, Disdik DKI Jakarta bisa memperpanjang lama PPDB zonasi dan menambah kuota.
”Memang sekolah tidak bisa menambah rombongan belajar (rombel) ketika PPDB, tetapi setidaknya di setiap rombel bisa ditambah kursi untuk dua hingga tiga siswa. Mumpung kegiatan belajar-mengajar masih jarak jauh di masa pandemi sehingga siswa tak perlu hadir secara fisik di sekolah,” ucapnya.
Namun, solusi jangka panjangnya ialah agar Pemprov Jakarta menyisihkan dana untuk membangun sekolah-sekolah negeri baru karena animo orangtua masih mengincar sekolah negeri sebagai pilihan pertama. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, bisa dengan menambah ruang-ruang kelas di sekolah yang telah ada sehingga daya tampung meningkat.