Sopir angkutan kota dihadapkan pada dilema di masa transisi ke normal baru. Mereka tetap bekerja sekaligus mengurangi risiko penularan virus korona baru penyebab Covid-19 dengan membatasi jumlah penumpang.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Sebuah mobil angkutan biru bertanda M36 terlihat bersandar di salah satu sudut persimpangan jalan kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (9/6/2020). Sudah lewat 30 menit menunggu, mobil itu tak kunjung terisi penumpang. Barulah saat menjelang pukul 14.00, angkutan trayek Pasar Minggu-Jagakarsa tersebut mulai terisi penumpang.
Satu demi satu penumpang berdatangan hingga mobil terisi lima orang. Jatra (53), sopir angkutan itu, meminta penumpang untuk saling menjaga jarak demi mematuhi protokol pencegahan penularan Covid-19. ”Mas, Mbak, coba jangan terlalu dekat supaya enggak tertular korona,” ujarnya.
Kendati demikian, jarak antarpenumpang di dalam mobil sangat sulit dicegah. Saat mobil masih sepi sekalipun, sebagian penumpang duduk berhadapan dengan mengabaikan jaga jarak fisik, seperti yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif.
Pasal 17 pergub itu menyebutkan, kendaraan umum massal diisi paling banyak 50 persen dari kapasitas kendaraan. Selain itu, Pasal 23 juga menentukan setiap penumpang angkutan agar saling berjarak minimal 1 meter.
Jatra pun menghadapi dilema dengan kepadatan di angkutannya. Dia sudah berusaha membatasi penumpang, tetapi di sisi lain, dia juga terimpit oleh kekurangan biaya operasional yang ditanggung beberapa pekan terakhir.
Setoran uang kepada bos yang biasanya sekitar Rp 150.000 per hari tidak dapat tercukupi dalam satu hari. Bosnya juga memahami situasi sulit ini dan kerap memberi kelonggaran setoran menjadi Rp 150.000 per tiga hari atau kadang menjadi Rp 150.000 per minggu.
”Seperti Senin (8/6/2020) kemarin saja, saya bersyukur banget karena bisa narik dan dapat Rp 60.000. Sekalian saja saya lunasi sisa setoran saya minggu kemarin. Kalau sudah nyetor, sering kali enggak ada sisa uang sampai besok narik lagi,” ucap lelaki yang tinggal di Bogor, Jawa Barat, ini.
Apa yang dialami Jatra mewakili sebagian kecil pengalaman para sopir dan pengelola usaha angkutan kota (angkot) di masa pandemi Covid-19. Sudah sulit karena situasi pandemi, pengusaha angkutan harus berupaya lebih keras untuk mematuhi protokol jaga jarak di masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Janen (48), sopir angkot M36 lainnya, juga mengaku sangat sulit mengumpulkan uang setoran kepada bos. Dalam sepekan, jarang sekali ia mendapat uang hingga Rp 100.000. Alhasil, dia kerap mengangkut penumpang lebih dari lima orang di lokasi tertentu.
Di dekat lokasi pasar setiap pagi, dia selalu memanfaatkan kondisi penumpang yang butuh angkot untuk bepergian. Jam berangkat dan pulang kerja juga dia manfaatkan demi menambah penumpang.
Janen mengakui aturan jaga jarak hampir mustahil dilakukan dengan radius 1 meter. Dia kemudian hanya berpatokan pada intuisi, yang penting penumpang tidak saling bersentuhan. Dia juga berpikir penumpang bisa menjaga keselamatan masing-masing. ”Kalau enggak begitu, bagaimana bisa membayar uang setoran? Jujur, saya juga enggak enak kalau setiap hari bos memaklumi setoran di bawah target. Tetapi, kalau begitu terus, bos mungkin lama-lama bisa bangkrut,” jelas Janen.
Hal serupa dilakukan Rachmat Adin (45), sopir angkot M06 trayek Gandaria-Kampung Melayu. Senin, dia mengupayakan kendaraan terisi setidaknya enam penumpang demi menambah setoran dan untuk isi bensin.
Perlu diawasi
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, menilai kehadiran angkot dan moda angkutan lainnya perlu pengawasan pemerintah demi menjaga keamanan di masa pandemi. Sebab, tanpa pengawasan yang jelas, Ellen khawatir moda angkot justru menjadi lokasi penularan lain selain di zona merah. Kalau benar terjadi, transisi PSBB akan menjadi percuma.
Bentuk pengawasan terhadap angkot dan moda angkutan lainnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah dalam memberi keamanan penumpang. Angkot menjadi kebutuhan transportasi sebagian kalangan, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Di satu sisi, Organisasi Angkutan Darat (Organda) telah berusaha beradaptasi dengan kondisi yang terjadi kini. Ketua Dewan Pimpinan Perwakilan Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan telah mengimbau agar seluruh angkutan menerapkan protokol pencegahan untuk menangani Covid-19.
Meski begitu, Shafruhan tidak menjamin protokol tersebut benar-benar dipatuhi di masa krisis seperti ini. Dia tidak memungkiri sopir dan pengusaha angkutan membutuhkan cukup penumpang agar dapat menutup biaya operasional.
Dalam beberapa kejadian, menurut Shafruhan, ada semacam kesepakatan tidak langsung antara sopir dan penumpang. Para penumpang membutuhkan angkutan dan sopir butuh uang sehingga mereka bernegosiasi untuk mengesampingkan jaga jarak fisik. Karena itu, dia meminta petugas yang berwenang aktif memantau di lapangan.
Shafruhan menjabarkan, kondisi sejumlah angkutan umum saat ini semakin sulit. Dia khawatir sejumlah perusahaan angkutan tidak dapat beroperasi karena bangkrut selepas Juni 2020.
Dalam kondisi itu, sebagian moda angkutan dapat menerapkan partisi plastik yang membatasi interaksi fisik antarpenumpang. Akademisi dan praktisi klinis Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menilai partisi semacam itu bisa diterapkan. Namun, hal yang terpenting adalah kesadaran setiap penumpang menjaga diri agar tidak tertular Covid-19 di angkutan umum. ”Partisi atau bentuk pembatas apa pun bisa dicoba. Namun, yang terpenting adalah pembatasan kapasitas penumpang dan kesadaran untuk terus bermasker saat bepergian,” ucap Ari saat dihubungi Kompas.
Dalam kondisi tertentu, ada sebagian penumpang yang memaksakan muatan saat naik angkutan. Ellen mengakui hal semacam itu tidak bisa dihindari. Itu berarti masyarakat benar-benar membutuhkan angkutan yang mendukung mobilitas publik.
”Hal yang perlu ditekankan sekarang, bagaimana agar warga tidak tertular Covid-19. Berpegang dari situ, pemerintah perlu menjamin rasa aman warga saat naik angkutan umum, terutama jaminan kebersihan, serta ketersediaan angkutan sehingga warga tidak ngoyo berdempet-dempet di angkutan yang sudah padat,” jelas Ellen.