Pengalaman wartawan ”Kompas”, Benediktus Krisna Yogatama, saat meliput demonstrasi menolak hasil Pemilu 2019 yang berujung rusuh. Terjebak di kerumunan massa dan merasakan pedihnya gas air mata.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Pewarta berita harian Kompas, Benediktus Krisna Yogatama, sedang bersiap melaporkan kondisi aksi massa melalui video pada 22 Mei 2019.
Beberapa hari terakhir, perhatian saya tertuju pada sejumlah wartawan yang mengalami tindak kekerasan, bahkan ditahan polisi saat sedang meliput kerusuhan yang merebak luas di sejumlah wilayah Amerika Serikat. Liputan konflik memiliki risiko yang tinggi apabila tidak waspada dan tidak cermat melihat situasi.
Mengutip The Globe and Mail, Senin (1/6/2020), Komite untuk Melindungi Jurnalis (CPJ) menyebutkan, 68 jurnalis ditangkap, diserang, atau dirusak peralatannya saat meliput kerusuhan di AS yang terpicu kematian pria kulit hitam, George Floyd.
Salah satu peristiwa yang paling mencuri perhatian adalah sempat ditahannya jurnalis CNN, Omar Jimenez, oleh polisi saat sedang meliput aksi massa di Minneapolis, Jumat (29/5/2020) pagi waktu setempat. Saat melaporkan siaran langsung, tiba-tiba tangannya diborgol polisi karena dianggap tidak kooperatif saat diminta berpindah tempat.
Peristiwa itu masih bisa disaksikan di saluran Youtube CNN dengan judul video ”Police Arrest CNN Correspondent Omar Jimenez and crew on Live Television”. Meski hanya ditahan satu jam, hal itu menghebohkan publik karena menghalangi kebebasan pers.
Kompas
Aksi massa yang terpicu dari meninggalnya pria kulit hitam, George Floyd, di Minneapolis, Amerika Serikat.
Berkaca dari rentetan peristiwa yang dialami rekan-rekan jurnalis di AS, saya memahami sekali posisi mereka saat sedang liputan konflik. Meski tidak sampai ditahan polisi, saya pun pernah beberapa kali meliput aksi massa yang berkonflik.
Momen tak terlupakan adalah saat saya merasakan secara langsung panasnya gas air mata. Tulisan ini tak bermaksud pamer pengalaman agar saya terlihat heroik. Justru terkena gas air mata itu adalah tanda saya tidak cukup cermat melihat kondisi agar bisa melindungi diri.
Jantung aksi massa
Saat itu tanggal 22 Mei 2019, saat di mana aksi masa menuntut hasil Pemilu 2019 di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sejak malam hari sebelumnya, aksi massa telah berlangsung di depan Gedung Bawaslu. Pada 22 Mei dini hari, bentrok terjadi di sekitar Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Redaktur saya membagi tugas per areal peliputan. Saya berinisiatif memilih areal Pasar Tanah Abang dan sekitarnya. Saya tertarik melihat kondisi warga di sana yang ibarat ilalang kering mudah tersulut api.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga melintas di Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang tutup, Rabu (22/5/2019). Aktivitas jual-beli di pasar tekstil itu lumpuh total.
Pagi-pagi saya sudah meluncur ke lokasi dengan mengendarai sepeda motor. Pukul enam pagi saya sampai di perempatan Jalan KH Mas Mansyur di dekat Stasiun Karet. Karena jalan itu diblokade, saya harus memarkirkan sepeda motor di tempat parkir yang saya nilai jauh dari potensi konflik dan aman karena dijaga, yakni di dekat Hotel Shangri-La.
Dari sana saya jalan kaki menyusuri Jalan KH Mas Mansyur hingga ke Stasiun Tanah Abang. Sepanjang jalan tidak ada kendaraan sama sekali. Yang ada hanya sekumpulan orang hilir mudik dengan sampah dan bekas bentrok menghambur di sepanjang jalan.
Pasar Tanah Abang yang biasanya ramai penuh sesak dan semrawut, hari itu sepi lengang. Tidak ada angkot dan bus yang berhenti sembarang dan tidak ada pula hilir mudik pedagang dan pembeli.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Aparat kepolisian berjaga saat aksi massa 22 Mei 2019.
Setibanya di depan Stasiun Tanah Abang, saya menjumpai massa yang tengah bentrok mengular hingga ke kolong jembatan Jatibaru. Mereka bentrok dengan aparat kepolisian yang berjaga di sekitar Dinas Pengawasan dan Penertiban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Akibat aksi itu, Stasiun Tanah Abang ditutup setelah sebelumnya masih beroperasi mengangkut penumpang kereta komuter. Saya pun mewawancarai penumpang dan petugas Stasiun Tanah Abang. Bahan informasi itu kemudian saya buat laporan beritanya untuk tayang di Kompas.id.
