Pemangkas Tak Cemas walau Konsumen Batuk Saat Cukur Rambut
Para pemangkas rambut kini tak lagi merasa cemas meski ”barbershop” atau tempat cukur rambut menjadi salah satu usaha yang berisiko jadi tempat penularan Covid-19. Tak semua pengunjung juga diharuskan memakai masker.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
Dian (27), pemangkas rambut di tempat cukur rambut West Legacy Barbershop, Tanjung Duren, Jakarta Barat, tidak lagi khawatir dengan risiko penularan Covid-19. Berbeda dengan awal pandemi, kini ia mengaku sudah terbiasa melayani pelanggan dari jarak dekat.
”Tidak khawatir. Ya, kita semua tidak pernah tahu ya. Yang penting kami tetap waspada saja,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (19/6/2020).
Dian bahkan kerap mendapatkan pelanggannya batuk-batuk atau bersin saat dipangkas rambutnya. Padahal, jarak antara dirinya dan pelanggan tersebut tidak lebih dari setengah meter. Akan tetapi, ia meresponsnya dengan biasa saja.
Dian sebenarnya merupakan pemangkas rambut di Crocodile Barbershop yang lokasinya berdekatan dengan West Legacy Barbershop. Akan tetapi, karena saat ini tempat kerjanya masih ditutup oleh pemiliknya, ia diperbantukan di West Legacy Barbershop.
”Kalau saya, kan, tetap butuh uang jadi ya bantu di sini dulu,” katanya.
West Legacy Barbershop terlihat menampilkan promosi menarik di depan pintu masuknya. Di sana, pengelola memasang spanduk bertuliskan ”Gratis Masker Kain Setiap Potong Rambut”.
”Iya, jadi kami bagikan masker untuk yang memotong rambut di sini,” kata Dian.
Setelah ditelusuri, terlihat ada satu pengunjung yang sedang memangkaskan rambutnya siang itu. Namun, ia tidak mengenakan masker. Hanya si pemangkas rambut saja yang memakai masker. Menurut Dian, tidak memakai masker menjadi hak pengunjung sepenuhnya.
”Kadang ada yang pakai, kadang tidak. Terserah pengunjungnya saja kalau itu. Tapi kami (pemangkas rambut) tetap pakai masker,” ujarnya.
Protokol kesehatan memang belum dijalankan secara ketat di sejumlah tempat cukur rambut. Di Japons Barbershop, Kemanggisan, Jakarta Barat, tidak terlihat ada hand sanitizer atau sarana cuci tangan di sana. Tanda pembatasan fisik juga tidak ditemukan.
Kadang ada yang pakai, kadang tidak. Terserah pengunjungnya saja kalau itu. Tapi kami (pemangkas rambut) tetap pakai masker.
Luas ruangan Japons Barbershop juga hanya 4 meter x 3 meter. Di sana terdapat satu kursi sofa dan dua set meja cukur. Mustahil bagi pengunjung untuk menjaga jarak di tempat tersebut.
Menurut Japon (30), pemangkas rambut di Japons Barbershop, pengunjung biasanya sadar dan menunggu di luar saat sedang antre. ”Ya, biasanya mereka sadar kalau tempatnya di dalam sempit. Makanya, mereka menunggu di luar,” katanya.
Selama pandemi, Japons Barbershop hanya tutup sekitar satu bulan saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Meski PSBB belum tuntas, para pemangkas sudah membuka kembali gerai mereka karena mengaku butuh pemasukan. Mereka rela kucing-kucingan dengan petugas satpol PP.
”Sering disamperin satpol PP. Diingatkan untuk tutup. Ya kita harus kucing-kucingan akhirnya. Itu saja pengunjung tetap sepi,” katanya.
Luas ruangan Japons Barbershop juga hanya 4 meter x 3 meter. Di sana terdapat satu kursi sofa dan dua set meja cukur. Mustahil bagi pengunjung untuk menjaga jarak di tempat tersebut.
Hal itu terpaksa dilakukan oleh Japon karena tuntutan ekonomi. Ia tetap harus memberi nafkah istri dan anaknya. Sementara tabungannya saat itu sudah habis. Menanggapi pengunjung yang batuk dan bersin saat sedang dipangkas rambutnya, ia memilih pasrah.
”Ya mau gimana lagi. Kita juga butuh uang. Saya salah satu orang yang percaya kalau kita mati karena Covid-19 itu takdir,” katanya.
Menurut Japon, saat ini pelanggan yang berkunjung ke tempatnya masih belum normal. Hanya ada 5-10 pengunjung yang datang setiap harinya. Sebelum pandemi, setidaknya ada 20-30 pengunjung yang datang setiap harinya.
”Biasanya omzet per hari bisa sampai Rp 1 juta. Kalau sekarang, ya mungkin Rp 200.000-Rp 300.000 per hari,” ujarnya.
Imam (25), pemangkas rambut di Urban Street Barbershop, Kemanggisan, Jakarta Barat, mengaku, pengunjung yang datang masih relatif sedikit. Per hari setidaknya hanya ada 5-10 orang. Adapun pada hari normal, pengunjung bisa mencapai 15-20 orang.
”Masih sepi sekarang. Mungkin karena efek tutorial potong rambut sendiri di rumah,” katanya.
Sama halnya dengan Dian dan Japon, Imam mengaku tidak khawatir memotong rambut pelanggannya. Mau tak mau, ia harus tetap bekerja untuk mencari uang. ”Kebetulan pekerjaan saya memaksa harus kontak dekat dengan pengunjung. Ya mau bagaimana lagi,” ujarnya.