Keinginan warga berperan aktif mencegah penularan virus korona baru penyebab Covid-19 masih bergulir. Salah satunya terlihat dari pilihan warga untuk tetap di rumah ketimbang pulang kampung saat Lebaran.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada saat pelonggaran penggunaan moda transportasi diberlakukan, masih banyak warga yang tetap memutuskan tidak mudik demi menghindari penularan covid-19. Mereka rela melewatkan tradisi ”sungkeman” demi menjaga kesehatan keluarga di kampung halaman.
Pada Minggu (17/5/2020) pagi, banyak orang berdatangan ke Stasiun Gambir untuk membatalkan tiket kereta api. Hingga pukul 15.00, loket pembatalan sudah melayani 210 nomor antrean. Para pemegang tiket tersebut kebanyakan membatalkan tiket yang akan digunakan untuk mudik Lebaran tahun ini.
Pandemi Covid-19 memaksa warga Jabodetabek mengurungkan niat mudik ke kampung halaman. Seperti yang dilakukan Suratman. Tahun ini, ia harus memendam dalam-dalam kesempatannya mudik ke Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Sebelumnya, ia sudah memegang tiket keberangkatan kereta api ke Tegal pada 21 Mei 2020 dan kembali ke Jakarta pada 31 Mei 2020. ”Kemarin sempat lihat berita, ada yang nekat pulang, ternyata nularin keluarganya. Kita belum tahu ya (kita) bawa virus atau enggak, meski kita sehat,” katanya.
Di saat pemerintah membuka kembali layanan transportasi, Suratman menolak untuk tergoda. Saat ini, masih ada layanan Kereta Api Luar Biasa (KLB) dan bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang bisa ia gunakan untuk ke Tegal. Namun ia memilih tetap berada di tempat tinggalnya di Depok, Jawa Barat.
Meski tidak bisa mudik tahun ini, Suratman bersyukur masih bisa bekerja di perusahaan saat ini sebagai kurir. Dengan begitu, ia masih mendapatkan gaji dan tunjangan hari raya (THR) untuk dikirimkan kepada keluarganya di Tegal. Hal itu, menurut dia, cukup untuk mengobati rasa kecewanya.
”Alhamdulillah meski keadaannya sulit, perusahaan masih jalan. Masih bisa kirim nafkah buat ibu yang sudah sakit-sakitan di sana,” katanya.
Suratman mengaku, setiap bulan selalu menyempatkan diri pulang ke Tegal untuk melepas kangen. Namun, sejak awal Maret lalu, ia tidak pernah pulang ke Tegal. Saat ini, ia lebih sering melakukan panggilan video dengan ibu, istri, dan anaknya di kampung, terutama saat sahur dan buka puasa.
”Dulu enggak pernah sama sekali (melakukan panggilan video), sekarang sering. Kalau sahur pasti dibangunin pakai panggilan video. Buka puasa juga,” ujarnya.
Menurut Suratman, momen Lebaran yang akan sangat ia rindukan adalah sungkem dengan ibu dan tetangga-tetangga di kampung. Di masa pandemi Covid-19, hal tersebut ia yakini akan hilang dimana pun. Meski sudah merelakan, ia mengaku sering merasa sedih jika kembali teringat sungkeman-sungkeman tahun lalu.
Suratman mengaku, setiap bulan selalu menyempatkan diri pulang ke Tegal untuk melepas kangen. Namun, sejak awal Maret lalu, ia tidak pernah pulang ke Tegal. Saat ini, ia lebih sering melakukan panggilan video dengan ibu, istri, dan anaknya di kampung, terutama saat sahur dan buka puasa.
Kirim makanan
Nanda Iasha V, salah satu karyawan swasta di Jakarta Pusat, tahun ini terpaksa harus melewatkan masa-masa Lebaran dengan keluarganya di Semarang, Jawa Tengah. Kesedihan yang dirasakan semakin berlipat lantaran selama bulan puasa, ia belum pernah mencicipi masakan sang ibu.
”Sedih banget, paling sedih karena puasa tahun ini enggak pernah buka puasa dengan masakan mama. Cuma bisa lihat pas panggilan video dan cuma bisa bilang enak,” katanya di Jakarta, Minggu (17/5/2020).
Adapun pada Lebaran nanti, Nanda juga harus bersiap untuk melewatkan opor ayam buatan ibunya. Opor ayam memang tidak pernah terlewat dalam setiap perayaan Idul Fitri bagi keluarganya. Namun, untuk menemani hari-hari Lebaran di tanah rantau, Nanda telah mendapatkan bekal makanan kue kering dari Semarang.
”Sayangnya, opor tidak memungkinkan untuk dikirim ke Jakarta. Akhirnya saya dikirimin nastar buatan adik buat menemani Lebaran di sini,” ungkapnya.
Masih ramai
Sementara itu, satu satu minggu menjelang Lebaran, suasana di sekitar Kampus Bina Nusantara (Binus), Jakarta Barat, masih terlihat ramai. Khususnya menjelang waktu berbuka puasa. Pada Sabtu (16/5/2020), misalnya, kemacetan terjadi di Jalan Rawa Belong II. Nampak para mahasiswa berburu takjil di sisi jalan.
Dianitia, salah mahasiswa Binus, misalnya, hingga kini masih memilih bertahan di Jakarta ketimbang mudik ke kampung halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan. Kendati penerbangan ke Makassar saat ini sudah kembali dibuka dari Jakarta, ia tidak berminat pulang.
”Kebetulan teman-teman di indekos juga pada enggak pulang. Tahan dulu (pulang kampungnya) sampai semua normal,” ujarnya.