Balada Kesenian Palang Pintu Betawi dan ”Bebawaan” Roti Kepiting Kini
Palang pintu, salah satu kesenian Betawi di Jakarta, tak cukup bertahan. Namun, ia berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Di usia yang relatif muda, Ridwansyah (24) menjadi Koordinator Bidang Palang Pintu dan Silat Sanggar Seni Betawi Mamit Cs. Mimpinya sederhana, yaitu agar budaya dan kesenian Betawi tidak hilang dimakan zaman. Anak-anak muda harus turun tangan menjaga warisan nenek moyang.
Bermula dari ketertarikan pada silat, Ridwansyah mendalami seni palang pintu pada 2013. Ia memahami bahwa silat Betawi akan bermuara ke dua jalur, yaitu silat sebagai ilmu bela diri dan silat sebagai kesenian. Ia memilih mendalami silat sebagai kesenian melalui palang pintu.
Palang pintu adalah kesenian yang sering ditampilkan saat pernikahan adat Betawi. Calon pengantin lelaki mendatangi rumah calon pengantin perempuan bersama rombongan palang pintu, lengkap dengan bebawaan (seserahan) serta alunan alat musik kecimpring dan rebana. Proses palang pintu dibuka perwakilan pihak pengantin lelaki dan perempuan. Media penyampaian menggunakan pantun.
Inti dari palang pintu adalah menguji kesungguhan calon pengantin lelaki yang ingin melamar calon pengantin perempuan. Calon pengantin lelaki yang lulus ujian dilihat dari iman dan kekuatan fisiknya; bisa sholawat dan merobohkan jawara di kampung calon pengantin perempuan.
”Hampir setiap perguruan silat Betawi punya kesenian palang pintu. Bisa dibilang, kesenian ini berkembang luas di kalangan orang Betawi. Tetapi, ada juga anggota kami yang bersuku lain, misalnya Batak, Ambon, Jawa, dan Sunda,” kata Ridwansyah di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Menurut dia, peminat kesenian palang pintu masih banyak. Sanggar Mamit Cs yang berdiri sejak 1984 ini masih sering mendapat tawaran bermain palang pintu di sejumlah hajatan, baik pernikahan, peresmian tempat, maupun pelantikan pejabat.
Mereka hampir selalu ”manggung” di akhir pekan. Dalam sehari bisa 1-3 acara yang mereka meriahkan. Namun, pertunjukan palang pintu tidak lagi diadakan sejak pandemi Covid-19.
Beradaptasi
Kesenian palang pintu beradaptasi seiring dengan perubahan zaman. Ini agar palang pintu tetap relevan dengan perkembangan zaman. Ridwansyah mencontohkan, sesekali pantun menggunakan diksi kekinian atau membahas isu yang sedang akrab buat masyarakat, seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP)
”Adaptasinya bisa dengan gerakan dan cara kami melucu. Tetapi, pakem palang pintu tidak boleh diubah. Bahasa yang digunakan harus tetap bahasa Betawi. Jangan sampai budaya ini hilang walau zaman berganti modern,” katanya.
Pegiat seni palang pintu dan pendiri Generasi Muda Budaya Betawi (GMBB), Abdul Fian (58), mengatakan, palang pintu merupakan cerminan keseharian orang Betawi. Pantun menggambarkan orang Betawi yang hobi ngebanyol (melucu). Sholawat dan silat menunjukkan keseimbangan fisik dan batin orang Betawi.
Abdul (yang akrab dipanggil Babe Doel) memaklumi adaptasi yang dilakukan agar kesenian tetap hidup. Namun, ia menyayangkan bahwa pakem palang pintu kerap luput saat ditampilkan ke publik. Ia menyayangkan tutur bahasa yang kadang tidak sopan.
”Ada yang panggil ’lu’ dan ’gue’ ke orang yang lebih tua. Ada yang menggunakan kata ’buset’, ’mati’, dan sebagainya. Ini, kan, tidak mencerminkan adabnya orang Betawi. Saya khawatir nanti ada orang yang menerima persepsi yang salah dari kebudayaan kami,” kata Babe Doel.
Ia menambahkan, beberapa tradisi palang pintu kini samar jejaknya karena tergerus zaman. Tradisi palang pintu zaman dulu mewajibkan calon pengantin lelaki membawa roti buaya dan roti kepiting. Kini, roti kepiting sangat jarang ditemukan pada acara palang pintu.
Filosofi roti kepiting ada dua. Pertama, orang yang mendatangi tempat baru harus membawa buah tangan bagi tuan rumah. Buah tangan itu digambarkan sebagai barang yang cukup berat sehingga sulit dijinjing. Yang membawa buah tangan pun terpaksa berjalan miring, mirip gaya jalan kepiting.
”Kenapa namanya roti kepiting? Karena roti itu dibentuk seperti kepiting. Roti adalah makanan yang istimewa di zaman dulu,” ujar Babe Doel.
Kedua, kepiting menggambarkan cangkang yang kokoh. Pasangan pengantin diharap dapat menjalani biduk rumah tangga yang kokoh seperti kepiting.
Melestarikan dan mengembangkan
Babe Doel mengatakan, kini orang Betawi di DKI Jakarta fokus pada pengembangan budaya Betawi, bukan melestarikan. Era pelestarian budaya dianggap sudah cukup karena generasi muda Betawi menyambar tongkat estafet yang diberikan. Kini, saatnya mengembangkan budaya agar semakin dikenal luas.
Salah satu wadah pelestarian dan pengembangan adalah melalui GMBB yang ia bentuk pada 2015. GMBB diisi anak-anak muda dari beragam sanggar silat. Yang mau bergabung akan disambut bak saudara. Anak-anak muda ini tidak hanya diajari kesenian palang pintu, tapi juga diajarkan cara membuat ondel-ondel, berpantun, dan dikenalkan kuliner betawi.
”Di mata saya, silat kini meluas maknanya. Tidak lagi silat sebagai bela diri, tapi bisa juga silat sebagai seni budaya. Jangan sampai budaya ini hilang. Ayo kembangkan kesenian kita sama-sama,” katanya.