Maaf, Atas Nama Kesehatan Diimbau Tidak Berbicara di Kereta
Saat PSBB transisi, protokol kesehatan di angkutan umum harus ketat untuk menjaga angkutan umum aman dari persebaran virus korona baru. Imbauan untuk tidak berbicara di angkutan umum harus dipatuhi oleh penumpang.
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
Memasuki minggu ketiga pembatasan sosial berskala besar masa transisi, para pengguna angkutan umum di Jakarta juga di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi seharusnya sudah terbiasa dengan sejumlah kebiasaan baru saat naik angkutan umum. Selain mesti memenuhi rangkaian prosedur kesehatan, ada satu lagi yang terus didengungkan di dalam kereta atau saat hendak masuk kereta.
Imbauan itu adalah meminta penumpang tidak berbicara di dalam kereta ataupun bus, baik mengobrol langsung antarpenumpang maupun lewat telepon genggam. Alasan utamanya, seperti dijelaskan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Hariadi Wibisono dalam bincang-bincang KRL bertajuk membangun pemahaman publik tentang tanggung jawab PT KCI yang digelar Institut Studi Transportasi Indonesia (Instran), pertengahan Juni lalu, adalah droplet atau percikan air ludah bisa menjadi media penularan virus korona di dalam angkutan umum.
Di angkutan umum, berarti yang dikhawatirkan menjadi persebaran Covid-19 adalah droplet atau partikel kecil dari mulut pada saat batuk, bersin, atau berbicara. Apalagi droplet dapat melewati sampai jarak tertentu, biasanya 1 meter.
Droplet juga bisa menempel di pakaian atau benda di sekitar penderita pada saat batuk atau bersin. Untuk itu masyarakat diwajibkan menggunakan masker kain yang menutupi hidung dan mulut untuk mencegah penyebaran droplet.
Itu sebabnya, begitu masuk ke peron stasiun ataupun angkutan umum lainnya, para penumpang akan dengan jelas melihat pengumuman tertulis yang mengimbau penumpang tidak berbicara di dalam sarana angkutan. Di dalam kereta, misalnya, akan terdengar pengumuman tersebut sebagai bagian dari protokol. Erni Sylvianne Purba, VP Corporate Communications PT KCI, dalam keterangan tertulisnya, terus-menerus menyatakan tentang protokol itu.
Dalam pantauan Kompas pada pekan kedua dan awal pekan ketiga PSBB transisi, saat jam sibuk pagi dan sore hari, antrean penumpang sudah mengular di depan gerbang pembayaran stasiun-stasiun KRL favorit, di antaranya Stasiun Tebet, Tanah Abang, Gondangdia, dan Sudirman. Di luar gerbang pembayaran, mereka antre. Setelah masuk menuju peron pun mereka kembali antre karena ada pembatasan kapasitas penumpang di dalam kereta.
Para penumpang memang menggunakan masker. Sayang, mereka berdiri masih mepet-mepet, berjarak 30 sentimeter saja. Padahal, dalam penjelasan para ahli epidemiologi sudah jelas, berdiri antre pun harus berjarak minimal 1 meter dan mengikuti tanda-tanda jarak yang disiapkan operator.
Lalu mereka juga mengikuti prosedur pengecekan suhu sebelum memindai kartu. Namun, di dalam kereta, penumpang yang memahami akan duduk diam. Lain dengan yang masih tidak peduli, mereka akan berbicara dengan teman atau malah mengobrol di telepon.
Di dalam kereta, penumpang yang memahami akan duduk diam. Lain dengan yang masih tidak peduli, mereka akan berbicara dengan teman atau malah mengobrol di telepon.
”Satu dua penumpang seperti itu masih didapati. Hari ini saya mendapati penumpang yang diingatkan petugas kereta karena mengobrol di telepon. Bukannya mematuhi petugas, malah melotot,” kata Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki yang pada Rabu (24/6/2020) siang itu menuju tempat pertemuan di Jakarta dengan menggunakan kereta komuter.
Padahal, lanjutnya, petugas sudah sopan mengingatkan penumpang itu. ”Saya sebagai penumpang juga ikut melihat ke arah penumpang itu, karena menurut saya itu untuk kesehatan bersama,” jelas Sitorus.
Mohammad Imam (35), warga Bojonggede, Kabupaten Bogor, juga mengatakan risi apabila ada yang mengobrol di dalam kereta atau bahkan menerima telepon.
”Nanti dululah. Meski sudah memakai masker pun, saya rasa potensi menulari masih ada. Bagi saya pribadi, ngobrol sesama teman ataupun berbicara di telepon itu mengganggu. Saya setuju sekali dengan aturan tidak berbicara di dalam kereta,” ujar Imam yang setiap hari naik kereta komuter lintasan Bogor-Jakarta Kota.
