Menangguk Untung dari Masker dan Parsel
Bersiasat terbukti menyelamatkan warga dari pukulan pandemi Covid-19. Pelaku usaha kecil mengubah cara mereka berusaha dan mengikuti keinginan konsumen membuat dapur rumahnya tetap mengepul, pendapatannya tetap ada.
Beragam peluang usaha baru banyak bermunculan di tengah pandemi Covid-19. Peluang-peluang ini secara cepat ditangkap para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. Persaingan usaha pun tak terhindarkan. Walau demikian, keuntungan masih bisa didapat mereka yang giat berusaha.
Salah satu peluang usaha yang menjadi primadona saat ini adalah menjual masker kain. Barang yang menjadi alat standar pencegahan penyakit Covid-19 ini banyak diproduksi, tidak hanya oleh perusahaan besar, tetapi juga perusahaan kecil, seperti milik Muhammad Ipayani. Meskipun hanya diproduksi skala kecil, keuntungan dari membuat dan menjual masker sangat berarti bagi dirinya dan keluarga.
Pria 38 tahun itu sebelumnya mencari penghasilan dari membuat gamis pesanan pedagang besar di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pekerjaan yang telah dijalani selama lima tahun itu sayangnya harus berhenti karena penjualan terhalang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta dua bulan terakhir.
”Produksi gamis yang ada akhirnya menumpuk karena enggak terjual. Jasa saya pun enggak dibutuhkan lagi. Makanya, saya cari solusi supaya tetap ada pekerjaan dan penghasilan,” tuturnya saat ditemui Kompas di kawasan Pasar Pagi Asemka, Jakarta Barat, Kamis (28/5/2020).
Baca juga : Petani dan Nelayan Berkolaborasi dengan Barter Produk Pangan
Di lokasi tersebut, pria asal Banten itu menjual masker kain di atas lapak dadakan di trotoar jembatan sungai. Bersama ratusan pedagang lain, ia mencoba beradu nasib dan kreativitas untuk mendapatkan rezeki dari berdagang masker kain.
Ia mencoba memproduksi masker kain menggunakan bahan sisa konfeksi, seperti katun combed dan baby terry. Masker kain itu ia jual dalam kemasan lusinan seharga Rp 20.000 per lusin. Warna dan motif kain yang menarik menjadi daya tarik dari masker produksinya dibanding produksi pabrikan besar yang dijual pedagang kebanyakan.
Setelah hampir dua bulan, ia mampu menjual 300 lusin masker kain. Jumlah yang tidak pernah ditargetkan dan hanya diproduksi dari barang yang ada itu pun menghasilkan keuntungan yang sangat disyukuri ayah beranak dua tersebut. ”Keuntungannya mungkin enggak sampai setengah kalau saya produksi baju gamis di musim Lebaran. Tapi, saya sangat bersyukur, ini cukup untuk kebutuhan dasar seperti makan keluarga dan bayar sewa rumah,” ucapnya.
Baca juga : Menghidupkan Peluang Usaha Baru di Tengah Pandemi
Peluang usaha lain yang ramai diminati belakangan adalah bisnis parsel. Momen Ramadhan dan Lebaran membuat bingkisan hadiah yang ditata apik di dalam keranjang itu menjadi cara populer bagi masyarakat untuk bersilaturahmi dari kejauhan.
Pasangan Radhyta Mahenda Mukhsin dan Prahendita Putri Prasetyani pun memanfaatkan peluang dalam kesempitan. Pemilik badan usaha CV Custompedia Group yang berbasis di Semarang, Jawa Tengah, tersebut sebelumnya menjalani beragam usaha dan proyek, seperti mendesain suvenir dan pengadaan barang. Namun, semuanya runyam karena terdampak kebijakan pandemi.
Kepada Kompas, Radhyta mengatakan, pada akhirnya mereka mencoba memulai usaha menjual parsel secara daring. Pada awal April 2020, parsel dengan merek Parcelin Aja mulai dipromosikan melalui media sosial Instagram dan dijual di e-dagang, seperti Tokopedia dan Shopee.
Dengan pengalaman berwirausaha sekian tahun, bekal ilmu dari lingkaran sosial, serta keahlian pemasaran digital dari sang istri, Prahendita, mereka pun percaya diri memasarkan produk untuk kalangan kelas menengah atas. Pasar tersebut pun ditarget dengan kreativitas dan pelayanan premium.
Agar produk mereka semakin banyak dikenal orang, beragam cara beriklan secara digital dicoba, mulai dari memasang iklan berbayar di media sosial sampai menggunakan jasa influencer. Setidaknya ada dua artis yang di-endorse untuk membantu mempercepat promosi.
Secara kilat, pengikut di media sosial mereka naik sekitar 20 kali lipat hingga kini menembus sekitar 23.000 pengikut. Hal ini juga mendorong kenaikan pemesanan parsel yang diurus delapan tenaga kerja, belum termasuk vendor yang memproduksi makanan dan perlengkapan suvenir yang mereka pakai.
Dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, mereka bisa menjual lebih dari 1.700 parsel ke banyak wilayah di Indonesia. Mereka pun menangguk banyak keuntungan, yang bahkan masih bisa disisihkan untuk berdonasi dan memberi bonus hari raya kepada para pekerja.
”Kami enggak kepikiran bakal booming seperti ini, sampai kami butuh tambahan pegawai freelance dan supplier. Kami pun sampai harus kerja dari pagi sampai malam 12 jam. Jelang Lebaran, kami bahkan banyak menolak pesanan karena tidak sanggup lagi,” ucap pengusaha berusia 26 tahun tersebut.
Berkelanjutan
Dengan masih banyaknya permintaan, kegiatan usaha yang awalnya hanya fokus pada musim Lebaran itu direncanakan untuk dijalankan secara berkelanjutan. ”Usaha ini bakal kami teruskan dengan konsep yang berbeda-beda, mungkin untuk hadiah ulang tahun, akikah, acara kantor, atau untuk hadiah acara apa pun,” kata Radhyta.
Tidak hanya dalam hal produksi, mereka juga memandang perlunya meningkatkan pelayanan dan kepercayaan kepada masyarakat.
Apalagi, bisnis berbasis daring rentan penipuan dan plagiarisme. Risiko itu pun mereka alami saat usaha mereka baru berjalan sebulan. Pencurian konten dari orang yang sekadar berniat meniru sampai menipu pernah mereka hadapi.
Kendati demikian, Radhyta menilai, ketakutan menghadapi risiko usaha tidak boleh dijadikan halangan untuk beradaptasi di tengah pandemi. ”Saya kira, bisnis apa pun sekarang bisa dijalani, tetapi harus jeli dan teliti. Kalau situasinya menghindari pembeli datang langsung, bisa dengan delivery online, misalnya. Usaha harus menyesuaikan perkebangan zaman karena ilmu bisnis itu bukan hanya seperti 1 sampai 10, tapi terus berkembang,” tuturnya.