Angkutan Alternatif Perlu Disiapkan jika Operasionalisasi KRL Dihentikan
Pihak yang berwenang harus menyiapkan angkutan alternatif bagi warga yang bekerja di delapan sektor yang dikecualikan jika pemerintah pusat memutuskan untuk menutup operasional KRL.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS —Lima kepala daerah di Bogor, Depok, dan Bekasi sepakat meminta kepada pemerintah pusat untuk menghentikan operasionalisasi kereta rel listrik atau KRL setelah tiga penumpang dinyatakan positif Covid-19. Namun, harus ada angkutan alternatif bagi warga yang bekerja di delapan sektor yang dikecualikan jika pemerintah pusat memutuskan untuk menutup operasional KRL.
Permintaan menutup operasional KRL dari lima kepala daerah Bodebek disepakati saat rapat bersama secara daring pada Selasa (5/5/2020) siang. Secara garis besar, dua opsi kebijakan diusulkan oleh lima kepala daerah dalam rapat tersebut.
Wali Kota Bogor Bima Arya menyampaikan, opsi pertama adalah menutup total operasional KRL Jabodetabek. Jika opsi pertama diterima, pemda tetap meminta perusahaan di setiap sektor yang dikecualikan untuk menyediakan angkutan antar-jemput bagi karyawannya.
Meski demikian, jika permintaan pertama ditolak, opsi kedua yang diajukan adalah meminta operasional KRL dibatasi dengan lebih selektif. Opsi ini sebelumnya juga sudah disepakati lima kepala daerah Bodebek saat mengajukan perpanjangan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 28 April 2020.
Pembatasan operasional KRL dapat dilakukan dengan cara mengurangi penjualan tiket dan jumlah penumpang di setiap gerbong. Di sisi lain, operator diminta menambah gerbong khusus dan frekuensi perjalanan angkutan.
”Pembatasan operasional KRL ini juga dapat dilakukan dengan menunjukkan kartu identitas penumpang. Jadi hanya penumpang yang punya identitas di sektor yang dikecualikan yang bisa masuk gerbong,” kata Bima.
Penutupan operasional KRL kembali diusulkan lima kepala daerah Bodebek setelah tiga pengguna KRL dinyatakan positif Covid-19. Hal ini diketahui dari hasil tes usap tenggorokan atau swab yang dilakukan Pemkot Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Stasiun Bogor pada 27 April 2020.
Angkutan alternatif
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan dari Masyarakat Transportasi Indonesia Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, pemda perlu mengusulkan atau mencari angkutan alternatif jika pemerintah pusat memutuskan untuk menutup operasional KRL. Sebab, penutupan KRL tanpa adanya angkutan alternatif akan menimbulkan masalah baru.
”Para pengguna KRL tersebut banyak bekerja di Jakarta di sektor yang strategis. Jika mereka bekerja di sektor kesehatan, perbankan, atau energi, tentunya akan membuat lumpuh aktivitas kota Jakarta,” ujarnya.
Selain itu, Djoko juga menilai kebijakan mengatasi Covid-19 tidak seharusnya dilakukan dengan cara menutup moda tranportasi umum. Namun, jauh lebih efektif menerapkan kebijakan untuk mengatur pengguna moda transportasi tersebut.
”Ini sama halnya dengan keramaian di pasar. Jadi pasar tidak harus ditutup, tetapi orang yang mengunjungi pasar tersebut yang diatur, seperti di Pasar Pagi Salatiga,” ujarnya.
Ini sama halnya dengan keramaian di pasar. Jadi pasar tidak harus ditutup, tetapi orang yang mengunjungi pasar tersebut yang diatur, seperti di Pasar Pagi Salatiga.
Terkait penyediaan angkutan alternatif, Bima menyatakan bahwa pihaknya semaksimal mungkin akan menyiapkan moda tersebut. ”Ada beberapa unit bus yang dapat digunakan. Kami juga sudah berkoordinasi juga dengan organisasi angkutan darat,” ungkapnya.
Meski demikian, Bupati Bogor Ade Yasin memiliki pandangan lain terhadap usulan penyediaan angkutan alternatif. Ade menganggap bahwa hal tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pihak perusahaan yang masih mengharuskan karyawannya bekerja dari kantor.