Pengawasan SIKM Tangsel Tak Bisa Digantikan Kesadaran Warga
Pengawasan SIKM Tangerang Selatan dirasa sulit dilakukan bila sepenuhnya mengandalkan inisiatif warga pendatang. Implementasi kebijakan compang-camping di lapangan.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Pengawasan surat izin keluar masuk (SIKM) Tangerang Selatan dirasa sulit dilakukan bila sepenuhnya mengandalkan inisiatif warga pendatang. Implementasi kebijakan SIKM Tangsel compang-camping di lapangan. Hal itu membuat penyebaran Covid-19 menjadi semakin tidak terkontrol.
Kondisi tersebut terjadi di sejumlah wilayah rukun warga (RW) di Kota Tangerang Selatan. Di Kelurahan Serua, Ketua RW 018 Masdar menyampaikan, tingkat kesadaran warga pendatang untuk melapor kepada kepala lingkungan setelah tiba dari daerah dan masuk Tangsel masih fluktuatif. Belum semua warga punya inisiatif melaporkan kedatangan.
”Ada yang melapor dan ada yang tidak. Jarang ada warga pendatang yang berinisiatif melaporkan kedatangan, kecuali ketua RW turun langsung dan menegur,” kata Masdar.
Meski tahu warga pendatang belum sepenuhnya berinisiatif melaporkan kedatangan, Masdar tidak serta merta aktif turun ke lapangan untuk mengawasi kedatangan warga. Ia memilih mengoptimalkan peran ketua rukun warga (RT) dalam hal pengawasan warga pendatang. Pilihan itu didasarkan atas adanya ketentuan warga pendatang wajib melaporkan kedatangan kepada ketua RT di wilayahnya.
”Sejauh ini belum ada laporan pendatang tanpa SIKM ke saya. Entah karena para ketua RT belum melapor atau memang karena sedikit warga pendatang yang pulang kampung tahun ini,” ujarnya.
Walaupun ada warga pendatang yang masuk wilayah Tangsel tanpa SIKM, Masdar mengaku tidak bisa mengambil tindakan apa pun. Sebab, kata Masdar, secara prinsip ketua RW tidak bisa menolak kalau ada pendatang yang masuk wilayah.
Hal lainnya yang ia temukan, ada beberapa warga pendatang yang berinisiatif melaporkan kedatangannya, tetapi tidak langsung kepada ketua RT atau RW. Warga pendatang itu memilih melapor kepada pemilik kontrakan.
Permasalahannya, pemilik kontrakan tidak serta merta meneruskan laporan tersebut kepada ketua RT-RW. Masdar menyebut ada sekitar 30 persen pemilik kontrakan di wilayahnya yang merupakan orang luar Tangsel. Mereka, menurut dia, jarang berkomunikasi dengan ketua RT-RW.
Tidak hanya dari sisi kesadaran warga, karut-marut kebijakan SIKM Tangsel juga muncul dari rendahnya sosialisasi. Ketua RW 004 Kelurahan Jombang B Zakaria mengaku belum mengetahui sama sekali kebijakan SIKM tersebut. Padahal, kebijakan SIKM Tangsel telah diumumkan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany sejak 2 Juni 2020.
”Setahu saya belum ada sosialisasi soal SIKM. Saya baru tahu hari ini,” katanya.
Zakaria mengatakan, di RW 004 hingga saat ini belum ada warga yang memohon kepada dirinya untuk dibuatkan surat pengantar. Surat tersebut merupakan salah satu syarat bagi pemohon untuk mengurus SIKM Tangsel.
Tiadanya warga yang memohon untuk dibuatkan surat pengantar juga dirasa tidak beres oleh Zakaria. Sebab, hampir seluruh warganya pendatang. Ia merasa mustahil jika sama sekali tidak ada warga yang bepergian ke luar daerah.
”Berarti mereka pulang atau bepergian tanpa bikin SIKM. Sebab, tidak mungkin dari 1.000 keluarga sama sekali tidak ada yang bepergian ke luar Jabodetabek dan Banten,” ujar Zakaria.
Terus merosot
Pernyataan Zakaria tecermin dari data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Tangsel, per 19 Juni 2020 sore ada 38 permohonan izin pembuatan SIKM yang masuk. Jumlah itu terus mengalami penurunan dibandingkan pada pekan-pekan sebelumnya yang sempat mencapai ratusan pemohon.
Kepala Bidang Penanaman Modal DPMPTSP Kota Tangsel Ayep Jajat Sudrajat mengakui, jumlah pemohon SIKM Tangsel terus menurun. Kebanyakan pemohon SIKM merupakan warga yang hendak bepergian dengan pesawat di Bandara Soekarno-Hatta. Hal itu, menurut Ayep, karena SIKM diperlukan bagi warga yang hendak bepergian menggunakan pesawat.
”Rata-rata (pemohon SIKM) itu yang mau ke bandara saja (yang ngurus SIKM untuk keluar Tangsel) sedikit,” kata Ayep.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahardiansyah, berpendapat, kedisiplinan dan kesadaran warga pendatang untuk melapor bisa membuat kebijakan SIKM berjalan efektif sehingga bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun, agar kebijakan itu efektif, tidak mungkin sepenuhnya mengandalkan kesadaran warga. Ketua RW berperan memberi pengawasan lebih.
”Tapi, sayangnya di sini ketua RW-RT itu cenderung pasif karena sifatnya yang sosial dan hubungannya kekeluargaan. Harusnya mereka proaktif,” kata Trubus.
Agar ketua RW proaktif, menurut Trubus, harus ada intervensi kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Tangsel. Intervensi kebijakan itu bisa berupa penerbitan standar operasional prosedur dan mengenai pemberian anggaran kepada ketua RW.
Selain itu, Trubus melihat faktor kepemimpinan mesti digunakan untuk mendorong ketua RW agar proaktif mengawasi warga pendatang. ”Setidaknya wali kota turun dan mengumpulkan ketua RW untuk sosialisasi kebijakan. Keteladanan itu penting,” katanya.
Dikonfirmasi secara terpisah, Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Tangsel Chaerudin mengatakan, kebijakan SIKM Tangsel bertujuan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Sebab, warga pendatang berpotensi besar menjadi carrier atau pembawa virus.
Ia mengklaim sosialisasi mengenai kebijakan SIKM telah dilakukan secara terus-menerus oleh Gugus Tugas kepada para ketua RW. Terkait ada ketua RW yang mengaku belum tersosialisasikan, Chaerudin mengatakan bakal lebih gencar lagi melaksanakan sosialisasi.