”Ngebut Benjut”
Berusaha mempercepat proses penanganan pandemi agar aktivitas ekonomi kembali bergerak tidak salah. Hanya saja seperti peringatan ”Ngebut Benjut”, jika asal cepat saja bisa berakhir menyimpang dari yang diharapkan.
Belasan tahun silam, semasa masih kuliah di Yogyakarta, paling senang bersepeda motor menjelajah kota itu dan sekitarnya. Kalimat ”Ngebut Benjut”, ”Motor Harap Dituntun”, ”Banyak Anak-anak” sering ditemui tertulis di tembok atau di tiang listrik saat melintasi perkampungan. Tujuannya satu saja, mengingatkan agar pengendara dan warga sama-sama tidak celaka.
Pesepeda motor yang asal tancap gas, asal senang, dan asal bisa cepat sampai tujuannya bisa jadi tidak mendapatkan semua keinginannya itu ketika justru terlibat kecelakaan atas ulahnya sendiri. Dia bisa benjut alias benjol alias celaka. Dan sangat mungkin, dia turut menyebabkan orang lain terluka karena perilakunya.
Di masa kini ketika pandemi Covid-19 mengambil alih kendali atas kehidupan hampir semua manusia di dunia, terjaminnya keselamatan warga juga menjadi satu tujuan bersama. Keinginan untuk segera mengakhiri pandemi sangat kuat. Berbagai cara diterapkan di tiap negara untuk mencapai tujuan tersebut.
Namun, wabah justru kian melekat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan virus korona baru dan penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut, yaitu Covid-19, bisa menjadi endemi seperti halnya HIV/AIDS. Manusia penghuni planet Bumi diimbau bersiap-siap menerima kenyataan Covid-19 akan selalu ada.
Covid-19 tidak akan hilang dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang sudah lebih dari satu bulan berlangsung di Jakarta dan diikuti oleh banyak kota atau daerah lain di Nusantara. Setelah ratusan triliun rupiah digelontorkan untuk bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi, virus korona baru juga tidak akan berhenti menyebar.
Baca juga: Deurbanisasi, Keseimbangan Baru Desa-Kota
Kala semua transportasi publik lintas daerah hingga lintas negara dihentikan, aktivitas perekonomian dibekukan, lagi-lagi penyakit ini tidak lantas mati. Tengoklah kejadian di Wuhan, China, ketika pergerakan manusia dipulihkan, kerumunan orang kembali terjadi, virus pun mendapatkan jalan menemukan inang baru, dan menginfeksi manusia. Laporan serupa terjadi di Korea Selatan, Singapura, hingga Italia.
Akan tetapi, bukan berarti kebijakan pembatasan sosial berskala besar di Indonesia dan kebijakan serupa yang diterapkan negara lain tidak berfaedah. Semua kebijakan tersebut terbukti melambatkan laju penyebaran pandemi yang berarti menyelamatkan banyak nyawa.
Di sisi lain, selama lebih dari dua bulan terakhir, kampanye global sedikit banyak berhasil meningkatkan kesadaran untuk menjaga kebersihan dan kesehatan individu yang berdampak pada turut terjaganya kesehatan masyarakat. Diharapkan saat semua orang menjaga kesehatan dan kebersihan pribadinya, kekebalan tubuh terhadap penyakit pun meningkat sehingga penyebaran virus dan penularan penyakit dapat dicegah.
Di sini lah poin pentingnya. Proses perlambatan aktivitas di seluruh dunia ini menjadi masa antara yang memberi waktu bagi semua pihak untuk menata ulang perilaku pribadi sampai ke tataran kebijakan pemerintah serta antarpemerintah agar responsif dan adaptif terhadap perubahan yang begitu drastis akibat pandemi.
Proses perlambatan aktivitas di seluruh dunia ini menjadi masa antara yang memberi waktu bagi semua pihak untuk menata ulang perilaku pribadi sampai ke tataran kebijakan pemerintah serta antarpemerintah agar responsif dan adaptif terhadap perubahan.
Apalagi, masih dari WHO, sebelumnya sudah ada peringatan bahwa pandemi ini mungkin bukan yang terakhir. Ada potensi muncul wabah global lain kelak di kemudian hari. Hal ini berkorelasi dengan fenomena global yang sudah lama didengungkan dan diperingatkan sudah serta bakal terus berdampak ke seluruh sudut planet ini, yaitu pemanasan global dan perubahan iklim. Pesannya jelas, penduduk dunia harus selalu siap dengan tantangan baru yang bisa datang kapan saja.
Bagaimana dengan kita dan kota kita? Sudah seresponsif apa kita menghadapi cobaan global ini?
