Mereka yang Masih Meragukan Langkah Pelonggaran PSBB
Sejumlah warga masih ragu tatanan normal baru bisa dijalani saat pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir. Jika tak ada antisipasi dari pemerintah, bukan tak mungkin jumlah kasus akan semakin tinggi.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pejalan kaki melintasi Jalan Suyakencana, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/5/2020). Kota ini mulai menerapkan masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah Kota Bogor menuju masa normal baru. Masa transisi PSBB ini akan berjalan hingga Kamis (4/6/2020).
Sejumlah warga masyarakat meragukan rencana pemerintah terkait pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk melangkah ke normal baru di tengah masih tingginya jumlah kasus Covid-19. Mereka berharap pemerintah fokus untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tidak memandang pandemi Covid-19 dari sisi ekonomi semata.
Wacana pelonggaran PSBB tak lepas dari tekanan ekonomi yang dihadapi hampir semua sektor. Namun, langkah ini dinilai Safitri Rika (38), warga Tanjung Duren Timur, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, sebagai keputusasaan dan jalan pintas pemerintah yang tidak mampu lagi menanggani pandemi Covid-19. Oleh karena itu, semua diserahkan kepada warga untuk menghadapi sendiri pandemi Covid-19.
”Apakah ada jaminan nanti tidak ada ledakan kasus? Apakah situasi sudah aman? Mengurus bansos saja tidak becus, banyak data tak sesuai. Bagaimana dengan rapid test dan swab? Apakah semuanya sudah benar dijalankan pemerintah? Kalau belum, jangan bikin wacana pelonggaran dan minta kami menjalankan normal baru. Saya tidak bisa bayangkan hidup normal baru di tengah pandemi seperti apa,” kata ibu dua anak ini saat ditemui tak jauh dari Pos RW 001 Tanjung Duren Timur, Kamis (28/5/2020).
Rika juga menyinggung protokol kesehatan, seperti jaga jarak fisik dan penggunaan masker, selama PSBB yang dinilai tak dijalankan secara ketat hingga kurangnya pengawasan dan sanksi bagi pelanggar PSBB.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana salah satu toko perhiasan di Plaza Bogor, Kota Bogor, Kamis (28/5/2020), yang tengah menjalani masa transisi PSBB menuju normal baru.
”Protokol kesehatan saja banyak yang tidak menjalankan selama PSBB. Bagaimana kita mau berdamai atau menjalankan kehidupan normal baru? Yang ada bertambah lagi orang yang kena korona. Selain itu, yang saya khawatir, kalau sekolah dibuka. Itu bagaiamana mengaturnya? Bagaimana jaga jaraknya? Makanya, saya tak setuju ada pelonggaran. Anak saya saja belum setengah jam pakai masker enggak betah. Ini tentu riskan buat anak-anak,” kata Rika.
Warga lain, Yasbi Maulana (40) dan Ahmad Dandi (43), warga Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, juga tak sepenuhnya setuju dengan wacana pelonggaran PSBB. Mereka sadar bahwa pandemi Covid-19 memukul berbagai sektor sehingga menggoyangkan perekonomian.
Namun, kata Yasbi, permasalahan ekonomi tak sebanding jika melihat angka kematian yang tinggi akibat virus korona baru penyebab Covid-19. Ia pun semakin khawatir angka tersebut akan semakin tinggi jika PSBB dilonggarkan.
Sementara itu, Dandi mengatakan, jangan sampai permasalahan ekonomi mengaburkan fakta-fakta jumlah kasus positif dan jumlah kematian. Dampak Covid-19 tidak bisa diukur dari ekonomi. Ada dampak sosial dan kesehatan yang juga penting diperhatikan.
”Saya tak yakin protokol kesehatan bisa dijalankan apabila PSBB dilonggarkan. Saat ini saja masih banyak kerumunan dan protokol kesehatan tak diindahkan. Jangan dulu dilonggarkan, kita masih abai dengan protokol kesehatan. Kedisiplinan masih menjadi perkara kita,” kata Dandi.
Donisius Tan (34), warga Bekasi, juga tak setuju dengan pelonggaran PSBB, terutama di Kota Bekasi, meski jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) hingga angka kematian menunjukan tren penurunan.
Dengan pelonggaran PSBB, kata Doni, warung makan, perkantoran, dan pabrik akan dibuka sehingga menimbulkan keramaian. Selain itu, angkutan umum juga akan kembali beroperasi penuh. Hal tersebut jika tak diantisipasi pemerintah justru akan membahayakan warga.
”Saya dari awal heran dengan ketidaktegasan pemerintah, sekarang justru PSBB mau dilonggarkan. Saya tidak setuju, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Kondisi normal baru itu jika kita sudah taat aturan, sementara banyak yang tidak taat, terutama protokol kesehatan,” tuturnya saat dihubungi.
Ia melanjutkan, jika pemerintah tetap menjalankan aturan pelonggaran PSBB, harus ada protokol tegas yang bisa mengatur kedisiplinan semua lapisan masyarakat sehingga tidak terjadi ledakan kasus. Namun, Doni ragu pemerintah bisa melakukan itu.
”Jika terjadi ledakan kasus baru, pemerintah harus bertanggung jawab. Pemerintah jangan lepas tangan. Jangan biarkan warga menghadapi pandemi Covid-19 sendiri,” kata Doni.
Enam syarat WHO
Seperti dikutip dari Kompas.id, Kamis (28/5/2020), pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, berpendapat, tidak masalah jika pemerintah mempersiapkan diri menyambut tatanan normal baru. Namun, ia meminta pemerintah pusat dan daerah memenuhi syarat dulu sebelum menerapkan kebijakan normal baru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan enam syarat sebelum pemerintah menerapkan normal baru. Syarat tersebut antara lain memastikan penularan penyakit terkendali. Selanjutnya, sistem kesehatan bisa mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan menangani tiap kasus serta melacak tiap kontak.
Selain itu, harus ada jaminan langkah pencegahan di lingkungan kerja, seperti menjaga jarak, cuci tangan, dan etika saat batuk; mencegah kasus impor Covid-19; serta memastikan warga memiliki kesadaran dan berpartisipasi dalam transisi ini.
Harus ada jaminan langkah pencegahan di lingkungan kerja, seperti menjaga jarak, cuci tangan, dan etika saat batuk; mencegah kasus impor Covid-19; serta memastikan warga memiliki kesadaran dan berpartisipasi dalam transisi ini.
”Kalau pemda menerapkan normal baru, sementara fasilitas kesehatan belum siap, harus bersiap menanggung peningkatan kasus,” kata Pandu.