Meski termasuk kelompok rentan, penyandang disabilitas tidak mau menyerah selama pandemi Covid-19. Mereka tetap berusaha mencukupi kebutuhan hidup selama pandemi dengan menangkap berbagai peluang.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para penyandang disabilitas tidak mau bergantung pada bantuan sosial. Mereka berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menangkap peluang dan berinovasi selama pandemi Covid-19.
Penyandang disabilitas dari Solo (Jawa Tengah), Yogyakarta, dan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) menuturkan hal itu dalam sesi daring ”Kota Kita pada Urban Social Forum Ke-7 tentang Perspektif Penyandang Disabilitas Semasa Pandemi: Memastikan Inklusivitas di Tengah Kembalinya Aktivitas Publik”, Jumat (26/6/2020). Urban Social Forum merupakan acara tahunan tentang isu perkotaan dan warga kota sejak tahun 2012.
Purwanti dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia mengatakan, penyandang disabilitas mengalami situasi kompleks selama pandemi Covid-19. Kesulitan yang dimaksud di antaranya adalah kesulitan bepergian, tidak ada pendamping atau asisten disabilitas, dan sulit mengakses layanan terapi. Beragam persoalan itu tergambar dalam survei terhadap 1.683 responden dengan penyandang disabilitas dari 32 provinsi.
”Mereka (penyandang disabilitas) berada dalam kelompok rentan. Situasi yang kompleks membuat sebagian responden tidak tahu atau bingung menjawab apa kesulitannya,” ucap Purwanti.
Sebagian penyandang disabilitas enggan mengakses layanan kesehatan karena takut terpapar Covid-19. Sisanya kesulitan beradaptasi dengan protokol kesehatan. Misalnya, penyandang disabilitas tunarungu kesulitan membaca gerak bibir saat mulut lawan bicara tertutup masker. Ada solusi masker transparan, tetapi penggunanya terbatas.
Purwanti berharap ada lebih banyak ruang dialog antara pemangku kepentingan dan penyandang disabilitas supaya kebutuhan mereka selama pandemi Covid-19 tersampaikan.
Penyandang disabilitas tidak menyerah terhadap kesulitan selama pandemi. Langkah adaptif dilakukan untuk berdaya. Salah satunya oleh Difabike Yogyakarta, layanan ojek hingga pengantaran barang oleh penyandang disabilitas dengan kursi roda.
Triyono dari Difabike Yogyakarta mengatakan, pandemi membuat bisnis anjlok karena pariwisata Yogyakarta ditutup. Praktis hampir tiga bulan mereka bertahan seadanya dengan dana darurat. Difabike punya dana darurat senilai puluhan juta rupiah. Dana itu khusus untuk situasi darurat, salah satunya saat tidak ada omzet. Alhasil operasional setiap bulan berkisar Rp 9 juta dapat terpenuhi. ”Harga, kan, tidak menyesuaikan dengan pandemi. Operasional jalan terus, butuh bensin, suku cadang, dan lainnya,” kata Triyono.
Sementara Barniah, penyandang disabilitas tunanetra dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, punya cerita berbeda. Sebagai penjahit, pesanan sepi sejak pandemi. Ia tidak ingin berpangku tangan dengan cara menerima order jahit masker kain untuk mencukupi kebutuhan selama pandemi. ”Difabel harus proaktif karena ada pekerjaan baru menjahit masker dan alat pelindung diri,” ujar Barniah.
Pemerintah berupaya mencari formula yang adaptif untuk mengatasi dampak sosial ekonomi pandemi. Untuk penyandang disabilitas, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Sunarman Sukanto, mengatakan, salah satu upaya adalah menyamakan persepsi melalui forum diskusi untuk mengetahui kebutuhan penyandang disabilitas.
Dari situ diharapkan ada perbaikan-perbaikan ke depan. ”Isu disabilitas penting, bukan hal yang sepele. Faktanya di lapangan mereka punya kapasitas berkontribusi, bukan sekadar ada,” katanya.