Baca juga : Berani "Move On" ala Paris dan Milan
Di Jakarta, banyak bencana rutin yang sebelumnya telah mendera dan sebagian besar karena perlakuan atau kebijakan pembangunan yang kurang menjawab isu publik. Sebut saja banjir tiap musim hujan, ketersediaan air bersih makin kurang, sistem sanitasi yang jauh dari sempurna, sampai minimnya ruang terbuka hijau dan pembangunan yang condong memberikan tempat bagi kendaraan bermotor pribadi daripada menyediakan sistem angkutan publik yang memadai. Tak lupa krisis udara bersih yang juga telah berjalan bertahun-tahun.
Selama ini, bermacam masalah tersebut terbukti tidak cukup kuat mendesak Jakarta untuk berbenah. Untuk menghadirkan angkutan massal berbasis rel seperti MRT saja dibutuhkan lebih dari 30 tahun. Kualitas layanan kereta komuter KRL Jabodetabek saja baru baik kurang dari 10 tahun terakhir. Padahal, regenerasi kereta rel listrik dimulai setidaknya sejak tahun 1970an. Jaringan bus Transjakarta perlu 15 tahun untuk menjadi cukup masif layanannya seperti sekarang.
Soal banjir, Jakarta dan sekitarnya masih terus berkejaran dengan tenggat waktu proyek revitalisasi sungai, penataan bantaran kali, termasuk masih kerepotan menyinkronkan kebijakan antardaerah dan pusat di kawasan hulu dengan di hilir. Isu-isu lain bahkan belum jelas kapan terurai dan ditemukan solusi finalnya. Penyakit sudah banyak menghinggapi warga seperti demam berdarah dengue (DBD), diare, infeksi saluran pernapasan akut, dan lainnya. Kini, ditambah Covid-19, tumpukan problem itu makin tinggi dan sama-sama meminta perhatian untuk ditangani.
Kini, ditambah Covid-19, tumpukan problem itu makin tinggi dan sama-sama meminta perhatian untuk ditangani.
Melihat itu semua, jeda selama pembatasan sosial dapat dipergunakan untuk merencanakan dan menentukan kebijakan yang responsif terhadap berlapis masalah tersebut. Bertepatan pula dengan menjelang tengah tahun, waktu pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perubahan tiba.
Dibutuhkan komunikasi yang baik antarberbagai pihak untuk dapat saling menyelaraskan kebijakan, sinkronisasi, dan pada akhirnya bisa sama-sama melangkah ke arah yang tepat. Tidak ada salahnya DKI membuka komunikasi dengan pusat, meninjau ulang berbagai program pembangunan di Ibu Kota dan kawasan Jabodetabek. Pusat diminta tidak anti berdiskusi dengan daerah. Apalagi, yang tahu pasti kondisi daerah adalah pemerintah daerah setempat.
Baca juga: Pembatasan Sosial, Langkah Awal Menuju ”The New Normal”
Jika benar per Juni nanti pelonggaran pembatasan sosial berskala besar akan ditetapkan oleh pemerintah pusat, harus dipastikan sistem pengawasan berjalan baik agar masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, menjaga jarak antarorang di mana saja dan di tiap kegiatan sehari-hari, tidak lagi saling bersalaman atau bersentuhan, dan setiap kasus positif Covid-19 ditangani segera. Fasilitas kesehatan yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat wajib dijamin ketersediaannya.
Selanjutnya, menentukan arah kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang dibutuhkan. Apakah rencana alokasi lebih dari Rp 400 triliun untuk pembangunan ibu kota negara baru tetap dibutuhkan? Pertanyaan yang sama terkait pembangunan jalan tol yang kian masif apakah masih relevan. Bagaimana dengan pulau-pulau reklamasi yang sudah telanjur jadi? Tak lupa, mencari cara mengentaskan rakyat miskin, mengurai kawasan kumuh dengan mengedepankan kemanusiaan dan protokol kesehatan. Juga agar jaringan transportasi publik tetap menjadi tulang punggung mobilitas warga pascapandemi.
Pesannya jelas, penduduk dunia harus selalu siap dengan tantangan baru yang bisa datang kapan saja.
Berusaha mempercepat proses penanganan pandemi agar aktivitas ekonomi kembali bergerak tentu tidak salah. Apalagi, latar belakangnya demi kepentingan publik dan kelangsungan hidup bangsa ini. Hanya saja, seperti ”Ngebut Benjut”, jika asal cepat saja semua jerih payah bisa berakhir menyimpang dari yang diharapkan.
Baca juga: Awar-awar, Kisah Empat Abad Wabah Mendera Ibu Kota