Berlebaran Bersama Tetangga Kampung, Pengikis Sepi di Perantauan
Tidak ada mudik tahun ini. Lebaran bagi para perantau pun diisi dengan kegiatan seadanya, termasuk menghabiskan hari raya di rumah sesama perantau yang juga tetangga di kampung halaman.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Ikhwani Sophia (26) sedang berkemas. Jumat (22/5/2020), sore ini, ia akan menginap di rumah orang sekampungnya yang berada di Srengseng, Jakarta Barat. Ia bermalam di sana hingga Lebaran selesai. Bersenda gurau dengan orang sekampung untuk mengikis sepi di perantauan.
Pandemi Covid-19 mengubah ritual tahunan bangsa Indonesia, yakni pulang kampung. Pulang ke kampung halaman dilarang sementara waktu untuk memutus rantai penularan.
Menjejakkan kaki di perantauan sejak 2017, ini pertama kali Sophia tak pulang kampung. Pacarnya sudah terlebih dahulu berlabuh di kampung halaman beberapa hari sebelum Ramadhan lantaran terkena pemutusan hubungan kerja. Maka, berkumpul dengan orang sekampung yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri menjadi satu-satunya pilihan.
”Biar tidak lengang dan sendirian di indekos. Bercanda tawa dengan mereka agar orang di kampung juga tak merisaukan keadaanku di sini,” ujar karyawan di salah satu bank swasta di Jakarta ini ketika dihubungi Jumat (22/5/2020).
Pada hari Lebaran, mereka hanya membuat lontong. Tak ada ritual membuat kue sebagaimana di kampung halaman. Membeli baju baru pun tiada untuk tahun ini. ”Tidak ada baju hari raya tahun ini karena juga tidak akan terpakai,” kata perempuan asal Solok, Sumatera Barat, ini.
Sembari menunggu takbir Lebaran berkumandang, Sophia berharap agar pandemi Covid-19 lekas berlalu. Sang pacar pun diharap kembali ke Jawa untuk mencari kerja dan kemudian melamarnya.
Pada hari Lebaran, mereka hanya membuat lontong. Tak ada ritual membuat kue sebagaimana di kampung halaman. Membeli baju baru pun tiada untuk tahun ini.
Rendang dari kampung
Perantau Minang lainnya, Gusrianda (27), sedang meragu. Ia berencana untuk ke Cipulir, Jakarta Selatan, berlebaran di rumah bako (keluarga dari ayah). Akan tetapi, masa berlaku surat izin mengemudi miliknya sudah mati. Dia juga ragu menaiki angkutan umum lantaran khawatir terpapar virus korona baru.
Kemarin datang kabar dari kampung. Ibunya akan mengirimkan rendang dan kue. Ia bilang agar ibunya tak perlu repot-repot. ”Aku bilang ke amak, ’Si Mira (keponakan dari ayahnya) sudah pasti akan bikin rendang juga. Teman-temanku di kampus juga bakal bawa kue Lebaran’. Tetapi, tak tahulah apakah masih tetap dikirim atau bagaimana,” kata mahasiswa pascasarjana di salah satu universitas swasta di Jakarta ini.
Sebagai mahasiswa di perantauan, Rian cukup terbantu oleh teman-temannya di kampus. Ia, yang biasanya membayar kos tiap bulan, sejak dua minggu lalu menghuni rumah gratis di Buaran, Jakarta Timur.
Rumah itu milik teman sekampusnya. Temannya berjualan Al Quran secara daring dan rumah itu menjadi gudang. ”Kalau siang, ada karyawan yang membungkus Quran untuk dikirim, tetapi kalau malam aku sendiri di sini,” ujarnya.
Sebagai upaya untuk membalas budi, Rian membantu temannya itu dalam penyusunan tesis. ”Tidak membantu penuh, sekadar membantu saja kalau dia sedang sibuk mengurus dagangan,” katanya lagi.
Rian memahami bahwa anjuran pemerintah sudah semestinya diikuti. Dia pun punya teman-teman dan keluarga yang selalu bersedia membukakan pintu jika ingin berlebaran bersama. Namun, bayang-bayang akan kampung halaman tetap saja tak bisa hilang sepenuhnya dari pikiran.
Cendekiawan Komaruddin Hidayat menjelaskan, ada beberapa alasan yang mendorong orang untuk pulang ke kampung halaman. Bagi yang masih punya orangtua, kerinduan untuk bertemu mereka menjadi dorongan utama. Bernostalgia, menapaktilasi masa-masa remaja di desa seperti rekreasi emosional menembus waktu ke masa silam yang terasa begitu indah nan melankolis setelah berlalu.
Menurut dia, mudik merupakan sebuah peristiwa budaya. Menjelang Lebaran, konvoi kendaraan memenuhi jalan raya bagaikan semut, masing-masing punya tujuan berbeda, tetapi pada umumnya menuju kampung halaman. Setelah berlebaran di kampung, konvoi kendaraan kembali memadati jalan menuju kota-kota besar untuk kembali bekerja.
”Sebuah peristiwa budaya yang dilakukan rakyat secara spontan, masif, bukan ciptaan atau rekayasa,” tulis Komaruddin dalam Indahnya Mudik Lebaran (2015).