Selama 12 Tahun Memendam Rahasia Kekerasan Seksual
Setelah 12 memendam rahasia, Oskar memberanikan diri membuka semua rasa malunya demi mengungkap kasus kejahatan seksual yang dilakukan SM, pembina misdinar di gereja Santo Herkulanus.
Selama 12 tahun, Oskar (24)—bukan nama sebenarnya—menyusun tembok tebal nan tinggi agar tak ada orang yang bisa masuk dan mengetahui rahasia pengalaman pahitnya. Namun, tembok itu perlahan ia kikis setelah mendengar kabar jika ada korban selain dirinya akibat tindakan kejahatan seksual SM.
Untuk beberapa detik Oskar terdiam, ia melepas kacamatanya, dan kedua telapak tangannya menyatu. Ia berusaha membuka hati bercerita tentang peristiwa jahat 12 tahun lalu saat ia mendapat tindakan kekerasan seksual oleh SM, pembimbing misdinar di Gereja Santo Herkulanus, Kota Depok, Jawa Barat.
Oleh orangtuanya, Oskar diminta untuk mengikuti kegiatan di gereja saat ia masih duduk kelas empat sekolah dasar (2005). Ia tak keberatan dan justru senang bisa mengikuti kegiatan di gereja dan melayani gereja karena banyak teman sekolahnya juga melakukan hal sama. Kebetulan, lokasi gereja Santo Herkulanus berdampingan dengan sekolahnya kala itu.
”Semua tampak lancar dan baik-baik saja selama lima tahun menjadi anggota misdinar. Sampai ketika saya duduk di kelas dua SMP, saat itu tahun 2009 umur saya 12 tahun, ada sebuah perlakuan yang saya anggap dulu itu adalah hal wajar. Pelukan, kepala dielus, dipangku, dan hingga suatu hari saya dijadikan sasaran seks oral oleh SM…” kata Oskar tak meneruskan cerita, Rabu (24/6/2020).
Baca juga: Mengungkap Jejak Gelap Pemerkosa Anak di Depok
”Awal-awal sejak kejadian itu saya merasa kesal, jijik, kecewa, dan marah. Entah seperti apa menjelaskannya seperti ada pergolakan batin, tertekan, dan depresi lebih dari dua bulan. Saya enggak menangis tapi ada perasaan merasa relasi dengan Tuhan hancur. Selain itu, takut jika teman-teman tahu, takut dijauhi, dan distigma negatif oleh teman dan orang sekitar termasuk keluarga. Saya takut mereka tidak terima saya. Tidak ada kepercayaan diri dan merasa rendah,” lanjut Oskar.
Rasa takut dijauhi dan berbagai tekanan yang ia rasakan, membuat Oskar menutup serapat mungkin pengalaman pahitnya. Ia membangun tembok tebal untuk menutupi tindakan pelecehan seksual oleh SM agar tak diketahui teman dan keluarganya.
Sejak kejadian pelecehan seksual itu, Oskar berusaha menjaga jarak dan menghindari SM. Ia tidak ingin mendapat tindakan serupa untuk kedua kalinya. Hal itu ia lakukan hampir sekitar empat tahun hingga ia memutuskan untuk tak aktif lagi menjadi anggota misdinar saat duduk di kelas II SMA, pada 2012.
Sejak kejadian pelecehan seksual itu, Oskar berusaha menjaga jarak dan menghindari SM. Ia tidak ingin mendapat tindakan serupa untuk kedua kalinya. Hal itu ia lakukan hampir sekitar empat tahun hingga ia memutuskan untuk tak aktif lagi menjadi anggota misdinar saat duduk di kelas dua SMA, pada 2012.
Selama dua bulan lebih sejak kejadian itu, Oskar merasa seperti hidup sendiri dan merasa lelah secara fisik dan batin. Ia merasa tidak bisa hidup dalam tekanan batin yang begitu berat. Oskar tak tahu apa yang harus dilakukan dan merasa sangat bingung. Sempat terbesit untuk melakukan hal negatif, hal yang bisa semakin menghacurkan masa depannya. Namun, pikiran negatif itu teralihkan dengan berbagai kegiatan yang ia jalani.
”Saya capek jika harus seperti itu terus. Saya coba bangkit dan mencoba melawan. Saya tipe sebenarnya tipe orang yang aktif dan enggak bisa diam. Oleh karena itu, saya ikut berbagai kegiatan dan komunitas enggak hanya kegiatan gereja. Saya banyak teman juga, jadi itu cukup sedikit membantu mengalihkan pikiran negatif saya. Akhirnya dalam perjalanan hingga saat ini tidak lupa atas kejadian tersebut, tapi saya berusaha menerima dan perlahan bisa bangkit. Saya enggak mau terpuruk dan larut dalam rentang waktu itu karena saya enggak mau menghancurkan diri,” kata Oskar.
Pengakuan
Sebelum SM (45) ditangkap oleh Kepolisian Metro Depok pada Selasa (14/6/2020), pihak Gereja Santo Herkulanus mengidentifikasi dan melakukan investigasi internal atas kecurigaan, SM melakukan pelecehan seksual.
Dari hasil investigasi tersebut ada satu anak menjadi korban. Pihak gereja pun melaporkan ke Polisi untuk segera menangkap SM. Tidak sampai di situ, tim investigasi internal gereja menduga ada lebih dari satu anak yang menjadi korban SM.
