Dampak Aturan Mudik Tak Jelas, Serba Salah PO Bus Saat Pandemi
Saat pemerintah sudah melarang mudik, malah keluar SE Dirjenhubdar yang membolehkan perjalanan dengan syarat tertentu. Kebijakan baru dinilai tidak tegas dan malah membuat pengusaha transportasi publik serba salah.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
Sepekan sebelum Idul Fitri 2020, terminal-terminal bus antarkota antarprovinsi (AKAP) di DKI Jakarta tetap beroperasi meski tak banyak penumpang atau bus yang stand by. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, pun dinilai tidak tegas dengan mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Perhubungan Darat No HK.201/1/2/DRJD/2020 tentang Pengaturan penyelenggaraan transportasi darat selama masa dilarang mudik Idul Fitri 1441 Hijriah dalam rangka pencegahan penyebaran corona virus disease 2019.
Shafruhan Sinungan, Ketua DPD Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta, Senin (18/5/2020), menjelaskan, adanya aturan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan itu memang membuat serba salah. Di satu sisi, pengusaha angkutan, khususnya bus, sudah mulai kehabisan cash flow karena sudah tidak beroperasi selama dua bulan, tetapi di sisi lain masih diminta beroperasi terbatas.
”Padahal, dengan operasi terbatas sesuai SE itu, penumpang tidak ada. Kalaupun ada sedikit saja. Artinya, kami sudah rugi, jadi tambah lagi kerugiannya karena mesti ada modal kerja yang dikeluarkan karena ada edaran tentang operasi terbatas itu,” ucap Sinungan.
Padahal, dengan terbitnya Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi selama masa mudik, yang di dalamnya mengatur larangan bagi warga dari zona merah Covid-19 untuk meninggalkan kawasan, itu sebetulnya sudah tegas. Organda DKI Jakarta menilai aturan itu sudah tepat dalam rangka menghentikan persebaran virus korona.
”Namun, kemudian malah terbit SE Dirjenhubdar itu. Ini menunjukkan pemerintah itu mencla-mencle,” kata Sinungan.
Padahal, dengan operasi terbatas sesuai SE itu, penumpang tidak ada. Kalaupun ada, sedikit saja. Artinya, kami sudah rugi jadi tambah lagi kerugiannya karena mesti ada modal kerja yang dikeluarkan karena ada edaran tentang operasi terbatas itu.
Di terminal, lanjut Sinungan, bus-bus yang mau stand by menunggu penumpang tidak banyak. Penumpang juga tidak ada. Kalaupun bisa membawa penumpang, balik kembali ke Jakarta tidak membawa penumpang.
”Ini membuat repot para pengusaha transpor,” ujar Sinungan.
Situasi serba salah akhirnya melanda setiap PO yang memiliki layanan AKAP.
Winarso, Manajer Area Barat PT Rosalia Indah Transport, yang dihubungi, menjelaskan, dengan adanya surat edaran tersebut, artinya operator bus diperbolehkan melayani, tetapi dengan syarat-syarat ketat. Yang boleh menggunakan jasa layanan angkutan darat ini adalah pegawai BUMN, aparatur sipil negara (ASN) yang bepergian dengan surat tugas, dan karyawan dari perusahaan yang juga menunjukkan surat tugas. Kalau untuk perseorangan, harus membuat surat pernyataan dari RT/RW atau desa. Lalu, juga ada perseorangan yang sudah tidak bekerja lagi di Jakarta dan tidak punya tempat tinggal serta mau pulang.
”Saya tetap minta mereka meminta surat keterangan sehat. Kalau mereka tidak mengantongi surat keterangan sehat, kami tidak melayani,” jelas Winarso.
Untuk jumlah penumpang pun, saat ini sedikit. Dengan kapasitas bus yang mencapai 38 orang, dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), jumlah penumpang yang bisa diangkut hanya separuhnya, 19 orang.
”Kalau dari arah barat, masih ada penumpang yang diantarkan. Kalau dari arah timur, ini yang sulit,” jelas Winarso.
Menurut Winarso, dari segi hitung-hitungan bisnis memang tidak ketemu. Akhirnya, sekarang ini Rosalia Indah memberangkatkan satu bus setiap hari
dengan jumlah penumpang sesuai dengan aturan PSBB.
Dari segi hitung-hitungan bisnis memang tidak ketemu. Akhirnya, sekarang ini Rosalia Indah memberangkatkan satu bus setiap haridengan jumlah penumpang sesuai dengan aturan PSBB.
Utut Saptio Wibowo, Kepala Bagian Operasional Bus Agra Mas juga menyampaikan hal serupa. Sejak Permenhub No 25/2020 terbit, sebetulnya penumpang sudah tidak ada. Lalu, dengan adanya SE Dirjenhubdar tersebut, jumlah penumpang semakin menyusut.
”Kami juga ingin mendapatkan pemasukan bagi karyawan kami meski ada syarat-syarat ketat dari Dirjenhubdar. Meski di sisi lain, jumlah penumpang yang diangkut hanya dua atau tiga,” jelas Utut.
Catatan dari Terminal Bus Pulo Gebang menyebutkan, jumlah penumpang yang berangkat dari terminal antarkota tersebut semakin menurun.
Kepala Staf Pelaksana Operasional Terminal Pulo Gebang Afif Muhroji, secara terpisah, menjelaskan, untuk keberangkatan penumpang yang tercatat dari 9 Mei hingga 17 Mei 2020 sebanyak 179 orang dengan 26 bus. Adapun penumpang datang dari 9 Mei sampai dengan 17 Mei 2020 sebanyak 63 orang dengan 20 bus. Adapun jumlah penumpang yang ditolak dan tidak dilayani ada 100 orang.
”Kalau syarat dokumen sesuai SE No 4/2002 dari Ketua Gugus Tugas Covid-19 terpenuhi, bisa kami layani,” ucap Afif.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menjelaskan, kekacauan itu berawal dari munculnya taksi-taksi atau mobil-mobil pelat hitam yang banyak mengangkut penumpang untuk pulang kampung atau meninggalkan zona merah.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat menjelaskan, kekacauan itu berawal dari munculnya taksi-taksi atau mobil-mobil pelat hitam yang banyak mengangkut penumpang untuk pulang kampung atau meninggalkan zona merah.
Pemerintah lalu mengeluarkan SE Dirjenhubdar itu untuk mengakomodasi layanan bus-bus AKAP. Namun, dengan syarat-syarat yang sungguh ketat.
Dengan kondisi demikian, lanjut Djoko, meski sepertinya pemerintah tidak tegas, yang harus dilakukan adalah menindak tegas angkutan pelat hitam itu. Lalu, pemerintah memperketat penjagaan dan pengawasan di titik pemeriksaan.
”Jangan cuma bus-bus yang diperiksa, mobil pribadi yang melintas juga sebaiknya diperiksa dan diawasi,” kata Djoko.
Sinungan juga sepakat dengan Djoko, supaya pemerintah juga bersikap tegas saja saat pandemi.
Sementara bagi para pengusaha transportasi, Djoko mengingatkan pemerintah sebaiknya memberikan keringanan, baik pajak maupun bunga pinjaman. ”Kalau untuk pemerintah daerah, saya kira ada beberapa yang sudah memberikan keringanan pajak atau biaya-biaya administrasi kepada pengusaha transportasi,” ucap Djoko.