PSBB Tak Cukup Kuat, Antisipasi Mudik Lokal di Jabodetabek
Mudik lokal menjadi tantangan pemerintah untuk menekan persebaran Covid-19. Bila gagal, dikhawatirkan terjadi gelombang kedua lonjakan kasus Covid-19 di Jakarta dan sekitarnya.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
ILUSTRASI: Petugas dari Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta mendata pengendara dari luar daerah yang melintas di Pos Pengawasan Prambanan, di Jalan Solo-Yogyakarta, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY, Minggu (26/4/2020). Pengendara dari zona merah yang bertujuan mudik diminta putar balik.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu mengantisipasi kegiatan mudik lokal saat perayaan Idul Fitri. Aturan dalam pembatasan sosial berskala besar belum cukup kuat untuk mencegah orang bepergian. Jika kondisi ini berlanjut tanpa ada tindakan, dikhawatirkan akan terjadi penularan SARS-CoV-2 secara masif saat Idul Fitri.
Gagasan tersebut mengemuka dalam diskusi dalam jaringan yang diselenggarakan Institut Studi Transportasi (Instran), Rabu (6/5/2020). Turut berpartisipasi dalam diskusi di antaranya Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Polana B Pramesti, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo, Ketua Instran Darmaningtyas, sejarawan JJ Rizal, dan sejumlah kepala dinas perhubungan di Jabodetabek.
Darmaningtyas menjelaskan, kegiatan mudik lokal adalah bepergian untuk silaturahmi secara fisik kepada kerabat ataupun saudara, tetapi masih di dalam lintas wilayah Jabodetabek. Mudik lokal sudah menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat seusai shalat Id.
”Tradisi ini tidak mudah begitu saja dihentikan. Seperti halnya mudik jarak jauh yang selama ini kita lihat,” ujar Darmaningtyas.
Faktor lain yang dapat mendorong mudik lokal muncul adalah selama penerapan PSBB, masyarakat masih dapat menggunakan kendaraan pribadi ataupun angkutan umum untuk lintas wilayah di dalam Jabodetabek. Polana menyampaikan, sepanjang sudah memenuhi syarat pembatasan dan protokol kesehatan, tidak ada larangan untuk bepergian. Sebab, PSBB sifatnya hanya membatasi, bukan menghentikan.
”Jabodetabek adalah wilayah aglomerasi sehingga kebijakan transportasi tidak ada penghentian, yang ada hanya pembatasan,” kata Polana.
Jabodetabek adalah wilayah aglomerasi sehingga kebijakan transportasi tidak ada penghentian, yang ada hanya pembatasan.
Kompas/AGUS SUSANTO
Pengguna kendaraan disuruh memutar balik oleh polisi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 31 di sekitar pintu keluar Tol Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (4/5/2020). Larangan mudik untuk mencegah penyebaran Covid-19 mulai berlaku Jumat, 24 April 2020, hingga 31 Mei 2020. Selama kebijakan ini, kendaraan pribadi dan angkutan umum yang keluar-masuk Jabodetabek sangat dibatasi oleh Polda Metro Jaya.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi Dadang Ginanjar menilai, imbauan saja tidak cukup untuk mencegah masyarakat melakukan mudik lokal. Cara terbaik adalah dengan secara tegas melarang mudik lokal. Hal itu perlu dilakukan karena hingga saat ini pemerintah masih terus berupaya menekan persebaran Covid-19.
”Jadi, kuncinya menurut saya harus ada penghentian,” ucapnya.
Adapun di Kota Depok, Kepala Dinas Perhubungan Depok Dadang Wihana menyampaikan, pada PSBB tahap pertama, penambahan rata-rata kasus per harinya sudah mulai berkurang. Namun, ada kecenderungan penambahan rata-rata kasus Covid-19 setiap harinya saat PSBB tahap kedua di Depok. Kondisi itu, kata Dadang, disebabkan ada kelonggaran-kelonggaran. Aturan dalam PSBB tidak secara tegas mencantumkan sanksi bagi pelanggar.
Oleh karena itu, Pemerintah Kota Depok mencoba mencari rujukan hukum untuk pelaksanaan PSBB tahap dua. Menurut Dadang, Peraturan Wali Kota Depok Nomor 22 Tahun 2020 telah direvisi dengan mencantumkan sanksi.
Ada kecenderungan penambahan rata-rata kasus Covid-19 setiap harinya saat PSBB tahap kedua di Depok. Kondisi itu disebabkan ada kelonggaran-kelonggaran. Aturan dalam PSBB tidak secara tegas mencantumkan sanksi bagi pelanggar.
Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dishub DKI Jakarta Edi Sufaat mengkhawatirkan timbulnya gelombang persebaran kedua Covid-19 setelah mudik lokal. Kerumunan bakal terjadi karena warga mengunjungi kerabat, ziarah makam, dan tempat-tempat kuliner. Untuk itu, Edi meminta masyarakat mengurungkan niat bertemu keluarga saat Idul Fitri.
”Silaturahmi memang perlu. Tapi, dilakukan secara online pun lebih bagus daripada kesehatan terganggu,” kata Edi.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Riska, warga Tangerang Selatan, yang tidak mudik Lebaran melakukan panggilan video ke kerabatnya di Solo, Jawa Tengah, Rabu (5/6/2019). Silaturahmi dengan keluarga yang berada jauh kini semakin mudah dengan teknologi komunikasi yang semakin canggih.
JJ Rizal berpendapat, persebaran Covid-19 di dalam mudik lokal adalah masalah yang penyelesaiannya tidak bisa hanya dilihat dari pendekatan hukum atau tindakan politik, tetapi juga harus dengan jalan kultural. Rizal melihat upaya-upaya yang dilakukan pemerintah selama ini cenderung menggunakan pendekatan hukum dan belum menyentuh kampanye kultural secara besar-besaran.
Ia menyarankan di sisa waktu menjelang Idul Fitri, pemerintah menyusun kegiatan kampanye. Melibatkan struktur nonformal di tingkat kampung dan kompleks bisa menjadi salah satu cara dalam kampanye kultural.
”Cari orang-orang yang biasanya disebut mualim dan berpengaruh. Wibawanya bisa menggerakkan masyarakat untuk mengurungkan mudik lokal,” ujar Rizal.
Darmaningtyas sepakat dengan apa yang disampaikan Rizal. Sosialisasi yang dilakukan akan lebih efektif apabila melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh keagamaan. Mudik atau silaturahmi merupakan bagian kegiatan sosial budaya, di mana dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB, kegiatan sosial budaya merupakan salah satu kegiatan yang perlu dihindari agar tidak terjadi kerumunan.