Setelah itu, saya makin merangsek ke jantung aksi massa. Massa mengamuk, mencopot pagar pembatas jalan, membakar ban. Mereka melempari polisi dengan batu. Reportase lapangan itu saya sampaikan dalam bentuk reportase video ini.
benediktus.krisna
-
Saya pun sempat nongkrong bareng dengan peserta aksi massa yang tengah beristirahat di pinggir pusaran massa. Saya mengobrol dengan mereka dan bertanya-tanya kepada mereka. Peserta yang saya ajak mengobrol ini adalah seorang pelajar SMK dari Bekasi, Jawa Barat, yang berusia 17 tahun.
Kenapa mereka mau bentrok dengan polisi? Jawab mereka karena tidak menyetujui hasil pemilu yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’aruf.
”Enggak capek, rusuh melulu dari semalam sampai siang begini?” kata saya ke anak itu.
”Kita mah baru datang ini. Yang semalam demo mah beda orangnya,” jawabnya.
Jadi, peserta aksi massa dini hari dengan siang hari adalah grup yang berbeda. Itulah mengapa seakan aksi massa ini tidak kunjung berakhir. Namun, bagi pemirsa di rumah ataupun pihak yang tidak terjun langsung ke lapangan, pasti mengira mereka ini adalah grup yang sama.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Perusuh merusak pagar pembatas jalan di Jalan Jatibaru, Jakarta Pusat, pada aksi massa 22 Mei 2019.
Gas air mata
Saat sedang mengobrol itu, entah karena apa, mendadak massa beringas. Mereka merangsek ke polisi yang berjaga. Saya yang tadinya berada agak di luar kerumunan mendadak menjadi terhuyung masuk di pusaran aksi massa karena ditarik oleh peserta aksi massa yang saya ajak mengobrol itu.
Untuk membubarkan massa, polisi pun melontarkan gas air mata. Daaar!
Gas air mata itu meletus di langit atas kepala saya dan massa. Seketika saya terbatuk-batuk hebat. Mata saya mengeluarkan air mata. Panas dan perih sekali rasanya. Padahal, saya sudah melindungi wajah dengan masker.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Perusuh membakar ban dalam aksi massa di Jalan Jatibaru, dekat Stasiun Tanah Abang, 22 Mei 2019.
Saya lari menyingkir jauh dari massa yang terurai. Saya menuju arah Hotel Milenium. Di sana saya bertemu seorang rekan fotografer dari media lain. Melihat saya berjalan terhuyung dan terbatuk-batuk, dia membantu saya dengan menyirami sekujur wajah saya dengan air mineral. Sebagian saya teguk untuk menghilangkan dahaga saya. Tak lupa saya berterima kasih atas bantuannya.
Dari peristiwa terkena gas air mata itu, saya tahu bahwa saya ceroboh. Saya tidak cermat mengamati situasi di lapangan sehingga terlambat mengevakuasi diri.
Peristiwa itu mengajarkan saya tiga hal yang harus diketahui sebelum liputan aksi massa berkonflik. Yang pertama, yang paling penting dan perlu dicamkan serta dilaksanakan adalah tiada berita seharga nyawa. Pesan ini disampaikan dari redaktur-redaktur saya. Lakukan penilaian di lapangan dan senantiasa komunikasi dan koordinasi dengan redaktur. Apabila sangat berbahaya, jangan berangkat.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Aparat keamanan bersiaga di dekat demonstran pada aksi massa di Jalan Jatibaru, dekat Stasiun Tanah Abang, 22 Mei 2019.
Yang kedua adalah memetakan kondisi di lapangan. Lihat di mana lokasi kedua kubu berada dan lihat di mana lokasi potensi bentrok. Selain itu, juga siapkan rute jalan keluar. Jangan sampai kita yang meliput malah terjebak di tengah bentrok dan menjadi korban kekerasan.
Pesan yang ketiga yang tak kalah penting adalah senantiasa jaga kesehatan. Bawa perbekalan, seperti roti, biskuit, air minum, dan obat cairan masuk angin. Saat liputan konflik, warung makan dan minimarket tutup. Jangan sampai kita kelaparan dan dehidrasi. Selain itu, saat liputan kita berkeringat dan rentan masuk angin. Menjaga kesehatan tak kalah penting ketimbang menjaga keselamatan.