Pusat Kuliner Kembali Ramai meski Pandemi Belum Usai
Sebagian warga tidak menerapkan protokol jaga jarak di tengah kepadatan pengunjung kedai dan pusat jajanan di Jakarta. Warga diharapkan untuk tidak melupakan protokol jaga jarak demi saling menjaga kesehatan.
Oleh
Aditya Diveranta/David Dhanang Aritonang
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah restoran dan pusat kuliner di Jakarta mulai penuh dengan kunjungan warga selama masa transisi pembatasan sosial berskala besar di Jakarta. Waktu akhir pekan pada Sabtu (13/6/2020) turut mendorong niat sebagian warga untuk bepergian ke luar rumah.
Pantauan Kompas sepanjang Sabtu, sejumlah pusat kuliner di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan mulai melayani pengunjung yang makan di tempat. Pusat kuliner Sabang di Jalan Haji Agus Salim, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, kini tampak lebih ramai didatangi pengunjung.
Arief (36), warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan, misalnya, singgah di kedai Saudagar Kopi Sabang bersama tiga temannya. Meski pelayan kedai memberi tahu agar pelanggan berjaga jarak, sebagian orang menghiraukan imbauan itu.
Arief bersama temannya pun duduk di kursi teras depan kedai yang sebenarnya tidak boleh digunakan. ”Kami pakai masker dan duduk berjarak meski satu meja kok,” ujarnya. Namun, jarak yang dimaksud Arief kurang dari 1 meter, tidak seperti yang dianjurkan dalam protokol kesehatan Covid-19 oleh pemerintah.
Begitu pula di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, sejumlah restoran dan kedai kopi tampak ramai pengunjung. Menjelang malam hari, Jalan Kemang Raya pun semakin padat oleh kendaraan pribadi dan warga yang ingin bermalam Minggu.
Roy (32), pengunjung kedai kopi di Kemang, mengatakan, dirinya jenuh karena berdiam di rumah hampir selama dua bulan terakhir. Saat tahu ada kedai kopi yang melayani minum di tempat, dia tidak ingin melewatkan kesempatan itu.
”Mumpung malam Minggu dan sudah ada tempat ngopi yang buka, saya sempatkan untuk bertemu dengan teman-teman,” ujar Roy. Kendati begitu, dia berupaya untuk tetap mengenakan masker meski sesekali dibuka saat menyeruput kopi atau bercanda dengan teman.
Kondisi kedai kopi yang Roy kunjungi sudah memberi jarak antarkursi serta menyediakan cairan pembersih tangan di depan kasir. Meski begitu, tidak ada pemeriksaan suhu bagi pengunjung di kedai kopi itu.
Selain Roy, ada Tika (28) yang lupa membawa masker saat bepergian ke luar rumah. ”Tadi baru teringat ketika sampai di kedai kopi. Sempat panik juga tadi karena lupa membawa masker, tetapi saya sudah telanjur sampai di sini,” ujarnya.
Di pusat kuliner Sabang, warga juga sibuk mengantre untuk Nasi Goreng Kebon Sirih Pak Haji Salim. Kendati kedai ini hanya melayani antar makanan, antrean warga di sini tidak menerapkan protokol jaga jarak fisik minimal 1 meter.
Kondisi antrean dan berbagai kerumunan ini dikhawatirkan ahli perkotaan Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang. Menurut dia, sebagian besar penularan Covid-19 di Jakarta terjadi setelah ramai kegiatan interaksi sosial. Pembukaan perkantoran, taman, dan ruang-ruang yang memungkinkan publik saling bertemu ini berisiko memperparah tingkat penularan pandemi.
”Sejujurnya, masa transisi ini perlu dihadapi dengan penuh kewaspadaan. Sayangnya, sebagian orang malah justru terkesan lengah dalam protokol jaga jarak,” kata Suryono.
Sebelumnya, psikolog sosial yang juga merupakan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Koentjoro, mengatakan, tingkat ketakutan masyarakat terhadap penularan Covid-19 tampak semakin turun pada masa transisi menuju normal baru. Dia memandang hal ini sebagai ironi karena jumlah kasus Covid-19 semakin meningkat, tetapi masyarakat sudah tidak bisa menahan diri berdiam di rumah.
”Fenomena ini bisa terlihat dari banyaknya masyarat yang mulai beraktivitas di luar rumah untuk bekerja, bahkan berkumpul dengan rekan-rekannya di tempat-tempat umum, seperti di restoran dan kedai kopi. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, seperti kebosanan dan tuntutan ekonomi,” katanya (Kompas, 12/6/2020).
Koentjoro mengingatkan, menurunnya rasa takut ini bisa berdampak terhadap minimnya kewaspadaan masyarakat dalam menjalani normal baru. Padahal, menurut dia, kunci utama dari normal baru adalah kedisiplinan dari masyarakat. ”Rasa takut itu sebenarnya diperlukan agar masyarakat bisa mawas diri terhadap ancaman penularan Covid-19. Justru yang bahaya ketika masyarakat sudah tidak takut lagi terhadap Covid-19 dan kita masih belum tahu kapan vaksin tersebut ditemukan,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dalam kunjungannya di Ancol, Jakarta Utara, menuturkan, siap untuk menutup operasional tempat yang terbukti sebagai penularan Covid-19. ”Semuanya ada, termasuk opsi penutupan sementara kembali. Kami punya tolok ukur dan ukurannya nanti kami yang tentukan,” kata Anies seperti dikutip Kompas.com.