Buron FBI Tertangkap di Jakarta akibat Prostitusi Anak
Dari pengungkapan polisi, warga negara Amerika Serikat yang berinisial RAM itu mengeksploitasi dua anak perempuan untuk kontak seksual. Namun, polisi masih mendalami terkait kemungkinan bahwa jumlah korban lebih banyak.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Personel Kepolisian Daerah Metro Jaya meringkus RAM, warga negara Amerika Serikat yang menjadi buruan Biro Investigasi Federal AS atau FBI, akibat penipuan investasi dengan kerugian nasabah total triliunan rupiah. Namun, bukan perburuan terkait kasus itu yang membuatnya tertangkap, melainkan karena RAM melakukan eksploitasi seksual terhadap sejumlah anak di bawah umur.
”Ada kemungkinan yang bersangkutan merupakan paedofil,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, dalam siaran pers daring pada Selasa (16/6/2020). Paedofil merujuk pada orang yang mempunyai kelainan seksual dengan menjadikan anak-anak sebagai obyek seksual.
RAM dibekuk di rumah yang ditinggalinya di Jalan Brawijaya VIII, Jakarta Selatan, Minggu (14/6/2020). Yusri mengatakan, awalnya polisi menerima laporan masyarakat bahwa di rumah itu kerap terlihat tamu perempuan keluar-masuk dengan ciri-ciri bertubuh mungil dan pendek sehingga diperkirakan masih di bawah umur. Penyidik Subdirektorat IV/Tindak Pidana Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pun mendalami informasi tersebut.
Tim yang dipimpin Ajun Komisaris Besar Dhany Aryanda dan Komisaris Rovan Richard Mahenu bergerak pada Minggu yang lalu, kemudian mendapati tiga perempuan muda keluar dari kediaman RAM. Tim mewawancarai mereka hingga mendapatkan pengakuan bahwa pelaku bersetubuh dengan ketiganya. Sebanyak dua orang masih di bawah umur, yaitu SS (15) dan LF (17), sedangkan satu orang lainnya, TR, sudah dewasa.
Polisi lantas menggeledah rumah itu dan mendapati RAM di sana. Barang bukti yang disita antara lain uang Rp 6,3 juta yang merupakan imbalan pelaku bagi dua anak dan satu perempuan dewasa itu, 2 laptop pelaku, 5 ponsel pelaku, serta uang tunai Rp 60 juta dan 20.000 dollar AS.
”Terdapat satu orang DPO (buron) berinisial A,” ujar Yusri.
A adalah perempuan warga negara Indonesia berusia sekitar 20 tahun, yang berperan sebagai mucikari, penghubung RAM dengan anak-anak yang dibujuk berhubungan dengan dia.
A adalah perempuan WNI masih buron. A disebut sebagai mucikari penghubung anak-anak untuk dibujuk agar berhubungan dengan RAM.
Modusnya, RAM meminta tolong A mencarikan perempuan di bawah umur. A kemudian mengenalkan SS kepada RAM. Tersangka membujuk SS agar mau bersetubuh dengannya, lalu juga meminta dia mengajak teman-temannya ikut berhubungan bersama. Jika SS memenuhi permintaannya, RAM menjanjikan bayaran Rp 2 juta per orang. Inilah yang membuat LF dan TR ikut serta.
Yusri mengatakan, para korban mengatakan, tersangka memvideo aktivitas hubungan tersebut. RAM meminta bantuan salah satu perempuan saat ia bersetubuh dengan dua perempuan lainnya.
Pelaku mengontrak rumah di Jalan Brawijaya selama tiga bulan terakhir, dan warga menginformasikan anak perempuan silih berganti datang ke sana selama itu. ”Yang didapati sekarang tiga korban, tetapi kami masih mendalami ada berapa korban sebenarnya,” ucapnya.
Ternyata, RAM merupakan residivis untuk kasus eksploitasi seksual anak. Di AS, ia sudah didakwa dua kali pada 2006 dan tahun 2008 dihukum dua tahun penjara oleh Pengadilan Distrik Negara Bagian Nevada karena pelecehan seksual pada anak berusia 14 tahun serta menyimpan material video dan gambar dengan obyek anak sebagai korban seksual.
Penipuan investasi
Setelah menginterogasi pelaku, polisi mengetahui bahwa RAM merupakan buronan Interpol berdasarkan Red Notice-Interpol control number: A-10017/11-2016, tanggal 04 November 2016, tentang informasi pencarian buronan Interpol AS. Yusri mengatakan, FBI memburunya karena RAM sudah menipu sejumlah investor dengan nilai total kerugian sekitar 722 juta dollar AS, atau lebih kurang Rp 10,8 triliun.
Modus penipuan RAM adalah menawarkan investasi saham dengan cara membuat, mengoperasikan, dan mempromosikan investasi dengan metode cryptocurrency skema ponzi.
Pelaku diketahui sudah kerap bolak-balik Indonesia sejak 2019. Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Roma Hutajulu menyebutkan, RAM pergi ke Indonesia dengan visa turis, diduga sebagai upaya pelariannya dari kejaran FBI. Pelaku menggunakan lebih dari satu paspor yang berlainan sehingga polisi masih mendalami terkait dokumen yang digunakannya.
Polda Metro Jaya masih menunggu permintaan ekstradisi dari Kedutaan Besar AS melalui atase hukum FBI, yang sudah berkoordinasi dengan polda. Sambil menunggu proses tersebut, polisi tetap akan memproses tindak pidana RAM sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. ”Dalam hal ini adalah persetubuhan anak di bawah umur,” ujar Roma.
Pelaku dijerat dengan Pasal 76 D juncto Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. RAM menghadapi ancaman hukuman penjara 5-15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Terkait dugaan pelaku merupakan paedofil, Reza Indragiri, pekerja Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Lentera Anak, mengatakan, sebutan itu tidak tepat disematkan kepada RAM. Anak-anak yang menjadi obyek paedofilia adalah mereka yang masih berusia pra-pubertas, sedangkan korban RAM berusia 15 tahun dan 17 tahun yang bisa saja berkehendak melakukan kontak seksual (consensual sex).
Meski demikian, itu bukan menjadi pemakluman atas perbuatan RAM. ”Kontak seksual anak adalah sesuatu yang salah dan siapa pun yang melakukan kontak seksual dengan anak harus dipidana,” ujar Reza.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah, menambahkan, seandainya anak-anak korban RAM memang bersedia berhubungan karena dibayar, mereka tetap berposisi sebagai korban. Keterlibatan mereka dalam dunia prostitusi berarti mereka tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya sebagai anak serta kehilangan fungsi sosialnya. Karena itu, mereka berada dalam situasi tidak mampu memutuskan.
Keterlibatan anak-anak dalam dunia prostitusi berarti mereka tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya sebagai anak serta kehilangan fungsi sosialnya. Karena itu, mereka berada dalam situasi tidak mampu memutuskan.
Apalagi, polisi mendapati adanya peran mucikari yang memungkinkan RAM bertransaksi seksual dengan dua anak di bawah umur. Ai merekomendasikan penambahan penggunaan pasal dalam UU No 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, selain UU Perlindungan Anak.
KPAI mencatat, kurun Januari-30 April, terdapat 27 kasus perdagangan dan eksploitasi anak se-Indonesia, yang di dalamnya termasuk eksploitasi seksual terhadap anak. ”Itu gunung es (jumlah kasus sebenarnya lebih banyak dari yang dilaporkan),” kata Ai.