Pemalsu Sertifikat Pelaut Diungkap, Juga Memasok Dokumen ABK yang Loncat dari Kapal
Secara total, sindikat pemalsu sertifikat keterampilan pelaut yang dipimpin DT ini sudah beroperasi selama tiga tahun dan menghasilkan keuntungan Rp 20 miliar.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sindikat pemalsu sertifikat keterampilan melaut diungkap tim gabungan Polri dan Kementerian Perhubungan. Belakangan, mereka diketahui penerbit sertifikat palsu untuk dua pekerja migran Indonesia yang terjun ke laut dari kapal ikan berbendera China saat melintasi Selat Malaka, Jumat (5/6/2020). Sindikat ini sudah menerbitkan total 5.041 sertifikat palsu.
”Selintas sertifikat ini (seperti) asli. Mereka bisa menggunakan sertifikat ini bukan hanya untuk menjadi ABK (anak buah kapal) di dalam negeri, melainkan juga bisa menjadi ABK di luar negeri, dalam arti untuk kapal-kapal luar negeri,” tutur Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana dalam konferensi pers, Kamis (25/6/2020), di Jakarta.
Turut hadir, Inspektur Jenderal Kemenhub I Gede Pasek Suardika, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Agus Purnomo, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Direktur Kepolisian Air dan Udara Kombes Edfrie R Maith, dan Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara Kombes Budhi Herdi Susianto.
Sistem dan kode keamanan selalu diperbarui, tetapi ternyata RA dan RAS tetap mampu meretas.
Nana mengatakan, tim gabungan yang meringkus sindikat ini terdiri dari personel Polres Metro Jakarta Utara dan Kemenhub. Tim membekuk 11 anggota komplotan pemalsu sertifikat dengan modus meretas laman resmi Kemenhub untuk registrasi dan integrasi data pengguna jasa mereka sehingga konsumen mereka seolah-olah terdaftar.
Anggota sindikat terdiri dari DT, JA, IJ, SP, SH, ST, IS, GJM, RR, RA, dan RAS yang ditangkap di sejumlah tempat, seperti Koja (Jakarta Utara) hingga Kabupaten Kampar (Riau). Sertifikat palsu 5.041 lembar diproduksi sekitar tiga tahun, periode 2018-April 2020. ”Keuntungan mereka sekitar Rp 20 miliar,” ujar Nana.
Penangkapan DT dan kawan-kawan bermula dari informasi masyarakat yang diterima Unit Reserse Mobil Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Utara, 23 April 2020. Informasi itu menyebutkan, seseorang berinisial DT bisa membuat sertifikat keterampilan pelaut palsu, tetapi terdeteksi sebagai dokumen asli. Lewat penyamaran sebagai pemesan sertifikat, polisi meringkus DT.
Kalau di tengah laut, orang yang dituntut memperbaiki kerusakan tetapi tidak bisa, mau meminta tolong kepada siapa lagi.
Pengembangan kasus terus berlanjut hingga seluruh tersangka berhasil ditangkap lewat kolaborasi dengan personel Kemenhub. Terakhir, tersangka RA ditangkap pada Selasa (9/6/2020).
Nana menjelaskan, DT merupakan pemimpin komplotan yang menampung pesanan sertifikat palsu. JA, IJ, dan GJM berperan mencari konsumen yang ingin bekerja di kapal tanpa mengikuti proses pendidikan dan pelatihan resmi. Adapun SP, SH, IS, dan RR menyediakan blangko sertifikat, ST membuat sertifikat untuk kemudian diserahkan ke DT, sedangkan RA dan RAS—dengan kemampuan bidang teknologi informasi—bertugas meretas laman Kemenhub guna meregistrasi sertifikat keterampilan pelaut palsu yang diproduksi sindikat itu.
Meskipun data yang dimasukkan palsu, sindikat menggunakan blangko asli dari Kemenhub yang dicetak Peruri. Para tersangka mampu mendapatkannya karena RR pekerja honorer di gudang Kemenhub.
Adapun besaran tarif yang dipatok dalam membuat sertifikat berbeda-beda bergantung keahlian yang dicantumkan. Biaya termurah Rp 700.000 per sertifikat, antara lain untuk keterampilan basic safety training (BST), advance fire and fighting (AFF), dan survival craft and rescue boats (SCRB). Tarif termahal Rp 20 juta untuk sertifikat ahli nautika dan ahli teknik tingkat I.
Budhi Herdi menambahkan, pengungkapan kasus ini ternyata ada kaitan dengan kaburnya ABK Indonesia dari kapal berbendera China dengan cara mencebur ke laut. ”Dicek, ternyata sertifikatnya didapat dari sindikat ini,” ujarnya.
Seperti diberitakan, dua ABK itu bernama Reynalfi Sianturi (22) dan Andri Juniansyah (30) , yang bekerja pada kapal penangkap cumi Lu Qing Yuan Yu 901. Mereka ditipu agen dengan janji ditempatkan di pabrik manufaktur di Korea Selatan dengan upah Rp 45 juta per bulan. Nyatanya, setelah dijemput di Singapura, mereka dipaksa bekerja di kapal asing. Setelah tujuh bulan, keduanya tidak tahan dan nekat terjun ke laut (Kompas, 16/6/2020).
Budhi mengatakan, hampir semua anggota sindikat DT mantan pelaut sehingga mereka mudah menemukan peminat jasa mereka. Pengguna jasa semakin banyak karena keahlian mereka menghasilkan sertifikat ”asli tapi palsu” tersiar dari mulut ke mulut.
Terkait pembobolan laman Kemenhub, Agus mengatakan, kementerian sebenarnya selama ini menjalankan protokol pencegahan peretasan. Sistem dan kode keamanan selalu diperbarui, tetapi ternyata RA dan RAS tetap mampu meretas. Karena itu, pihaknya berencana bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara untuk meningkatkan proteksi.
Agus melanjutkan, sampai sistem baru dengan proteksi yang lebih sempurna sudah siap digunakan, Ditjen Hubla akan melakukan pengecekan sertifikat keterampilan pelaut secara semi manual.
Nana menuturkan, para tersangka dijerat dengan pasal sesuai peran masing-masing. Dasar hukum yang digunakan, antara lain, Pasal 264 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pemalsuan, serta Pasal 30 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman hukuman penjara sekitar 8 tahun.
Budhi mengatakan, selain melanggar hukum, pemalsuan sertifikat keterampilan pelaut berdampak pada keselamatan pelayaran mengingat orang-orang yang menjadi ABK berpotensi tak punya kompetensi sesuai sertifikatnya. ”Kalau tidak terampil menyetir mobil atau ada kerusakan, tetapi kita tidak bisa memperbaiki, kita bisa minggir. Kalau di tengah laut, orang yang dituntut memperbaiki kerusakan tetapi tidak bisa, mau meminta tolong kepada siapa lagi,” katanya.