HUT Ke-493 Jakarta di Tengah Pandemi, Momentum Menafsirkan Kembali Budaya dan Tradisi
Hari Ulang Tahun DKI Jakarta menjadi spesial di tengah berbagai pembatasan di era pandemi Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
DKI Jakarta memasuki hari jadinya yang ke-493 pada Senin (22/6/2020). Ulang tahun kali ini merupakan momentum penting karena terjadi di tengah pandemi global Covid-19 sehingga moto HUT yang dipilih adalah ”Jakarta Tangguh”. Pada saat bersamaan, ini kesempatan yang baik untuk menggali kembali nilai dan makna Jakarta sebagai sebuah kota beserta budayanya yang kosmopolitan dan yang tradisional.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dalam wawancara khusus hari Jumat (19/6/2020), mengatakan, ulang tahun kali ini juga melihat kembali nilai budaya Jakarta. Sedari era Sunda Kelapa, wilayah ini sudah sangat kosmopolitan karena menerima pendatang dari banyak wilayah Nusantara, bahkan dari luar negeri, bersama segala tradisi yang mereka miliki. Setiap orang pun memiliki kesempatan setara. Hal ini tidak lepas dari adat istiadat Betawi yang berpikiran terbuka, yang tampak dari budaya Betawi yang memiliki percampuran unsur China, Arab, dan Eropa.
”Para pendatang yang datang ke Sunda Kelapa, Batavia, ataupun Jakarta menyerap budaya Betawi dalam kehidupannya. Tampak dari cara kita berbicara lazim memakai gue dan elu, cara kita bersikap, cara kita bermusyawarah, dan sebagainya. Tapi, sekarang kita sering lupa akan budaya Betawi sebagai fasilitator Nusantara,” ujarnya.
Oleh sebab itu, momentum ulang tahun Jakarta ini hendak mengingatkan kembali masyarakat mengenai nilai-nilai tradisional yang sekaligus sangat modern dan kosmopolitan. Ruang-ruang publik diisi kembali oleh diskusi ataupun ekspresi yang menunjukkan keterbukaan budaya tersebut.
Ketika ditanya mengenai suasana Jakarta yang kini seolah terpengaruh politik identitas, terutama di masa-masa pemilihan umum, Anies berpendapat bahwa hal tersebut terlalu berlebihan dan kerap dibesar-besarkan di media sosial ataupun media arus utama. Alasannya, karena pada dasarnya Jakarta memiliki budaya yang sangat menerima perbedaan dan secara umum memiliki suasana yang kondusif terhadap ketenteraman.
Pembagian dinas
Ia menjelaskan, perhatian khusus pada pengembangan budaya itu yang membuat Pemerintah Provinsi Jakarta memisahkan Dinas Kebudayaan (Disbud) dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf). Selama ini, ketika kebudayaan dan pariwisata berada di bawah satu lembaga, segala wujud pengembangan kebudayaan selalu dinomorduakan karena landasan pemikirannya masih komersial.
Pemisahan itu juga memungkinkan Disbud Jakarta bisa fokus melakukan pelestarian sekaligus pengembangan. ”Kalau cuma pelestarian, nanti hanya akan mempertahankan tradisi yang itu-itu saja. Makanya harus ada pengembangan supaya segala wujud budaya dan ekspresinya bisa diadaptasi oleh perubahan zaman, bahkan kalau bisa juga mengakibatkan perubahan,” tutur Anies.
Melalui Disbud Pemprov, Jakarta mendorong seniman dan budayawan untuk menafsirkan kembali pakem-pakem tradisi Betawi. Setelah itu, mereka ditantang untuk mengolahnya menjadi ekspresi-ekspresi yang baru. Salah satu contohnya adalah lagu rap yang kerap dikonotasikan dengan budaya Afrika-Amerika kini juga digunakan untuk mengekspresikan budaya Betawi.
Nanti seni tradisional tidak hanya dikenal dan dinikmati komunitas Betawi saja, tetapi semua orang di Jakarta pada umumnya. (Anies Baswedan)
Anies mencontohkan pemakaian kain batik menjadi kemeja. Dulu, dalam tradisi Jawa, batik hanya dipakai sebagai jarik yang berupa sarung. Kaum laki-laki mengenakan kemeja polos atau bergaris-garis (lurik). Kemudian muncul terobosan untuk menjadikan batik sebagai pakaian, seperti kemeja, bahkan gaun. Awalnya, terobosan ini ditentang karena dianggap melanggar adat Jawa, tetapi akhirnya diterima dan menjadi kelaziman.
