Gegabah, Penggunaan Angka Reproduksi Efektif sebagai Acuan Pelonggaran PSBB Tangsel
PSBB di Tangerang Selatan mungkin bakal dilonggarkan jika angka reproduksi efektif atau Rt Covid-19 bisa di bawah 1 dalam 14 hari. Sejumlah pihak mengingatkan penggunaan Rt sebagai indikator pelonggaran terlalu gegabah.
Oleh
I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS – Angka reproduksi efektif atau Rt kasus Covid-19 di Kota Tangerang Selatan mencapai 0,39. Capaian itu menjadi pertimbangan untuk melonggarkan pembatasan sosial. Sejumlah pihak mengingatkan, penggunaan Rt sebagai acuan melonggarkan pembatasan sosial terlalu gegabah.
Angka reproduksi efektif tersebut diumumkan Suharno dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Tangerang Selatan. Angka Rt kurang dari 1 menunjukkan, laju infeksi seorang individu yang terbatas hanya bisa menginfeksi satu orang.
Berdasarkan data yang dihimpun Gugus Tugas, angka Rt tersebut turut ditopang tingkat kepatuhan masyarakat Tangsel terhadap protokol kesehatan yang mencapai 77,8 persen. Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany dalam beberapa kali kesempatan mengutarakan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bisa efektif jika tingkat kedisiplinan masyarakat mencapai paling tidak 90 persen.
“Pemerintah Kota Tangerang Selatan melalui intervensi PSBB telah berupaya menurunkan angka reproduksi hingga saat ini,” ujar Suharno.
Suharno mengatakan, jika angka Rt bisa terus ditekan di bawah 1 selama 14 hari, ada kemungkinan Pemkot Tangsel bakal melonggarkan PSBB. Ia pun meminta masyarakat Tangsel untuk mempertahankan angka reproduksi efektif agar terus berada di bawah 1. Caranya dengan berperan aktif dan meningkatkan kesadaran untuk menerapkan protokol kesehatan dalam selama PSBB diterapkan.
PSBB tahap kelima di Kota Tangsel akan berakhir pada Minggu (28/6/2020). Pemerintah Kota Tangsel akan mengevaluasi capaian selama PSBB sebelum memutuskan perpanjangan kembali atau menghentikan PSBB.
Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono, Sabtu (27/6/2020), menyebut, penggunaan Rt sebagai acuan melonggarkan pembatasan sosial sebagai sebuah kesalahan besar. Menurut Tri, angka Rt yang menurun dalam 14 hari bukan berarti suatu daerah telah aman dari wabah. Terlebih saat ini masih ada laporan pertambahan kasus Covid-19 baru setiap harinya di Tangsel.
“Di Australia pernah dalam beberapa hari itu tidak ada penambahan kasus baru atau nol kasus. Begitu pembatasan sosial di sana dibuka, setelah itu ada laporan 30 kasus baru,” ujar Tri.
Melihat kasus Australia, Tri mengingatkan pemerintah daerah agar hati-hati dalam menggunakan angka Rt sebagai acuan untuk melonggarkan pembatasan sosial. Di negara yang pertambahan kasusnya nol selama beberapa hari masih ditemukan muncul puluhan kasus baru setelah ada pelonggaran. Akibat yang lebih berat berpotensi dialami Tangsel jika membuka pembatasan sosial hanya dengan mengacu pada angka Rt.
“Jadi Rt itu menunjukkan kasus sedang menurun, cuma, belum berarti aman. Sekarang kita harus tahu ada berapa kasus positif Covid-19 dalam seminggu di Tangsel,” katanya.
Jadi Rt itu menunjukkan kasus sedang menurun, cuma, belum berarti aman. Sekarang kita harus tahu ada berapa kasus positif Covid-19 dalam seminggu di Tangsel.
Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Tangsel Tulus Muladiyono memaparkan, ada tren penurunan pertambahan kasus Covid-19 dalam dua hari terakhir, dari 23 kasus baru turun menjadi 12 kasus baru pada Jumat (26/6). Tidak ada pertambahan jumlah kasus terkonfirmasi positif. Meski ada penurunan, masyarakat tetap diminta waspada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Kurang tepat
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra, mengapresiasi upaya Pemkot Tangsel menekan angka Rt hingga di bawah 1. Namun, ia berpendapat, penggunaan angka Rt sebagai indikator pelonggaran PSBB sangat rentan terhadap asumsi-asumsi sehingga bisa jadi kurang tepat.
Menurut Hermawan, Rt bukan satu-satunya indikator yang menentukan apakah PSBB dapat dibuka atau tidak. Sebab, Rt hanya berbicara pada tataran epidemiologis.
Masih ada indikator lain seperti kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, upaya penguatan masyarakat, bagaimana protokol kesehatan disiapkan, serta infrastruktur dan kebijakan di semua sektor. Setelah itu dipenuhi, barulah pemerintah bisa untuk memikirkan tentang penerapan normal baru.
“Kalau Rt itu dijadikan dasar semacam melonggarkan, membebaskan, dan seolah sudah teratasi ini agak gegabah,” kata Hermawan.
Kalau Rt itu dijadikan dasar semacam melonggarkan, membebaskan, dan seolah sudah teratasi ini agak gegabah.