Saat ini, SM yang juga berprofesi sebagai pengacara tersebut telah ditahan di Polres Kota Depok. Korban SM sejauh ini dipastikan sudah ada 20 anak. Kepala Kepolisian Resor Metro Depok Komisaris Besar Aziz Andriansyah mengatakan, saat ini pihaknya terus mendalami keterangan SM untuk mengungkap kasus kekerasaan seksual terhadap anak di bawah umur. Diduga korbannya masih akan terus bertambah karena SM sudah beraktivitas di gereja sejak 20 tahun lalu.
Pastor Paroki Santo Herkulanus Yosep Sirilus Natet mengatakan, pihaknya berkomitmen mengawal kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di lingkungan gereja. Tak hanya itu, dari keuskupan juga secara khusus meminta menjaga kondisi psikologi serta sosial korban dan keluarga dengan melakukan upaya rehabilitasi.
Baca juga: Memulai Keberanian Kecil untuk Melawan Pelecehan Seksual
Tim investigasi dari pihak gereja yang beberapa beranggotakan anak-anak muda pun menghubungi sejumlah mantan anggota misdinar, salah satunya Oskar. Setelah menggali informasi dari Oskar, dugaan SM sudah melakukan perbuatan asusila sekitar tahun 2002 semakin menguat.
”Saat ngobrol bareng teman-teman muda, awalnya saya tidak tahu jika SM sudah sampai ranah hukum dan ternyata ada anak di bawah umur yang menjadi korban, saya kaget. Akhirnya di situ apa yang selama ini saya pendam selama 12 tahun, semua aib dan rasa malu akibat perbuatan SM saya ceritakan semua. Perlahan tembok rapat, saya kikis demi membantu membongkar kasus tindakan SM. Saya adalah korban ke 21 dari tindakan kejahatan SM,” kata Oskar.
Mendengar ada korban selain dirinya, membuat Oskar merasa bersalah. Ia memutar ulang memori saat ia mendapat tindakan kejahatan seksual oleh SM. Rasa bersalah muncul seketika dan ada penyesalan dalam dirinya.
”Jika tahu ada korban lainnya, seharusnya saat itu saya bercerita kepada orangtua. Saya pendam, tidak ada orang yang tahu sampai akhirnya SM semakin bermain demi memuaskan hasrat seksualnya dan banyak korban berjatuhan. Korban saat ini 21 orang termasuk saya,” kata Oskar.
Namun, rasa takut mengalahkan semuanya. Ia tidak berani bercerita. Ia takut dimarahi orangtua. Bercerita kepada teman pun bukan solusi malah ia takut dibuli atau distigma negatif.
”Tapi, jika saya cerita saat itu apakah akan menyelesaikan masalah? Apakah orangtua saya akan mendengar? Saya tidak ada bukti dan yang saya laporkan merupakan orang dewasa yang mengerti hukum pula,” lanjut Oskar.
Tapi jika saya cerita saat itu, apakah akan menyelesaikan masalah? Apakah orangtua saya akan mendengar? Saya tidak ada bukti dan yang saya laporkan merupakan orang dewasa yang mengerti hukum pula.
Namun, semua itu tinggal penyesalan. Dan, Oscar tidak mau menyesal untuk kedua kalinya. Oleh karena itu, ia memberanikan diri bercerita kepada teman-teman muda di gereja. Tidak hanya mereka, Oskar juga memberanikan diri bercerita kepada orangtuanya.
”Saya cari momen yang pas dan santai untuk bercerita kepada orangtua. Saya pilih waktu ketika mereka tidak capek saat pulang kerja. Hari itu, 31 Mei kemarin, dari umur 12 tahun hingga 24 tahun akhirnya saya ceritakan semua kepada orangtua. Saya minta mama untuk kuat dan menerima semua cerita. Mama menghela napas dan pasrah. Tapi, mama terima apa yang saya ceritakan. Saya lega, beban selama ini semakin ringan,” tutur Oskar.
Pendidikan seksual
Ketidakterbukaan hingga rasa takut yang selama ini Oskar pendam, membuatnya belajar banyak bahwa hubungan relasi komunikas orangtua dan anak harus terbangun dengan baik. Ia menilai orangtua adalah sosok yang menakutkan, alih-alih menjadi sosok yang dihormati, pelindung, dan teman.
Tidak hanya itu, ia menilai tidak semua orangtua yang menjadi sosok pendidik yang bisa memberikan pemahaman terkait pendidikan seksual.
Baca juga: Bangkit dari Pelecehan Seksual
”Seperti peristiwa yang menimpa saya dan anak-anak lainnya. Kami tidak melihat atau tidak mengerti SM ada kelainan perilaku seksual. Untuk mengarah ketindakan seksual itu, dia membangun dan membungkus pelecehan seksual dengan memangku, dipeluk, dielus kepalanya, dan dicium. Norma itu sah saja jika dilakukan kakak atau abang atau orangtua. Dia menggambarkan diri sebagai penyayang anak-anak. Saat itu kami masih kecil dan enggak tahu jika perlakukan SM merujuk pada pelecehan seksual. Seperti hal yang biasa dan wajar. Dia pernah bilang kalau dia senang anak-anak. Saya mikir-nya positif saja,” kata Oskar.
Oleh karena itu, kata Oskar, saat bertemu dengan sejumlah orangtua korban dan orangtua lainnya untuk menjadi sosok orangtua yang tidak yang dihormati, pelindung, teman, dan pendidik.
”Untuk orangtua jangan jadi sosok yang menakutkan bagi anak anak. Bangun relasi komunikasi yang baik dengan terbuka terhadap permasalah anak. Jika anak takut sama kalian, tidak ada anak yang berani bercerita sehingga anak-anak akan semakin terjerat dalam permasalahan yang tidak bisa ia selesaikan,” kata Oskar.