Perantau Menyiasati Momen Lebaran yang Hilang
Bagi perantau yang menahan tidak mudik karena pandemi Covid-19, Lebaran kali ini terasa berbeda. Tidak sekadar menahan kerinduan pada sanak saudara, tetapi mereka juga harus menjaga diri agar tidak terpapar virus korona.
Larangan mudik menyisakan momen Lebaran yang hilang bagi perantau di Jabodetabek. Namun, alih-alih mencoba melanggar peraturan, sejumlah perantau memilih menyiasati kerinduan dengan saling menopang satu sama lain.
Selama sembilan tahun merantau, untuk pertama kalinya Lebaran tahun ini menjadi yang terberat bagi Joko Arisyanto (28). Karyawan sebuah kantor notaris di Karawang, Jawa Barat, tersebut harus menahan hasrat bertemu dengan sanak keluarga di kampung halaman di Desa Musuk, Boyolali, Jawa Tengah. ”Seperti ada yang kurang di Lebaran kali ini. Tapi, karena situasi belum memungkinkan, mau tidak mau, saya harus bertahan di Karawang,” kata Aris yang dihubungi pada Jumat (22/5/2020).
Untuk mencegah penyebaran SARS-CoV-2, pemerintah pusat secara resmi melarang masyarakat mudik. Kebijakan itu menjadi kenyataan pahit bagi Aris yang telah menanti momentum Lebaran untuk menumpahkan kerinduan kepada keluarga.
Kendati demikian, Aris dapat memahami apa tujuan pemerintah tersebut. Ia menyadari, keselamatan dan kesehatan orangtua adalah yang utama. Aris tidak bisa menjamin dirinya tidak membawa virus. Apabila pulang kampung, akan tetap ada potensi penularan virus. Karena itu, Aris juga mengajak rekan-rekannya yang tergabung dalam Komunitas Perantau Boyolali (Koperboy) untuk menahan diri dan menunda mudik hingga situasi benar-benar terkendali. Aris saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Koperboy.
Baca juga : Umat Islam Diimbau Shalat Idul Fitri di Rumah
Jumlah anggota yang tergabung dalam Koperboy di Jabodetabek sekitar 1.500 orang. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai karyawan pabrik dan sebagian lagi di sektor informal.
Menurut Aris, beberapa rekannya kecewa karena keputusan pemerintah melarang mudik. Kekecewaan mereka itu setelah melihat ketidaktegasan pemerintah soal pembatasan sosial.
Ia mencontohkan perihal keputusan pemerintah yang membuka kembali transportasi publik seperti pesawat sejak 7 Mei 2020. Menurut mereka, pengorbanan untuk tidak mudik seolah tercederai dengan kebijakan tersebut. Selain itu, dia menyayangkan masih ada sejumlah warga yang nekat mudik dan lolos dari pemeriksaan.
”Anggota banyak yang ngeluh karena situasi sekarang mereka rasakan kurang adil. Katanya enggak boleh mudik, tapi banyak yang lolos. Kami merasa dibohongi. Tapi, ke anggota, saya tetap minta sebisa mungkin jangan mudik dulu,” tuturnya.
Hal serupa dilakukan Ikatan Anak Rantau Gunungkidul (Ikaragil) Koordinator Wilayah Tangerang. Amy Suparmi (40), pembina Ikaragil Wilayah Tangerang, mengatakan, banyak anggotanya yang terpaksa tidak mudik karena mengikuti aturan pemerintah pusat.
Baca juga : Idul Fitri Tanpa Ritual Perayaan
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul secara tegas melarang warganya yang tengah merantau untuk mudik. Warga yang nekat dan terpaksa mudik wajib menjalani karantina selama 14 hari. ”Kami setuju dengan aturan pemerintah,” kata Amy.
Pengalaman Lebaran berbeda pun turut dirasakan Bella Saraswati T (24). Perantau asal Semarang yang bekerja di Karawang, Jawa Barat, itu memilih tak mudik ke rumah karena khawatir dengan keselamatan keluarganya. Terlebih, tak ada jaminan jika dirinya benar-benar tak membawa potensi Covid-19 dalam perjalanan mudik.
Bella paham betul, dalam situasi sekarang, tak semestinya Lebaran harus dirayakan dengan bertatap muka. Saling menjaga satu sama lain adalah kunci memutus penyebaran Covid-19. Terkadang sang ibu memintanya untuk pulang, hal itu dia tolak tegas. Lebaran nanti mereka akan bertemu dan melepas rindu secara virtual.
Baca juga : MUI Terbitkan Panduan Khotbah Idul Fitri dari Rumah
Menyiasati kerinduan
Bella bersama Choirun Nisriinaa (24), teman satu kantornya, bakal merayakan Lebaran bersama. Choirun juga tidak mudik ke daerah asalnya di Pekalongan, Jawa Tengah. Keduanya pun berbagi sunyi dan kerinduan terhadap keluarga dengan cara staycation di hotel. Menahan diri untuk tidak mudik adalah pilihan yang mereka ambil agar keluarga di rumah tetap aman.
Mereka sudah memesan dua kamar dengan durasi 3 hari 2 malam untuk merayakan Lebaran nanti. Memang tak ada masakan khas Lebaran layaknya di rumah, tapi kerinduan pada opor atau ketupat setidaknya bisa terobati di hotel.
Cara lain dilakukan para perantau yang tergabung dalam Koperboy. Meski tidak bisa mudik, mereka memilih menyambut Lebaran dengan berbagi. Menurut Aris, ada beberapa anggota Koperboy yang kehilangan pekerjaan karena terdampak Covid-19.
Anggota Koperboy yang masih bekerja dan berpenghasilan tergerak untuk membantu. ”Kami ada galang dana. Kemarin sudah didistribusikan. Dana itu kami salurkan kepada teman-teman yang bekerja di sektor informal dan kehilangan pekerjaan,” ujar Aris.
Adapun perantau asal Boyolali lainnya, Rochmadi (25), juga memilih untuk tidak mudik tahun ini. Rochmadi sudah tiga tahun merantau di Kota Tangerang. Karena tidak bisa mudik, ia berencana menghabiskan Lebaran dengan bersilaturahmi bersama keluarga besarnya melalui panggilan video.
Sebagai gantinya, jika tidak ada halangan, saat Lebaran, Rochmadi berniat untuk berkunjung ke rumah sejumlah rekannya yang juga tergabung dalam Koperboy di wilayah Kota Tangerang. Hal itu ia lakukan agar kerinduan terhadap orang-orang di kampung halaman terobati.
Apa yang dilakukan para perantau tersebut memperlihatkan bahwa Lebaran dapat dirayakan dengan berbagai cara. Kendati tidak bisa merayakan di kampung halaman, mereka sudah cukup puas melewatkan Lebaran dengan berbagi bersama.