Warga Resah di Tengah Ketidakpastian Puncak Pandemi
Ada warga yang turut gelisah di balik ketidakpastian penanganan pandemi Covid-19. Sebagian dari mereka khawatir karantina mandiri selama ini menjadi upaya yang sia-sia.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Pagi masih buta, tetapi Diana (54) sudah bersiap menunggu angkutan umum dari sisi Jalan Raya Alternatif Cibubur, Jakarta Timur. Di tengah rasa kantuk sisa sahur yang belum sirna, Senin (11/5/2020) itu, dia bergegas demi menuju kantornya di bilangan Slipi, Jakarta Barat.
Meski telah rutin berangkat kerja di masa Ramadhan dan pandemi Covid-19, kepergian Diana hari ini diselimuti kekhawatiran. Hal tersebut karena hampir dua bulan pembatasan sosial berjalan, angka penularan pasien di Jakarta seakan tidak kunjung menurun. Seperti pada Minggu (10/5/2020) kemarin, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaporkan angka penularan bertambah sebanyak 182 pasien.
Bila diperhatikan, jumlah angka penularan Covid-19 memang terus fluktuatif. Pada Sabtu, 9 Mei, jumlah pasien bertambah sebanyak 57 orang. Sementara pada Jumat, 8 Mei, jumlah pasien bertambah sebanyak 126 orang. Selama rentang sepekan sejak 4 Mei hingga 10 Mei, angka penularan terus naik turun dari puluhan hingga ratusan.
Kondisi fluktuatif itu terus membuat Diana gelisah. Belakangan pun, dia merasa pengawasan terhadap pembatasan sosial berskala besar (PSBB) kian mengendur. Di Slipi dan Cibubur, dua kawasan yang paling sering ia lalui, kini tampak lebih ramai dengan pengguna kendaraan pribadi. Begitu juga di kawasan perkantoran Kuningan, tadi pagi, sempat macet karena kepadatan mobil pribadi.
Ibu dua anak ini sampai berpikir, apa mungkin upaya karantina mandiri yang dia lakukan selama ini ternyata sia-sia. ”Sudah hampir dua bulan lho, saya cuma keluar di hari Senin, Rabu, dan Jumat saat bekerja. Apa semua upaya ini sia-sia?” ungkap staf administrasi di perusahaan produksi mainan plastik ini.
Pemikiran seperti Diana pun diungkapkan sebagian warga Jakarta. Amelia (46), misalnya, juga khawatir dengan pembatasan sosial yang ternyata adalah upaya sia-sia. Sebab, alih-alih berdiam di rumah, sebagian warga Jakarta malah berkumpul saat sebuah gerai makanan di pusat kota tutup perdana. Lebih parah lagi, kondisi kerumunan itu tampak dibiarkan saja oleh aparat penegak hukum.
Sepekan ini, Amelia pun sampai berpikiran bahwa praktik PSBB kini semakin kendur di wilayah pinggiran Jakarta. Dia yang tinggal di wilayah Cibubur, Jakarta Timur, tidak lagi melihat ada patroli pengawasan PSBB hampir dua pekan terakhir. Sementara itu, sejumlah angkutan umum di sana juga nekat membawa penumpang hingga berdesakan tadi pagi.
”Saya sampai berpikir, PSBB itu sekarang hanya galak kalau di pusat kota. Semakin ke wilayah pinggiran, seperti perbatasan Jakarta Timur dan Depok, Jawa Barat, misalnya, penertiban PSBB itu kendur. Bahkan, sama sekali enggak ada pengawasan,” ucap ibu satu anak ini.
Di tengah rumitnya situasi pandemi, Nuruddin (45), warga Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, terpaksa masih keluar rumah untuk bekerja. Ia yang sehari-hari mengojek daring kini terimpit kondisi keuangan, berusaha mengambil sejumlah order antar barang. Hari ini, dia pun menggadaikan cincin kawin demi kelangsungan hidup keluarga di rumah.
