Protokol kesehatan belum menjadi kebiasaan. Karena itu, kita perlu mengingatkannya berulang-ulang seperti yang dilakukan pramugari kepada penumpang pesawat.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi normal baru tidak sama dengan beraktivitas seperti biasa dalam situasi normal. Saat ini siapa pun harus menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas di ruang-ruang publik. Protokol kesehatan yang dimaksud adalah dengan mengenakan masker, jaga jarak, cuci tangan dengan sabun pada air mengalir, serta menggunakan antiseptik.
Sayangnya, protokol kesehatan itu belum berjalan dengan baik selama pelonggaran aktivitas publik. Di saat yang sama, situasi pandemi belum terkendali. Kondisi itu membuat ruang-ruang publik rentan jadi kluster baru kasus Covid-19.
Salah satu penyebab protokol kesehatan belum menjadi kebiasaan ialah infodemik atau gelombang informasi yang salah dan palsu. Informasi-informasi tersebut menyebar dengan cepat melalui platform media sosial.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masifnya infodemik membuat orang sulit memercayai informasi yang diterima, menimbulkan kecemasan dan kepanikan, berpotensi mengancam keselamatan fisik, serta menyebabkan kesalahan dalam strategi memerangi pandemi oleh pemerintah.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, ada 850 hoaks terkait Covid-19 sejak 23 Januari hingga 15 Juni. Jika dirata-ratakan, ada 6,2 hoaks setiap hari. Sebagian besar informasi itu tentang obat yang dapat menyembuhkan Covid-19. Sisanya tentang ketidaksinkronan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Salah satu hoaks terbaru pada Selasa (23/6/2020) ialah ”Tidak Ada Penularan Covid-19 Selama Demonstrasi di Amerika Serikat”. Padahal sejumlah kota-kota di Amerika Serikat masih mengalami peningkatan jumlah kasus setelah aksi unjuk rasa besar-besaran.
Hoaks lainnya tentang ”Daun Mimba dapat Menyembuhkan Covid-19”. Kementerian Kesehatan Malaysia dan ahli kesehatannya mengatakan, tidak ada bukti ilmiah klaim itu. Hal terbaik saat ini adalah terapkan protokol kesehatan.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, berpendapat tidak mudah membangun kebiasaan dengan menyadari risiko selama pandemi Covid-19. Bahkan informasi dari para ahli justru dinilai menimbulkan kecemasan dan kepanikan. Pandangan ini disampaikan Pandu dalam acara Covid-19 Talk bersama Muhammadiyah tentang area publik penyebab kluster-kluster baru Covid-19.
”Jangankan warga, pejabat saja banyak tidak paham risikonya. Covid-19 dianggap tidak terlalu serius, justru infodemik saja,” ujarnya. Padahal pandemi ini berbahaya karena sebagian besar penderitanya terinfeksi, tetapi tidak bergejala atau orang tanpa gejala dan penularannya sangat mudah melalui droplet.
Hal tersebut, kata Pandu, sama halnya dengan hepatitis dan HIV. Penderitanya tidak bergejala, tetapi bisa menularkan walaupun tidak secepat Covid-19 atau tidak mudah menular dari orang ke orang.
Tidak mudah
Tidak mudah untuk membangun komunikasi risiko karena Indonesia telah kehilangan momen penting untuk edukasi warga sejak awal pandemi. Untuk itu, saatnya mengedukasi dengan memberikan contoh dan fasilitas penunjang protokol kesehatan.
Pandu menyarankan kegiatan-kegiatan yang memotivasi warga untuk disiplin pada protokol kesehatan. Misalnya, lomba jaga jarak saat berolahraga atau bersepeda di ruang-ruang publik. Rombongan yang berhasil akan mendapatkan hadiah.
”Hadiahnya bisa kaus, sepatu, atau sepeda kalau memungkinkan. Warga akan termotivasi,” katanya. Contoh lainnya menyediakan fasilitas tempat cuci tangan yang bergerak sepanjang jalan di ruang publik supaya sesama warga saling melihat penerapan protokol kesehatan.
Selain itu, tantangannya ialah warga mau melakukan atau mengubah perilaku. Sebab, biasanya kedisiplinan hanya bertahan dalam minggu-minggu awal. Di sini, lanjut Pandu, gerakan warga atau inisiatif warga berperan membantu pemerintah mengedukasi secara terus-menerus.
”Tidak mungkin menahan warga di rumah terus-menerus. Pemerintah terbatas kerahkan petugas untuk pengawasan, kekuatan warga ambil alih untuk edukasi terus-menerus,” ujarnya. Edukasi terus-menerus penting karena kedisiplinan akan kendor saat kasus mereda, padahal itu berpotensi adanya ledakan kasus.