Puncak pandemi di Indonesia sulit ditentukan karena belum ada pola konsisten dari mayoritas provinsi. Jangan buru-buru menyimpulkan kasus telah menurun.
Oleh
AP/AFP/SAN/AIK/FAI/MHD
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa puncak pandemi Covid-19 di Indonesia belum bisa ditentukan karena jumlah penambahan kasus baru dalam sepekan terakhir masih fluktuatif. Mayoritas provinsi belum menunjukkan pola grafik konsisten dalam pertumbuhan atau pengurangan kasus positif. Ini membuat kebijakan lanjutan terkait pandemi ini sepatutnya ditetapkan dengan hati-hati, termasuk tentang rencana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB.
Pemeriksaan massal juga masih menjadi kendala utama dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Minimnya penanganan dan lambannya menunggu hasil tes menyebabkan pelaporan kasus infeksi terlambat hingga dua pekan. Kondisi ini juga menjadi kendala untuk menilai tingkat penyebaran dalam waktu nyata.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, di Jakarta, Minggu (10/5/2020), mengatakan, ada tambahan 387 kasus positif Covid-19 pada Minggu kemarin jika dibandingkan dengan hari sebelumnya sehingga pasien Covid-19 di Indonesia mencapai 14.032 orang. Dari jumlah itu, 2.698 orang dinyatakan sembuh, 973 orang meninggal, dan 10.361 pasien masih dirawat.
Adapun sejak 2 Mei hingga 5 Mei, jumlah penambahan kasus baru setiap hari adalah 292 kasus, lalu 349 kasus, 395 kasus, dan 484 kasus. Kemudian, pada 6 Mei sampai 8 Mei, jumlah kasus baru cenderung menurun. Dimulai dengan 367 kasus baru pada 6 Mei, lalu 338 kasus, dan 336 kasus. Penambahan kasus baru meningkat pada 9 Mei dengan 533 kasus. Kemudian, Minggu (10/5/2020) kemarin, penambahan kasus baru menurun kembali di angka 387 kasus.
Terjadi penularan
Menurut Yurianto, fluktuasi angka itu karena ada sejumlah daerah dengan jumlah penambahan yang tak konsisten. Dalam beberapa hari penambahan di provinsi itu stagnan, tetapi pada hari lain jumlah tambahan kasus baru cukup signifikan.
”Di seluruh daerah belum terbentuk pola grafik penambahan kasus baru yang konsisten sehingga pertumbuhan kasus Covid-19 masih susah ditebak. Kenyataan itu patut kita maknai bahwa penularan masih terjadi di masyarakat,” kata Yurianto, Minggu.
Ia menekankan, jika penambahan kasus baru menurun di satu provinsi, bisa disimpulkan warga setempat telah bergerak bersama untuk menekan angka kasus baru. Namun, apabila peningkatan jumlah pasien baru masih signifikan, lanjutnya, hal itu menunjukkan warga belum mematuhi aturan pemerintah untuk menekan penularan.
Peneliti biostatistik Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar, berpendapat, meski terjadi penambahan kapasitas pemeriksaan, jumlah pemeriksaan Covid-19 di Indonesia dinilai belum memadai. ”Target minimal 10.000 pemeriksaan per hari sampai sekarang belum terpenuhi,” kata Iqbal dalam webinar.
Data yang dianalisis Iqbal dari laporan harian Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus yang diperiksa dengan pemeriksaan molekuler rata-rata masih di bawah 5.000 orang per hari. Pemeriksaan terbanyak tercatat pada 11 April dan 9 Mei 2020, yaitu masing-masing sekitar 7.000 pemeriksaan.
Menurut data di worldometers.info, RI baru memeriksa spesimen 552 orang per sejuta penduduk dan tergolong terendah di Asia. Jumlah ini lebih kecil ketimbang Filipina 1.439 orang per sejuta, Malaysia (7.573 orang per sejuta), atau Korea Selatan 12.949 orang per sejuta penduduk.