Epidemiolog dari Grifftih University, Dicky Budiman, menuturkan, kondisi longgarnya pengawasan PSBB kini belum berbasis data yang valid. Dia mempertanyakan apa tolok ukur yang digunakan apabila pemerintah mengklaim PSBB sudah berjalan efektif. Sebab, keadaan yang terjadi saat ini justru kontradiktif dengan meningkatnya angka penularan.
Padahal, semestinya ada studi ilmiah terlebih dahulu saat menyatakan intervensi PSBB efektif. Dalam webinar yang diselenggarakan Universitas Airlangga, Sabtu kemarin, Dicky mempertanyakan keberhasilan PSBB ini karena belum ada tolok ukur yang jelas.
”Kalau intervensi PSBB dinyatakan berhasil, Ro (angka reproduksi kasus) kita sekarang berapa? Juga berapa doubling time (waktu penggandaan). Sampai sekarang data itu tidak ada. Sementara di sejumlah negara bagian di Australia, misalnya, mereka berani melonggarkan lockdown karena ada ukurannya,” tutur Dicky.
Pada Minggu ada penambahan 387 kasus positif Covid-19 secara nasional sehingga jumlah pasien kini mencapai 14.032 orang. Jumlah tersebut masih cukup banyak bila melihat penambahan kasus selama 2 Mei hingga 5 Mei, yakni 292 kasus, lalu 349 kasus, 395 kasus, dan 484 kasus.
Pada 6 Mei sampai 8 Mei, jumlah kasus harian cenderung berada di angka 300. Dimulai dengan 367 kasus baru pada 6 Mei, lalu 338 kasus, dan 336 kasus. Lalu pada 9 Mei, jumlah itu pun sempat menanjak hingga 533 kasus.
Terkait itu, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, fluktuasi angka tersebut disebabkan penambahan yang tidak konsisten di sejumlah daerah.
”Di seluruh daerah belum terbentuk pola grafik penambahan kasus baru yang konsisten sehingga pertumbuhan kasus Covid-19 masih susah ditebak. Kenyataan itu patut kita maknai bahwa proses penularan masih terjadi di masyarakat,” katanya, Minggu.
Ia menekankan, jika penambahan kasus baru menurun di satu provinsi, bisa disimpulkan warga setempat telah bergerak bersama untuk menekan angka kasus baru. Namun, apabila peningkatan jumlah pasien baru masih signifikan, hal itu menunjukkan warga belum mematuhi aturan pemerintah untuk menekan penularan.
Ahli biostatistik dan kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Hari Basuki Notobroto, memprediksi, angka penularan saat ini baru permulaan. Dalam pemodelan probabilistik yang dia buat, Mei akan menjadi puncak penularan di Jakarta dan sekitarnya dan diperkirakan mulai mereda pada akhir Juli atau awal Agustus 2020. Adapun untuk Jawa Timur, kasusnya akan memuncak pada Juni dan reda pada September.
”Saat ini kita masih di awal kasus dan datanya masih terus berubah. Selisih dua hari saja bisa bergeser puncaknya dan juga kapan menurunnya. Sejumlah pemodelan yang dibuat sejumlah lembaga kini pun terus direvisi,” katanya.
Dengan kondisi saat ini, Dicky menekankan, sudah semestinya pemerintah mengantisipasi prediksi puncak yang yang mungkin terjadi beberapa bulan ke depan. Untuk mengukur intervensi PSBB efektif, dia menilai, pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak perguruan tinggi.
”Jika (pandemi) secara global belum selesai, kita juga belum akan berakhir. Kita harus mengantisipasi bakal terjadi beberapa puncak dan ini bisa terjadi sampai 2021, bahkan paling lama hingga 2023. Walaupun vaksin ditemukan tahun 2021, implementasinya membutuhkan waktu,” katanya.
Pemeriksaan jumlah kasus dan evaluasi PSBB pun kian penting dalam merepresentasi kondisi penularan Covid-19 di Indonesia. Keresahan warga pun semestinya dijawab dengan kesigapan pemerintah mengantisipasi pandemi. Selama pemeriksaan spesimen dan pelaksanaan PSBB belum optimal, kita akan terus meraba-raba di dalam gelap.