Para penderma menawarkan solusi melalui aksi solidaritas mereka. Potensi gerakan mereka bisa lebih efektif menangani masalah selama ada sinergi sesama pegiat filantropi.
Oleh
Aditya Diveranta / Stefanus Ato / Insan Alfajri / I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan filantropi yang tumbuh subur semestinya bisa menjadi solusi atas persoalan yang melanda negeri ini. Inisiatif warga di sektor ini untuk sementara masih banyak yang bergerak sendiri-sendiri. Pada kondisi ini, tujuan para penderma berpotensi tidak tepat sasaran.
Gerakan ini semakin dibutuhkan ketika pandemi Covid-19 melumpuhkan perekonomian warga. Lembaga zakat, misalnya, menguatkan distribusi bantuan sosial selama ini. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan warga rentan miskin dan belum terjamah bantuan.
Direktur Utama Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Arifin Purwakananta tidak memungkiri distribusi bantuan di masyarakat belum merata. ”Saat ini, bermacam kegiatan filantropi tumbuh, baik yang berbadan hukum maupun tidak. Semuanya tergerak karena solidaritas di kalangan masyarakat,” kata Arifin, Senin (18/5/2020).
Arifin menjelaskan, zakat sebagai salah satu kluster filantropi disalurkan kepada warga terdampak pandemi. Artinya, pendistribusian zakat bisa mengisi celah kekosongan bantuan sosial dari pemerintah. Namun, penyaluran zakat dihadapkan pada tantangan keterbatasan data penerima.
Baznas mencatat ada fenomena kemunculan kelompok miskin baru yang belum tercatat pendataan resmi. Dia menyebutkan, data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) serta Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak mencatat kelompok miskin baru. Bisa jadi, kemunculan kelompok itu berasal dari warga yang terdampak Covid-19 atau memang kalangan miskin yang belum terdata tahun sebelumnya.
Saat banyak warga yang membutuhkan bantuan, data sasaran program sangat dibutuhkan. Persoalannya, data terkait kelompok miskin baru belum tergambar jelas. Hal inilah yang menyulitkan pegiat filantropi mendistribusikan bantuan.
Dampaknya, distribusi bantuan dari penderma berpotensi tidak merata. ”Kami tidak tahu apakah kelompok yang kami beri bantuan itu sudah menerima bantuan dari penderma lain. Kami meluruskan niat saja, insya Allah tepat sasaran,” kata Ketua Yayasan Jajan Pahala Bima Rahman.
Sebagian lembaga filantropi saat ini bergerak dengan keterbatasan informasi. Situasi pandemi saat ini adalah hal yang sama sekali baru dan semua serba-berimprovisasi. ”Ini sudah hampir dua bulan lebih, beruntungnya donasi dari masyarakat dan berbagai pihak masih terus mengalir,” ujar Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Imam Rulyawan.
Walakin, sebagian lembaga terus mendistribusikan bantuan seperti yang dilakukan Baznas dan Dompet Dhuafa. Hingga Minggu (17/5/2020), Dompet Dhuafa telah membagikan 33.776 paket sembako kepada keluarga miskin. Sementara itu, Baznas hingga kini telah membagikan bantuan sosial kepada 232.000 keluarga miskin baru yang rentan terdampak Covid-19.
Luput dari bantuan
Meski filantropi di Indonesia tumbuh subur saat pandemi, tidak berarti gerakan ini menjangkau ke semua warga yang membutuhkan. Sebagian warga masih belum menerima bantuan meski mereka layak menerimanya.
Di Kota Bekasi, Jawa Barat, yang terdampak pandemi Covid-19 belum mendapat bantuan sosial dari pemerintah dan lembaga nonpemerintah, salah satunya Sucipto (29), warga Pondok Gede Permai, Jatiasih, Kota Bekasi. Meski sudah mendaftarkan ke RT dan RW sebagai warga terdampak pandemi Covid-19, dia belum menerima bantuan pihak mana pun. ”Ingin juga merasakan bantuan itu seperti apa,” kata tukang parkir di kawasan Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, itu.
Hal serupa dialami Abdul Hanif (35), warga Kelurahan Rawa Mekar Jaya, Tangerang Selatan, Banten. Pengumpul barang bekas kini belum terdata sebagai penerima bantuan oleh pengurus lingkungan setempat. Kini dia bertahan hidup dengan pendapatan maksimal Rp 50.000 per hari.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, kembali mengingatkan pentingnya koordinasi pegiat gerakan filantropi. Gagasan ini menempatkan pemerintah sebagai pemberi kewenangan komunitas masyarakat sipil ikut melakukan pemetaan sosial.
Adapun sasaran utama dari jalur ini adalah mewujudkan tata kelola pemerintah yang partisipatif, dalam konteks ini, tata kelola bantuan sosial. Selama ini, tata kelola pemerintah cenderung berorientasi ke perangkat birokratis.
Gagasan Imam sejalan dengan peneliti Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta dalam buku Filantropi Islam dan Keadilan Sosial (Irfan Abubakar dan kawan-kawan, 2006). Gerakan filantropi berupaya memberikan kontribusi bagi terwujudnya kemaslahatan umum, bukan sekadar menjadi penyangga kegiatan-kegiatan sosial. Gerakan ini berpijak pada keadilan sosial, pengakuan atas perbedaan, serta partisipasi kelompok masyarakat dari kalangan terpinggirkan. (SHR)