Saatnya Mendengar Aspirasi Warga dalam Mencegah Pandemi Covid-19
Ada pengurus RW yang justru dipolisikan oleh warga ketika sedang mendisiplinkan keluarga yang positif Covid-19. Perkara itu sudah selesai, tetapi menunjukkan tingkat pemahaman warga yang rendah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Pendekatan baru berbasis komunitas diperlukan untuk memperketat pembatasan ruang gerak virus korona baru. Kesadaran masyarakat untuk bersedia dites dan dipantau menjadi kunci dari pengawasan yang efektif. Hal ini menjadi gagasan utama dalam diskusi virtual bertema ”Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berbasis Wilayah di DKI Jakarta” pada Kamis (25/6/2020) kemarin.
Direktur Disaster Risk Reduction and Management Indonesia Revance Jefrizal menilai, pendekatan pencegahan Covid-19 masih berupa pemerintah. Masyarakat diletakkan sebagai obyek, bukan subyek. Akibatnya, aturan yang dikeluarkan pemerintah ditanggapi dengan emosional.
”Pemberdayaan pengurus RW dan rukun tetangga juga semestinya mendengarkan aspirasi warga. Kalau ada kesepakatan bersama, akan mudah bagi RW untuk mendisiplinkan warga,” ujarnya.
Ia mengatakan, selain ada insentif juga harus ada disinsentif. RW dengan status merah jangan diperkenankan melakukan kegiatan komunal secara fisik seperti ke rumah ibadah. Warganya juga jangan sampai boleh keluar. Untuk hal ini, juga perlu insentif seperti memastikan warga tetap bisa hidup selama mengalami pengawasan wilayah lokal.
Masalah terbesar dalam pengendalian pandemi Covid-19 ialah tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah dan ada ketakutan untuk menjalani tes. Kecemasan terhadap stigma serta pemaksaan isolasi mengakibatkan warga enggan datang ke lokasi tes.
”Puskesmas tidak lagi menunggu pasien datang, tetapi melakukan jemput bola dengan melakukan pengetesan di tempat-tempat yang dikategorikan rawan sebagai pusat penularan Covid-19 seperti permukiman padat dan pasar tradisional,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti.
Ia mencontohkan di pasar-pasar tradisional pedagang banyak yang menghindari tes. Mereka takut nanti dilarang berjualan sehingga tidak bisa menafkahi keluarga. Pengetesan terkini dilakukan di Pasar Palmerah, Jakarta Pusat yang mengungkapkan ada sembilan pedagang dinyatakan positif mengidap Covid-19. Akibatnya, pasar ditutup selama tiga hari.
Hal tersebut diakui oleh Herdayati, warga RW 17, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, yang turut serta dalam diskusi. Ia menceritakan pengalaman meminta bantuan puskesmas melakukan tes usap tenggorokan karena khawatir melihat keadaan lingkungannya yang berada di permukiman padat. Warga tidak tertib bermasker dan masih suka nongkrong beramai-ramai.
”Dari 400 warga, hanya 137 orang yang datang untuk tes. Terungkap ada 23 orang yang positif Covid-19,” ujarnya.
Setelah itu, Herdayati beserta warga lain yang peduli membantu puskesmas melakukan penelusuran jejak penularan. Mereka juga melakukan sosialisasi pola hidup bersih dan sehat.
Sementara itu, Koordinaror Lapangan Wahana Visi Indonesia Sardimanto mengungkapkan bahwa ada pengurus RW yang justru dipolisikan oleh warga ketika sedang mendisiplinkan keluarga yang positif Covid-19. Perkara itu sudah selesai, tetapi menunjukkan tingkat pemahaman warga yang rendah.
Pengurus RW yang justru dipolisikan oleh warga ketika sedang mendisiplinkan keluarga yang positif Covid-19. Perkara itu sudah selesai, tetapi menunjukkan tingkat pemahaman warga yang rendah.
Data Pemerintah Provinsi Jakarta per Kamis sore jumlah kasus positif di Ibu Kota adalah 10.472. Jumlah orang yang sembuh ialah 5.435 dan yang meninggal ada 631 orang.
Widyastuti mengungkapkan, awalnya pemerintah menduga puncak penularan virus akan terjadi pada bulan Mei karena ada Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Ternyata, pada bulan itu angka penularan relatif stagnan sehingga puncak kasus terjadi pada bulan April.
”Tingkat penularan di Jakarta kini 0,98. Kita tetap harus waspada dengan memperbanyak tes, penelusuran jejak pasien, dan pemastian tidak ada kluster penularan yang bocor,” tuturnya.
Pada awal Juni, Pemprov Jakarta mengatakan, ada 66 rukun warga (RW) yang dinyatakan merupakan zona merah sehingga diterapkan pembatasan sosial berskala lokal (PSBL). Dari jumlah tersebut, tinggal 5 RW yang masih merah.
Namun, ternyata muncul 22 RW lain yang memiliki kerawanan zona merah. Kepala Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Pemprov Jakarta Premi Lasari mengutarakan 5 RW zona merah lama dan 22 RW zona merah baru berada di bawah pengawasan wilayah ketat hingga tanggal 2 Juli 2020.