Nasrullah (40), warga Pamulang, Tangerang Selatan, menanggapi aturan itu antara setuju dan tidak setuju. ”Maksud saya, kalau sedang ramai seperti waktu sibuk, jangan bicara karena risiko tinggi. Orang juga terganggu karena berisik. Tetapi, kalau kereta sedang sepi, misalnya hanya sendirian atau berdua, tetapi duduknya ujung sama ujung, menurut saya tidak masalah,” tuturnya.
Kalau kereta sedang sepi, misalnya hanya sendirian atau berdua, tetapi duduknya ujung sama ujung, menurut saya tidak masalah (berbicara).
”Asalkan suara tidak terlalu kencang, bicara seperlunya, dan bisik-bisik saat menelepon. Toh, kadang petugas keamanan juga berbicara satu sama lain seperlunya. Hanya saja, persoalannya di Indonesia, apabila aturan dilonggarkan sedikit saja, pasti susah mengontrolnya dan pada akhirnya dilarang saja sekalian tanpa kecuali,” tambah pengguna kereta komuter rute Serpong-Tanah Abang itu.
Tentang larangan itu, lanjut Sitorus, sebetulnya masyarakat bisa menumbuhkan etika berbicara saat naik angkutan umum. Apabila obrolan atau panggilan di telepon tidak penting, bisa ditunda atau mengirim pesan untuk menunggu. Apabila penting, penumpang bisa turun di stasiun berikutnya dan menerima telepon.
”Karena sekali lagi, yang kita pahami bahwa virus korona baru ini penularannya lewat droplet. Droplet itu agak susah dicegah kalau masyarakat masih melakukan aktivitas bicara dengan sesama teman yang memang posisinya tidak menerapkan jaga jarak,” katanya.
Masih terkait larangan itu, lanjut Sitorus, tidak bisa juga langsung dihubungkan dengan hak atau kebebasan berbicara setiap orang. Itu karena saat ini Indonesia dan dunia tengah menghadapi pandemi Covid-19. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo sudah mengumumkan pandemi ini sebagai bencana non-alam.
Sebagai bencana non-alam yang baru pertama kali terjadi di era ini, menurut Sitorus, semua mitigasi dan aturan yang disusun serba baru. Berbeda dengan bencana alam di mana sudah ada referensi untuk adaptasi dan mitigasi sehingga tinggal diikuti.
”Jadi, untuk bencana non-alam ini, mau apa pun itu, titik koma aturannya sebisa mungkin harus kita ikuti. Sebab, adaptasi dan mitigasi bencana non-alam ini baru kita laksanakan karena baru ada sekarang. Operator dan penumpang belajar semua. Dengan demikian, tidak ada cerita melanggar hak asasi karena semua sedang belajar. Ini demi kesehatan kita bersama,” tegas Sitorus.
Oleh karena itu, meski dalam forum bincang-bincang tentang KRL itu Direktur Utama PT Kereta Commuter Indonesia Wiwik Widayanti sudah menjelaskan selalu ada pengumuman tentang imbauan-imbauan itu di dalam kereta, hal tersebut dirasakan belum cukup.
Sitorus menegaskan, melihat masih ada penumpang yang tidak menyadari imbauan itu, KRL tidak boleh berhenti melakukan edukasi.
”Kalau perlu, saat penumpang mau tap in, petugas tidak hanya mengecek suhu badan, tetapi juga menyampaikan imbauan tidak boleh berbicara sehingga penumpang tahu dari awal. Jadi tidak harus di dalam kereta. Di peron sekalipun seharusnya masyarakat harus bisa menjaga jarak dan komunikasi. Sebab, walaupun dia sesama teman pekerja, tetapi tidak serumah, jadi tidak bisa saling menelusuri kesehatan masing-masing,” tutur Sitorus.
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat dan juga pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, mengatakan, tetap diperlukan sosialisasi dan pengawasan yang kuat kepada penumpang. Apalagi sesuai regulasi yang mengatur angkutan selama PSBB transisi, penumpang mesti mengenakan masker, baju lengan panjang, dan mencuci tangan. Sementara untuk operator juga ada regulasi tersendiri yang harus dipenuhi.
Baik Djoko maupun Sitorus juga kembali mengingatkan perlunya mengelola orang dan mengatur jam kerja masuk kantor supaya saat jam sibuk tidak terjadi antrean penumpang. Selain itu, kebersihan stasiun dan fasilitas umum seperti toilet harus dijaga.
”Kita takut berpegangan di tiang di dalam kereta karena tidak tahu itu steril atau tidak saking sudah banyak penumpang yang wara-wiri di kereta,” kata Sitorus.