”Hal ini pula yang kami tekankan kepada para seniman dan budayawan, yaitu keberanian memunculkan ide-ide baru dan gila. Tidak hanya sekadar memberikan ekspresi berkesenian yang baru, tetapi juga melihat kembali arti menjadi Betawi dan kontribusinya ke perkembangan zaman,” ujarnya.
Adanya Disbud bisa memfasilitasi lokakarya, pelatihan, diskusi, dan memberikan tempat untuk melakukan kegiatan hingga menunjukkan hasil karya para seniman. Melalui Disbud pula ekosistem kebudayaan Betawi dan Nusantara di Jakarta bisa dipetakan dan dibangun sinerginya. Salah satu program yang tengah dimatangkan adalah memunculkan kembali teater anak-anak di perkampungan agar bibit-bibit seni bisa muncul sedari dini.
Manfaatkan teknologi
Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memberikan persepsi baru bagi masyarakat Jakarta. Teknologi dulu hanya digunakan ala kadarnya, seperti untuk berkomunikasi melalui media sosial. Pandemi Covid-19 membuat semua anggota masyarakat mengalami percepatan adaptasi teknologi digital.
Sanggar dan panggung ditutup karena tidak boleh mengakibatkan keramaian. Walaupun begitu, bukan berarti kegiatan otomatis berhenti. Berbagai pelatihan tari, musik, dan diskusi beralih ke virtual dengan memanfaatkan media sosial secara intensif.
”Justru, berkat teknologi pelatihan dari para maestro menjadi inklusif. Kalau dulu kami menyediakan tempat yang terbatas, sekarang semua orang bisa berdialog dan melihat maestro seperti Ratna Riantiarno dan Jose Rizal Manua memberikan pelatihan melalui media sosial,” kata Anies.
Di samping itu, teknologi juga digunakan untuk mempromosikan karya seni. Menurut Anies, dulu seniman kerap berpendapat bahwa karya yang adiluhung adalah ketika dipamerkan di galeri, museum, dan gedung pertunjukan. PSBB membuat hal-hal ini tidak lagi mungkin sehingga pameran karya seni juga beralih secara virtual.
Pemprov Jakarta menggagas program ”Seniman Go Online” yang mengajak seniman mengunggah hasil karyanya ke situs yang dibina pemerintah. Melalui situs itu pula transaksi jual-beli sebuah karya seni juga dapat dilakukan. Keberadaan digitalisasi promosi seni memberi semua orang kesempatan untuk berekspresi dan dilihat.
”Ada juga upaya agar kegiatan seni, terutama seni tradisional, jangan hanya terpusat di Setu Babakan. Jalan-jalan utama, seperti Sudirman, Thamrin, dan Cikini, juga menjadi tempat berekspresi seni. Nanti seni tradisional tidak hanya dikenal dan dinikmati komunitas Betawi saja, tetapi semua orang di Jakarta pada umumnya,” kata Anies.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengungkapkan, setidaknya saat ini terpetakan ada 296 sanggar di Ibu Kota. Mereka terbagi ke dalam sanggar musik, tari, seni rupa, teater, dan sastra. Ada tiga gedung pertunjukan yang dikelola oleh Pemprov Jakarta, yaitu Gedung Kesenian Jakarta, Miss Tjitjih, dan Wayang Orang Bharata. Selain itu, ada Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki dan lima tempat pelatihan serta pembinaan yang dikelola tiap-tiap suku dinas.
Tantangan mengembangkan kebudayaan Jakarta ialah kekeliruan persepsi masyarakat Indonesia, bahkan warga Jakarta sendiri belum melihat Jakarta memiliki kebudayaan yang signifikan. Jakarta selama ini dipandang sebagai kota perekonomian dan pemerintahan. Bagi orang-orang asing, Jakarta adalah tempat transit sebelum menuju Denpasar, Lombok, Bandung, dan Yogyakarta yang merupakan tujuan wisata terpopuler.
”Ini tugas besar untuk menampilkan warna Jakarta yang berasal dari kekayaan percampuran tradisi dan signifikansi sejarah berabad-abad,” tuturnya.