Pedoman Pengembangan Pesisir pada Perpres No 60/2020 Dinilai Jadi Titik Lemah
Pedoman pengembangan pesisir seharusnya tidak perlu diatur dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur atau Jabodetabekpunjur pada pertengahan April lalu. Akademisi menilai, adanya pedoman pengembangan pesisir menjadi titik lemah dalam peraturan presiden ini.
Sejumlah ketentuan dalam Perpres No 60/2020 mengatur tentang pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau reklamasi. Salah satunya tertuang dalam Pasal 81 Ayat 3 yang menyebut pelegalan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya Pulau C, D, G, dan N, sebagai zona budidaya 8.
Peneliti senior Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor, Ernan Rustiadi, saat dihubungi, Kamis (14/5/2020), mengatakan, seharusnya Perpres No 60/2020 tidak perlu mengatur tentang wilayah pesisir karena acuan undang-undang di wilayah tersebut masih abu-abu.
Ernan menjelaskan, sebagian kalangan menilai, wilayah pesisir dapat diatur dalam acuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun, sebagian lainnya menganggap wilayah pesisir lebih tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Sementara dalam pertimbangannya, Perpres No 60/2020 ditujukan untuk mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang mengacu kepada UU No 26/2007. Adapun garis besar muatan UU No 26/2007 mengatur tentang penataan ruang darat pulau utama di suatu wilayah.
”Ini sering disebut dualisme sistem penataan ruang. Saya sering menyebutnya sebagai konflik perundangan atau ada persoalan ego sektoral,” ujar Ernan yang turut terlibat dalam penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) perpres ini.
Dalam perkembangannya, lanjut Ernan, revisi perpres ini memakan waktu lama karena adanya kasus reklamasi di Jakarta Utara yang notabene tidak masuk ke kajian pesisir dan pulau-pulau kecil. ”Saya harus akui dimensi politiknya kental sekali. Ini yang menjadi titik lemah perpres ini,” katanya.
Terlepas adanya pedoman reklamasi yang menuai kritik, secara keseluruhan Ernan memandang pesan lingkungan dalam Perpres No 60/2020 sangat kuat. Sebab, enam dari tujuh isu utama dalam perpres ini membahas alih fungsi lahan, penanganan banjir dan sampah, hingga pencemaran air dan udara.
”Sementara satu isu lainnya yang menonjol ialah soal kelembagaan tentang tata kelola dan kerja sama antardaerah. Jadi, saya tidak sependapat kalau perpres ini mengabaikan dimensi lingkungan jika dibandingkan perpres sebelumnya,” ungkapnya.
Sebelumnya, aktivis yang tergabung dalam sejumlah organisasi menilai, Perpres No 60/2020 memiliki banyak catatan untuk dikritisi. Organisasi yang turut menyuarakan kritiknya adalah Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Walhi Jawa Barat, dan Walhi DKI Jakarta.
Beberapa catatan mereka mulai dari komitmen penyelamatan lingkungan yang belum memadai, perlindungan masyarakat yang sangat lemah dan rentan kehilangan sumber-sumber kehidupan, hingga rencana kelembagaan yang juga tidak memadai.
ICEL memandang, dengan masuknya pulau-pulau reklamasi ke dalam perpres itu, secara normatif hukum perpres disusun dengan tidak cermat karena menimbulkan dampak lingkungan. ”Ini untuk koordinasi lintas wilayah untuk minimalisasi dampak wilayah. Ketika si pulau reklamasi muncul, maka agak melenceng karena ada RDTR perkotaan,” ujar Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring (Kompas.id/14 Mei 2020).