Jangan buru-buru
Antrean panjang dalam pemeriksaan, menurut Iqbal, juga menyebabkan ada keterlambatan dalam proses dan pengumuman hasilnya. ”Rata-rata butuh waktu seminggu hingga dua minggu sebelum hasil pemeriksaan diumumkan. Ini menyebabkan data yang diumumkan setiap hari bukanlah data baru, tetapi selalu terlambat dari kasus infeksinya,” ujarnya.
Dia mencontohkan, beberapa waktu lalu dinyatakan kurva penularan di Jakarta melandai. Namun, jika dicermati, ada 486 kasus positif di Jakarta atau sekitar 10 persen dari total kasus di provinsi ini yang tak dijelaskan kapan detail pemeriksaannya.
”Jadi, kita jangan terburu-buru mengatakan kasus melandai. Kita semua berharap begitu, tetapi jangan sampai tidak didukung data yang baik. Laju infeksi harian kita tidak sesuai dengan kasus riil, ada keterlambatan,” tutur Iqbal.
Dari data yang dilaporkan Laporcovid.19.org berdasarkan mekanisme pelaporan warga, ada kasus di Jember, Jawa Timur, yang mengalami keterlambatan pengambilan sampel hingga keluarnya hasil tes selama 17 hari. Selain itu, sulitnya mendapat pemeriksaan juga masih banyak dialami warga.
Keterbatasan dan keterlambatan tes ini menyebabkan banyak orang meninggal sebelum diperiksa atau sebelum keluar hasil tes molekulernya. Padahal, menurut laporan di sejumlah daerah, rata-rata jumlah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal sudah sekitar tiga kali lipat lebih banyak ketimbang yang meninggal dengan status terkonfirmasi positif Covid-19.
Sebagai contoh, di Sulawesi Selatan terdapat 47 orang meninggal dengan status positif Covid-19. Adapun jumlah PDP dan ODP yang meninggal 101 orang. Di Jawa Timur, jumlah meninggal dengan status positif Covid-19 sebanyak 144 orang, sementara ODP dan PDP yang meninggal 453 orang.
Sejauh ini pemerintah mengumumkan korban Covid-19 di Indonesia hanya berdasar yang terkonfirmasi dari tes molekuler. Akibatnya, data kematian di Indonesia bisa dianggap underreporting.
Lonjakan kasus baru
Di Seoul, Korea Selatan, Pemerintah Korsel dikejutkan oleh lonjakan kasus baru saat negara itu tengah memulai pelonggaran dari pembatasan sosial guna mencegah penyebaran Covid-19. Kasus baru itu muncul setelah seorang pria berusia 29 tahun yang diketahui positif Covid-19 telah menularkannya kepada 54 orang. Angka ini merupakan lonjakan tertinggi dalam sebulan terakhir. Apa yang terjadi di Korsel bisa menjadi bahan kajian bagi Indonesia terkait wacana sebagian pihak yang mengusulkan pelonggaran PSBB.
”Kecerobohan dapat menyebabkan ledakan infeksi,” kata Wali Kota Seoul Park Won-soon, Sabtu (9/5/2020). Dari hasil pelacakan, pria tersebut telah mengunjungi lima kelab malam dan bar di Itaewon, pusat hiburan malam di Seoul, akhir pekan lalu. Otoritas kesehatan Korsel pun bergegas memperingatkan kemungkinan terjadi lonjakan kasus setelah setidaknya 7.200 orang mengunjungi lima kelab dan bar tersebut.
Sejak peristiwa itu, otoritas kota Seoul menutup 2.100 kelab malam dan bar. Pemerintah Provinsi Gyeonggi mengikuti langkah Pemerintah Kota Seoul untuk menutup tempat hiburan malam, kelab, dan juga bar. ”Kita tidak boleh menurunkan kewaspadaan kita tentang pencegahan epidemi. Kita harus selalu waspada setiap saat hingga perang ini benar-benar selesai,” kata Presiden Korsel Moon Jae-in.
Direncanakan, pelonggaran saat ini akan dilanjutkan dengan pembukaan kembali sekolah-sekolah di Korsel, 13 Mei mendatang. Namun, Menteri Kesehatan Korsel Park Neung-hoo menyebutkan, pemerintah akan mempertimbangkan lagi hal itu, menunggu hasil pemeriksaan atas kasus infeksi baru di kelab malam dalam dua-tiga hari ke depan.