Nus dan John berasal dari Ohoi (Desa) Tutrean, Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara. Secara budaya, mereka disebut suku Kei, suku terbesar di Maluku.
Oleh
J Galuh Bimantara/I Gusti Agung Bagus Angga Putra/Fransiskus Pati Herin
·4 menit baca
Berawal dari sengketa di tanah kelahiran keduanya di Ambon, Maluku, duo kerabat Kei, John dan Nus, melanjutkan pertikaian di Bekasi dan Jakarta.
Kekerasan antarsaudara dengan melibatkan pendukung masing-masing di ruang publik mencederai rasa aman warga kota. Aksi kekerasan itu seakan bebas dilakukan sesukanya di atas hukum yang berlaku.
Komisaris Besar Yusri Yunus, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Selasa (23/6/2020), di Jakarta, menuturkan, polisi telusuri bagaimana John dan kelompoknya mengumpulkan ”peserta” aksi, mengarahkan, membagi tugas, hingga membagi tempat eksekusi. Ada dua kluster tempat kejadian, yaitu di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat, serta di kediaman Nus di Perumahan Green Lake City Kota Tangerang.
Satu anak buah Nus Kei atau Agrapinus Rumatora tewas dalam kejadian ini. Satu anak buah Nus lain dan satu petugas keamanan di Green Lake City terluka. Penyerangan hingga pembunuhan ini bermula dari perselisihan pribadi antara John dan Nus terkait bagi hasil pengurusan tanah di Kota Ambon, Maluku. Setiap ditanya penyidik, John menjawab Nus mengkhianatinya.
Yusri menyebutkan, terdapat riwayat pesan dalam aplikasi percakapan yang dikirimkan Nus ke John. Nus meminta mereka bertemu empat mata tanpa mengikutsertakan orang lain guna menuntaskan masalah. Namun, John alias John Refra tidak pernah membalasnya dan malah memilih jalan kekerasan.
Kuasa hukum John Kei, Anton Sudanto, meminta petugas mengedepankan asas praduga tak bersalah dalam menangani kasus. ”Tidak boleh kita langsung menyalahkan seseorang sebelum ada kekuatan hukum yang tetap,” katanya.
Saat ini, polisi masih menahan dan memeriksa 30 orang, termasuk John Kei yang terlibat pembunuhan dan penyerangan. Selasa sore, Nus Kei turut dimintai keterangan di Polda Metro Jaya, tetapi enggan memberi keterangan kepada media.
Pasang surut
Rochmadi (26), warga Cibodas, Kota Tangerang, Banten, memuji polisi yang cepat bertindak meringkus pembuat keonaran pada Minggu (21/6/2020) di Jakarta dan Tangerang. Rochmadi sependapat dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Aziz yang menyatakan negara tidak boleh kalah oleh premanisme.
”Namun, jangan hanya kasus John Kei yang ramai dibicarakan ini saja yang diusut. Masih banyak, kok, aksi premanisme dalam skala kecil dan sampai sekarang masih ada di sekitar kita,” katanya.
Intan Sari (29), seorang warga asal Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, juga mendukung sikap tegas polisi. ”Namun, polisi mesti lebih profesional. Jangan mau kompromi dengan preman, apalagi dapat uang suap,” katanya.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane melihat pemberantasan premanisme oleh Polri selama ini pasang surut. Terkadang sangat agresif, tetapi kadang melempem. ”Aksi premanisme di luar kasus John Kei masih banyak,” ujar Neta dihubungi dari Tangerang Selatan.
Neta mencontohkan di kawasan parkir timur Senayan, Jakarta, banyak preman memalak masyarakat yang parkir di sana. Selain itu, di pasar dan terminal juga masih banyak premanisme yang membuat masyarakat takut dan resah. Pada prinsipnya, Neta meminta Idham Aziz membuktikan konsistensi ucapannya.
”Dengan adanya pernyataan Kapolri itu, dia harus memonitor bawahannya. Apakah mereka melaksanakan apa yang diucapkan Kapolri. Polda di seluruh Indonesia mestinya diperintahkan perang terhadap premanisme,” ujar Neta.
Neta menduga masih ada oknum polisi memanfaatkan preman untuk kepentingan pribadi dan ekonominya. Neta juga mempertanyakan asal senjata api yang digunakan kelompok John Kei saat beraksi.
Neta menduga masih ada oknum polisi memanfaatkan preman untuk kepentingan pribadi dan ekonominya. Neta juga mempertanyakan asal senjata api yang digunakan kelompok John Kei saat beraksi.
Konsep ”beking”
Ian Wilson, peneliti Asia Research Centre di Murdoch University, Australia, dalam bukunya Politik Jatah Preman memaparkan, ada berbagai kemungkinan relasi yang terjadi, mulai dari konflik hingga kerja sama saling menguntungkan antara negara dan preman.
Wilson menulis, negara bisa memanfaatkan preman guna melakukan tertib sosial serta mengendalikan kondisi sosial ekonomi, terutama saat ekonomi politik di Indonesia mengalami kekacauan.
Salah satu konsep yang dipergunakan Wilson dalam menjelaskan keterkaitan antara negara dan preman adalah beking. Konsep itu merujuk pada perilaku premanisme yang mendapatkan perlindungan dari pemerintah atau elite politik. Beking ini pula yang menguatkan dugaan para preman menjalankan hubungan berdasarkan transaksional yang saling menguntungkan.
Anak adat Kei yang juga pemerhati sosial dari Universitas Pattimura, Ambon, Josep Antonius Ufi, menilai, ada komunikasi yang terputus antara Nus selaku om dan John selaku kemenakannya. ”Jejaring aktor di sekitarnya yang bisa jadi turut andil memberikan masukan yang tidak mendukung dialog,” kata Josep.
Selain melanggar hukum positif, kejadian di Jakarta-Bekasi adalah pelanggaran terhadap norma hukum adat Kei ”Larvul Ngabal”, khususnya poin yang berbunyi Sa Sorfit Hukum NevNev. Hukum ini menjamin perlunya menjaga dan melindungi hidup pribadi manusia.
Selain melanggar hukum positif, kejadian di Jakarta-Bekasi adalah pelanggaran terhadap norma hukum adat Kei ”Larvul Ngabal”, khususnya poin yang berbunyi Sa Sorfit Hukum NevNev.
Ia menyerukan agar kelompok Nus dan John bertemu berdialog secara kekeluargaan. Jangan merugikan masyarakat umum. Diperlukan kehadiran tokoh yang dianggap berwibawa untuk menjadi penengah. Tokoh itu bisa jadi orang Kei di Jakarta atau di Maluku.
Nus dan John berasal dari Ohoi (Desa) Tutrean, Kei Besar Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Ambon. Secara budaya, mereka disebut suku Kei, suku terbesar di Maluku yang mendiami Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Lokasi itu sekitar 1,5 jam terbang dengan pesawat komersial dari Ambon.